#28. Hujan Memang Sejahat Itu Ya?

317 30 11
                                    

Happy Reading!!💖

"Maafkan saya maafkan saya, saya bersalah... Saya... Saya..."

"Pak, yang namanya takdir gak ada yang tau. Mungkin memang takdir anak saya harus begitu." Ujar Papah pada seseorang yang mengakui kalau dirinya yang telah menabrak Dirga malam itu.

"Maafkan saya, seharusnya saya malam itu gak minum banyak Pak. Maafkan saya, biar saya yang menanggung..."

"Pak, bapak mau menanggung biaya rumah sakitnya, biaya operasi nya, biaya obatnya percuma pak... Anak saya telah tiada..."

Ucapan itu sukses membuat nya bungkam, rasa bersalah makin timbul di benaknya. Bapak - bapak yang menabrak Dirga malam itu tengah mabuk, ia juga tidak menyadari kalau diluar juga hujan.

"Pakk demi Tuhan saya minta maaf banget pak, kejadian ini tidak di sengaja pak... Tolong maafkan saya, maafkan saya pak... Maaf..." Papah yang mendengar menghela napas pelan dan meraih bahu itu lalu mengelus nya pelan memberi semangat.

"Iya pak saya maafin bapak kok, karena kalau gak saya maafin juga gak bikin anak saya kembali kan? Sudah ya jangan minta maaf terus sama saya, saya sudah belajar mengikhlaskan. Bapak juga lain kali kalau misalnya lagi minum jangan pergi sendiri, bawa orang yang gak minum biar tidak ada korban untuk kedua kalinya." Papah mengembangkan senyum nya, Bapak itu hanya mengangguk lalu mengucapkan terimakasih dan maaf.

"Kalau gitu saya pulang dulu ya pak?"

Bapak itu mengangguk pelan dan tersenyum tipis, ia ingin bilang kalau anaknya teman sekelas anak Pak Bagas tapi mana mungkin yang ada bikin malu keluarga.

🕊️🕊️🕊️

Haikal menatap ponselnya dengan raut datar. Layar ponselnya kini berada di sebuah aplikasi yang selama ini selalu di buka Dirga.

Ia menghela napas panjang, mau tidak mau ia mengumumkan hal ini bahwa penulis asli nya telah tiada dan ia lah yang menggantikan posisi Dirga.

Ia memijat batang hidungnya, pemikiran yang aneh mulai memenuhi isi kepalanya. Ia takut jika pembacanya jadi berkurang kalau dia mengatakan itu, tapi kalau tidak dikatakan orang - orang tidak akan tau.

"Tinggal ngetik ajasih kenapa harus mikir?" Suara Jovan membuat Haikal menatapnya jengah. Jovan selalu saja berucap seadanya gak memikirkan apa yang bakal terjadi nantinya.

"Lo pikir mudah, mikir dulu harus gimana kata - katanya gak bisa langsung jadi elah." Haikal mulai sewot pada Jovan yang hanya terkekeh ringan.

"Emang mau buat apa?"

"Mau lanjutin ceritanya tapi di umumin dulu kalau gue yang ambil alih bukan dia lagi."

Haikal sengaja memakai kata 'dia' karena itu akan membuat suasana dirumah makin mencekam dan dingin. Sudah cukup kesedihan yang sudah hampir menginjak 2 minggu, sudah jangan ada lagi kesedihan di antara mereka.

Semua yang ada dirumah sudah belajar mengikhlaskan kok, tapi tergantung diri masing - masing saja lagi.

Jovan yang mendengar pun lantas mengangguk lalu ia berjalan ke dapur untuk mengambil cemilan, ia lapar dan dirumah pun tidak ada yang memasak makanan karena Mamah yang sedang belanja buat bahan masakan malam ini, Papah yang masih bekerja, Bang Mahen yang belum pulang lagi ke Bandung, Bang Rey yang masih sibuk sama pekerjaannya di perusahaan Papah jadi tidak ada yang memasak untuk makan siang ini.

Nadin? Dia bahkan belum pulang kerumah, yang biasanya kalau sudah ada kelas pagi jam 9 dia bakal pulang jam 11 tapi ini sudah jam 12 dan belum juga menunjukkan batang hidungnya.

DIRGANTARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang