TigaL — Chapter 7
Berakhir—Happy Reading—
"Lian?" Panggilan itu membuat mata Lian yang terpejam erat mulai terbuka. Air matanya tak bisa ia bendung lagi. Tubuh ringkih yang semulanya ditopang oleh seseorang, kini langsung beralih memeluk tubuh orang itu.
"Hiks, Lian takut Om... Antar Lian pulang... Lian takut..." Racau sekaligus mohonnya pada orang itu.
Orang itu adalah dokter Andrew, sekaligus orang yang tadi nyaris menabrak Lian. Dengan perasaan yang khawatir, dokter Andrew segera membalas pelukan itu sembari memberikan ketenangan pada Lian. "Sudah ya, sekarang Lian sudah aman sama Om. Lian jangan takut, ada Om disini."
Lian mengangguk samar. "Pulang," mintanya dengan pelan. Sedangkan dokter Andrew hanya menanggapinya dengan mengangguk.
Dengan posisi masih berpelukan, dokter Andrew beralih pada orang-orang yang masih mengerubunginya. "Sebelumnya maafkan atas ketidaknyamanan yang terjadi karena anak saya. Dia sebenarnya anak yang baik kok Pak, hanya saja dia mempunyai sebuah trauma kepada orang asing. Sekali lagi saya minta maaf yang sebesar-besarnya." Beberapa orang yang masih berkerumun termasuk bapak yang tadi sempat memaki Lian mulai mengerti dengan situasi saat ini. Ternyata anak itu tidak gila, hanya saja dia mempunyai trauma. Tau begitu mereka akan memperlakukan Lian dengan lebih baik tadi.
"Saya juga minta maaf Pak. Saya benar-benar tidak tau dengan kondisi anak bapak sampai-sampai tadi saya sempat memakinya."
Dokter Andrew hanya tersenyum dan mengangguk sekilas. Tanpa melepaskan pelukannya, dokter Andrew mengalihkan tubuh Lian kedalam gendongannya. "Kita pulang sekarang ya Lian?" Tawarnya dan diangguki cepat oleh sang empu.
•••
Gelapnya ruang tanpa penerangan ini menjadi saksi bisu bagaimana Lian menunjukkan sisi terlemahnya. Bukan sebuah fakta baru bila bawah meja adalah tempat kesukaan Lian. Suara tangisan yang teredam diantara air mata yang mengalir deras dari pelupuk matanya, tak bisa membohongi bila pemuda 16 tahun itu benar-benar sedih namun enggan menunjukkan kesedihannya.
Pura-pura kuat bukan berarti tidak kuat, hanya saja orang yang seperti itu hanya ingin diakui kuat tanpa menyadari dirinya sudah lebih kuat dari apa yang diperkirakannya.
"Hiks, nanti nasib Lian gimana ya? Hiks, apa Lian bakal mati tanpa ngerasain kasih sayang dulu? Apa Lian akan berakhir hari ini? Hiks..." Bukan tanpa alasan Lian meracau seperti itu. Firasatnya mengatakan jika hal yang buruk akan mendatanginya nanti. Pemikiran itu semakin diperjelas dengan tidak adanya bi Sum dirumah karena tadi wanita setengah abad itu sempat mengatakan jika ia akan pulang lebih sore dari biasanya.
"Hiks... Lian harus bagaimana, Tuhan..."
Brak brak brak
Gedoran pintu tanpa rasa sopan santun itu berhasil membuat Lian bertambah takut. Tangis yang sedari tadi teredam kini berubah menjadi keras. Percuma saja, seberapa keras Lian menangis, itu tidak akan terdengar dari luar, kamar Lian kedap suara.
Brak brak brak
Hampir 3 menit berlalu dan Lian belum juga membukakan pintu kamarnya. Entah karena apa, perasaan takutnya tiba-tiba sirna entah kemana. Tangan yang sedari tadi melingkar diantara lututnya, kini beralih untuk mengusap air mata yang mulai mengering di pipinya sendiri.
Dengan gerakan perlahan, Lian mulai mengeluarkan tubuhnya dari tempat sempit itu. Senyum miring tercetak jelas di wajah sayu nya. "Semoga aku masih bisa balik lagi ketempat ini."
Lian melangkahkan kakinya dengan pelan namun pasti. Sesampainya didepan pintu, Lian langsung membuka benda tiga dimensi itu tanpa ragu. Tangan yang masih memegang handle pintu itu tiba-tiba disambar oleh orang dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TigaL || Selesai
Teen FictionDiary of Lian ➞ TigaL ••• Jika orang berkata, rumah adalah tempat kita berpulang, teman adalah sosok yang paling mengerti kita, dan keluarga adalah orang-orang yang paling tulus di hidup kita. Tapi, kenapa bagi Lian itu semua terlalu mustahil untuk...