Karma

1.3K 73 1
                                    

Javier memperhatikan rekaman CCTV itu dengan saksama. Dia melihat istirnya mengobrol begitu dekat dan intim dengan Alfonso di basement kantornya. Setelah video itu, dia melihat Mary beberapa kali masuk ke dalam sebuah hotel kemudian tak lama, Alfonso pun masuk ke dalam hotel yang sama dan masuk ke dalam kamar hotel yang sama. Mary dan Alfonso menghabiskan waktu satu sampai dua jam di dalam kamar itu kemudian keluar satu per satu.

Javier meremas jemarinya, darahnya berdesir. Javier tahu betul bahwa rekaman itu adalah bukti dari perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain. Di saat dirinya sudah kembali pada keluarganya, kini dia merasa mendapatkan karma dari perbuatannya.

Jauh dalam lubuk hatinya, Javier merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang kepala keluarga. Bagi lelaki, harga diri adalah yang paling utama di atas segalanya dan dia sulit untuk dapat memaafkan Mary dan segala kelicikannya.

Baiklah, mungkin inilah yang harus terjadi. Pikir Tom dalam hati.

"Kau yang menemukan ini?" tanya Javier pada Tom.

"Ya, Tuan. Saya memergoki mereka saat di basement tiga hari yang lalu," jawab Tom berterus terang.

Javier mengeluarkan CD dari laptopnya kemudian berdiri dari kursinya. "Atur ulang semua jadwal pertemuan hari ini. Aku akan menyelesaikan urusan pribadiku dulu."

Javier pun pergi dari kantornya dan melajukan mobilnya menuju yayasan milik Mary. Di dalam mobilnya, Javier merenungi segala hal yang terjadi padanya. Dia masih merasa marah terlebih marah pada dirinya sendiri. Inilah balasan akan apa yang telah dia lakukan. Inilah karma yang dia dapatkan. Mary bukan menyakiti hatinya, namun lebih pada melukai harga dirinya.

Jglek!

Pintu ruangan Mary terbuka dan Mary melihat Javier muncul dengan ekspresi yang tidak biasanya.

"Sayang, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mary berusaha bersikap tenang meski hatinya sudah merasakan ada hal yang tidak beres.

Tanpa menjawab, Javier segera mengeluarkan sebuah CD dari saku dalam jasnya dan menyimpannya di atas meja kerja Mary.

"Buka ini dan lihat sendiri," kata Javier dengan ekspresi datarnya.

Perlahan, Mary melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya. Matanya terbelalak dan keringat dingin keluar begitu dia melihat rekaman dari CCTV hotel dan basement kantor Javier yang merupakan bukti dari perselingkuhannya dengan Alfonso yang masih berjalan bahkan setelah Javier berpisah dengan Jo.

"A.. a..." Mary tak bisa berkata apapun. Dia tidak dapat membela dirinya apabila bukti sudah berbicara.

"Mary, kau egois dan serakah. Aku sudah patuhi segala permintaanmu. Tapi kau tidak pernah memikirkan keluargamu, bahkan Ivy sekalipun," kata Javier dengan nada tenang namun tajam.

Mendengar nama putrinya disebut, Mary tersadar atas kesalahan besarnya. Kini dia mulai merasa bahwa Javier akan lepas dari genggamannya.

Kedua bola mata Mary mulai berkaca-kaca. "Apa kau akan menceraikanku dan kembali pada Jo?"

Brak!

Javier menggebrak meja. "Jo sudah tidak ada hubungannya dengan ini. Aku sudah berpisah dengan Jo saat kau memintanya, bahkan dia sudah bahagia dengan kehidupan barunya. Ini masalah kita berdua!"

Mary mulai menangis. "Javier, aku minta maaf."

Javier melangkahkan kakinya menuju jendela. Rasanya dia ingin meluapkan segala kemarahannya dengan memecahkan kaca di hadapannya. Tak dapat dipungkiri, Mary melakukan itu pun karena dia tidak dapat mencintainya dan menjadi suami yang baik baginya. Ini bukan hanya kesalahan Mary, melainkan kesalahannya juga.

Mary beranjak dari kursinya dan menghampiri Javier. Kini dia hanya dapat memohon agar Javier memaafkan dirinya. "Aku minta maaf, Javier. Aku berjanji akan meninggalkan Alfonso."

"Diamlah Mary!" Javier mencubit pangkal hidungnya karena pusing memikirkan masalahnya yang tak kunjung selesai.

Mereka berdua terdiam, Mary menunduk dan menangis karena menjadi terdakwa. Paling mudah baginya saat ini adalah membiarkan Javier pergi dan menceraikannya. Ivy pun akan dia serahkan pada Javier karena dia yakin bahwa Javier tidak akan pernah melarang dirinya untuk bertemu dengan putrinya. Mary menerima apapun yang Javier putuskan.

Javier berbalik, kemudian menghela nafas. "Baiklah, aku akan mencoba memaafkanmu."

Mary tak menyangka dengan apa yang Javier putuskan. Seketika dia menyadari bahwa suaminya adalah sosok suami terbaik yang pernah ada. Tujuh tahun pernikahan yang seharusnya menjadi kesempatan emas untuk membuat Javier mencintainya, telah dia sia-siakan dengan kesenangan pribadinya mengejar karir dan imej. Ivy, sudah jelas-jelas menjadi korban atas dosa yang tidak pernah dia perbuat.

***Drrrt Drrtt

Mary mematikan ponselnya setelah beberapa kali dia menolak panggilan dari Alfonso. Dia sudah tidak berselera memikirkan Alfonso saat ini. Dia pun sudah malu menghadapi Javier di rumah. Dirinya merasa begitu rendah dan mengecewakan. Sudah tidak ada imej dan harga diri yang dia banggakan selama ini.

Javier bilang dia akan mencoba untuk memaafkan. Namun sepertinya hal itu sangat sulit baginya bahkan setelah dua bulan berselang setelah dia ketahuan selingkuh oleh Javier. Javier pun hanya diam saat Mary mendekatinya atau mencoba berinteraksi senormal mungkin. Didiamkan justru lebih menyakitkan bukan?

Tok Tok

Mary membuka pintu kamar putrinya. Ivy yang sedang menggambar di meja belajarnya mendongak dan tersenyum manis saat ibunya masuk.

"Ada apa Mommy?" tanya Ivy.

Mary duduk di kursi di sebelah meja belajar Ivy. Ivy menghentikan kegiatan menggambarnya dan menggeser kursinya menghadap ibunya. Mary membelai lembut puncak kepala putrinya.

"Kau sudah besar, Nak."

"Umurku sudah tujuh tahun sekarang Mommy," jawab Ivy.

Mary tersenyum. "Mommy bangga memiliki putri yang cerdas dan manis sepertimu."

"Mommy, ada apa?" tanya Ivy yang merasakan ibunya tidak seperti biasanya.

Mary meraih kedua tangan putrinya, kemudian menggenggamnya erat. "Mommy ingin minta maaf padamu."

"Kenapa Mommy minta maaf?"

"Mommy sudah melakukan kesalahan besar pada Daddy."

"Kenapa Mommy tidak minta maaf saja pada Daddy?"

"Mommy sudah melakukannya."

"Apa Daddy memaafkan?"

Mary mengangguk dan matanya mulai berkaca-kaca. Dia tidak mengira bahwa putrinya sudah bisa diajak bicara sekarang. Sudah saatnya dia mengajarkan Ivy menjadi seorang anak yang mengerti akan keadaan orangtuanya.

"Kalau Daddy sudah memaafkan, kenapa Mommy meminta maaf lagi padaku?"

"Sepertinya Mommy sudah tidak bisa tinggal bersama Daddy lagi, Nak. Mommy sudah banyak mengecewakannya."

Ekspresi Ivy mulai berubah dari yang tadinya antusias berubah menjadi datar. Di matanya, kedua orangtuanya memang tidak seperti orangtua teman-temannya yang terlihat sering tertawa bersama. Bersama atau tidak bersama, mungkin tidak akan mengubah banyak hal. Bahkan kesibukan kedua orangtuanya pun sudah dapat diatasi dengan baik oleh Ivy karena dia masih didampingi oleh Nany yang selalu ada untuknya meski dia sudah besar.

"Mommy, apa Mommy akan selalu ada jika aku memanggilmu?" tanya Ivy setelah lama terdiam.

Mary menatap putrinya dan air matanya mulai berjatuhan. Ya Tuhan, selama ini aku telah menyia-nyiakan waktuku dengan tidak mendampingi Ivy. Bahkan aku merasa Ivy sudah sangat dewasa melebihi usianya.

Mary segera memeluk putrinya. "Mommy berjanji, kapanpun kau butuh Mommy, Mommy akan datang sesegera mungkin!"

Ivy pun membalas pelukan ibunya. "Kalau begitu, aku tidak kehilangan Mommy."***

Cause I'M YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang