Perpisahan

1.2K 77 1
                                    

Tok Tok Tok

"Masuk!" teriak Mary.

Tak lama, sekertarisnya masuk ke dalam ruangan dengan beberapa berkas yang menumpuk di tangannya.

"Hari ini banyak yang memberi ucapan terima kasih dari Ethiopia, Nyonya!" kata sekertaris lalu menyimpan amplop-amplop itu ke atas meja kerja Mary.

"Apa aku harus membalasnya satu per satu?" tanya Mary yang kaget sekaligus bangga mendapat kartu ucapan dari orang-orang yang dia bantu melalui yayasannya.

"Oh harus Nyonya. Kalau tidak, mereka akan kecewa," kata sekertaris itu sambil tersenyum lalu pergi dari ruangan itu.

Mary menghela nafas panjang, lalu menatap jam di dinding. Masih ada waktu dua jam untuk membalas surat-surat itu. Setelah dua jam, dia harus pergi ke suatu tempat karena sebuah janji.***Steve mengangkat ponselnya.

"Paket sudah dikirim Bos," kata seseorang di seberang sana.

Steve terdiam sebentar lalu menutup sambungan telponnya. Kehancuran Javier sudah di depan mata. Dendamnya sudah terbalaskan dan dia memutuskan untuk pergi dari hidup Jo.Saat Javier mulai hancur, dia tidak boleh ada di Philadelphia agar segala bukti tidak mengarah padanya. Malam ini dia akan pergi ke Paris selama beberapa bulan untuk menjalankan salah satu club malamnya di sana.

Koper sudah siap, paspor dan tiket pun sudah ditangannya. Steve turun dari kamarnya dan sampai di lantai bawah yaitu area club yang sudah buka tapi masih sepi di jam delapan malam seperti ini.

Seseorang yang dikenalinya terlihat tengah duduk di meja bar dengan segelas liquor di tangannya.

"Jo?" tanya Steve heran melihat Jo di sana.

Jo berbalik, lalu melihat Steve yang sudah siap dengan outfit bandara dan koper di tangannya. 

Jo meneguk minumannya.

"Kau mau pergi ke mana?" tanya Jo.

Steve menyuruh sopirnya untuk membawakan koper ke bagasi mobilnya, lalu dia duduk di samping Jo sejenak.

Mungkin kata perpisahan akan membuatnya tidak curiga.

"Aku akan ke Paris malam ini," jawab Steve.

"Paris?"

"Ya. Aku membuka club malam di sana. Besok lusa dijadwalkan untuk acara pembukaan."

"Apa hanya untuk acara pembukaan?"

Steve menatap Jo lekat. "Tidak Jo. Mungkin aku akan tinggal lebih lama di sana. Mengurusnya sampai stabil,mungkin setahun atau lebih."

Jo merasa kecewa mendengarnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. "So, apakah ini adalah perpisahan kita?"

"I'm affraid, yes."

Jo turun dari kursinya, lalu Steve pun turun. Perlahan, Jo memeluk Steve dalam dekapan hangatnya sebagai seorang teman.

"Sampai jumpa, pacar gadunganku!" kata Jo.

Steve terkekeh, lalu melepaskan rangkulan Jo masih sambil memegang kedua bahunya. 

"Apakah kau masih tidak ingin menjadi pacar sungguhanku? Kalau kau mau, aku akan batalkan keberangkatanku ke Paris, atau kau bisa ikut aku ke Paris."

Jo terkekeh, lalu menggeleng dengan ekspresi kecewa agar penolakannya terasa halus. "I'm so sorry."

Steve masih dengan perasaan tertolak tapi tak dapat memaksa Jo. "Okay."

Jo mengantar Steve sampai di depan mobilnya. Steve pergi dengan lambaian tangan perpisahan dari Jo.***Mary duduk di atas ranjangnya dengan tubuh tanpa busana yang hanya terbalut selimut. Di atas meja lampu tidur, terlihat sebuah amplop berwarna cokelat yang dia pikir adalah salah satu kartu ucapan dari Ethiopia. Hanya saja di depan amplop itu tak tercantum nama sama sekali.

Satu amplop itu memang dia rencanakan untuk membukanya di kamar hotel setelah pertemuannya dengan sang kekasih hati.

Tangan berotot dan berkulit lembut lelaki di sampingnya itu mengelus pipi Mary.

"Kau hebat sekali hari ini," bisik lelaki itu.

Mary menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan penuh gairah. "Memangnya hari hari sebelumnya aku tidak hebat?"

Lelaki itu tertawa renyah, lalu beranjak dari ranjangnya. Lelaki yang jelas-jelas bukan suaminya itu adalah lelaki yang membuat Mary merasa bergairah setiap kali bertemu. Dia adalah Alfonso, lelaki asal Italia yang dia temui setelah perjalanannya ke Ethiopia.

Alfonso sama-sama seorang volunteer yang mewakili yayasan lain dari Los Angeles. Pertemuan mereka terjadi di Ethiopia.

Pertanyaannya, apakah Alfonso tahu bahwa Mary sudah menikah? Jawabannya adalah Ya. Cincin pernikahan yang Mary kenakan di jari manisnya tidak pernah lepas. Tapi cinta membuat mereka buta.

Alfonso memakai kembali celana dan bajunya, lalu duduk di balkon hotel dan mulai menyalakan rokoknya. Dia sesap rokok itu dalam-dalam. Perasaan setelah bercinta yang luar biasa ditambah kenikmatan rokok membuatnya terasa sempurna.

Mary menatap pemandangan itu dari atas ranjangnya. Setiap gerakan yang dilakukan Alfonso, membuatnya semakin jatuh cinta. Hingga ujung matanya menatap amplop cokelat yang tergeletak di atas meja.


Mary meraih amplop itu lalu perlahan membukanya. Isinya bukan kartu ucapan, melainkan beberapa lembar foto berisi potret suaminya dengan wanita yang tak asing baginya akhir-akhir ini. Satu per satu dia lihat foto itu. Terlihat pancaran cinta dari gestur dan cara mereka memandang.

Bagaimana perasaan Mary saat ini? Campur aduk. Rasa bahagianya seusai bercinta, hilang digantikan dengan kesal dan sesak yang mengisi relung hatinya.

Ada rasa marah yang kemudian muncul saat melihat putrinya, Ivy, berada di antara Javier dan Joana yang dia simpulkan sebagai kekasih gelap suaminya.

Mary segera bangkit, lalu mengenakan pakaiannya kembali. Alfonso yang kaget dengan Mary yang terlihat marah itu segera mendekat.

"Apa apa Mary?" tanya Alfonso.

Mary tak menjawab, hanya berpakaian lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci mukanya. Alfonso melihat foto-foto berserakan di atas ranjang. Dia tersenyum melihat sosok Javier yang dia ketahui sebagai suami Mary berpose mesra dengan seorang wanita. Baginya, itu kesempatan emas untuk mendapatkan Mary seutuhnya.

Mary keluar dari kamar mandi lalu memasukkan foto-foto itu ke dalam amplop.

"Alfonso, aku harus pergi," kata Mary dengan ekspresi kesalnya.

Alfonso mendekap Mary. "Hey.. suamimu tak sebaik yang kau bayangkan. Kau bisa tinggalkan dia dan menjadi milikku seutuhnya,"

Kata-kata yang terdengar manis itu rupanya tak disukai Mary. Dia melepaskan dekapannya, lalu menatap Alfonso.

"Maaf Alfonso, aku harus kembali pada keluargaku!"

Mary kemudian pergi keluar dari kamar itu. Alfonso duduk dengan kesal di atas kasur. Kau akan kembali padaku Mary, lihat saja nanti.***Mary memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia akui, pernikahannya memang tak seharmonis yang terlihat di mata orang-orang. Di atas ranjang di kamarnya, Mary dan Javier lebih sering tertidur saling membelakangi. Mary bahkan lebih bergairah ketika bersama dengan Alfonso. Mungkin itu juga yang dirasakan Javier terhadap Jo.

Well, dapat dikatakan bahwa mereka berdua sama-sama berselingkuh. Tapi bagi Mary, jika pernikahannya hancur maka kejayaannya pun akan hancur.

Yayasan, imej dan anggapan masyarakat terhadapnya dan terhadap Javier akan ikut hancur. Perjuangannya bertahan dalam pernikahan dingin itu pun akan sia-sia.Serta jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Javier adalah cinta pertamanya. Dia bahkan merengek pada ayahnya agar dia dapat menikah dengan Javier dengan memanfaatkan kepentingan politik antara ayahnya dengan ayah Javier.

Air mata mengalir di pipinya. Sampai sejauh ini dia bahkan belum berhasil mendapatkan hati Javier meski dia sudah memiliki anak bersamanya. Dan Jo membuatnya sangat marah. Bagaimana bisa gadis yang baru-baru ini hadir di hidupnya dapat merebut hati Javier semudah itu?

Maaf Alfonso, kita selesai. Aku harus mengembalikan keluargaku utuh seperti semula.♤♤♤

Cause I'M YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang