Toxic

1.1K 56 0
                                    


Bayangan wajah Javier yang tersenyum menyambut Jo saat membuka mata. Jo tersenyum dan mengerejap beberapa kali sampai akhirnya bayangan wajah Javier berubah menjadi wajah Daniel. Jo mengerutkan dahinya, nyawanya mulai kembali sepenuhnya. Jo mulai menyadari alasan kenapa dia selalu melihat Javier pada Daniel. Itu karena mereka bersaudara.

"Good morning my fiancé!" bisik Daniel sambil tersenyum secerah sinar mentari. .

Jo bangkit dan mengucek matakanya beberapa kali. "Daniel? Kenapa kau ada di sini pagi-pagi sekali?"

Daniel mengangkat kedua bahunya. "Apa aku tidak boleh datang ke rumah tunanganku sepagi ini?"

Jo bangkit dari tempat tidur dan menatap tampilan dirinya yang berantakan dengan make up yang masih terpasang dan mascara luntur yang membuat wajahnya seperti panda.

"Ah, aku berantakan sekali!" kata Jo, pada dirinya sendiri.

Daniel ikut berdiri dan memeluk Jo dari belakang. "Kau sangat mengagumkan!"

Jo menggeleng, melepas pelukan Daniel lalu membersihkan sisa make upnya dengan kapas dan toner. Daniel berkeliling di dalam kamar Jo dan memperhatikan setiap pernak-pernik yang Jo miliki. Lalu dia berbaring di atas tempat tidur Jo, menatap langit-langit.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Jo, menatap Daniel melalui pantulan cermin.

"Aku ingin merasakan rasanya menjadi dirimu."

Jo sudah selesai membersihkan wajahnya dari make up, dia pun bangkit dan berdiri di samping tempat tidurnya menatap Daniel yang berbaring.

"Baiklah, sudah dulu menjadi dirikunya. Aku harus ganti baju," kata Jo.

"Ganti saja bajumu," jawab Daniel santai.

Jo berkacak pinggang.

"Apa aku tidak boleh melihatnya? Kau tunanganku," Daniel duduk di tepian ranjang.

"Tidak boleh, sampai kau melihatnya nanti setelah menikah."

Daniel pun berdiri dengan penuh semangat. "Baiklah! Aku akan mempercepat acara pernikahan kita!"

Daniel pun keluar dari kamar Jo dan menutup pintu. Jo menghempaskan dirinya ke atas tempat tidur dan menyesali apa yang telah dia ucapkan. Menikah? Aku sudah gila!

Jo sudah selesai mengganti baju dan ikut bergabung dengan Daniel dan Bibi Ema di meja makan menikmati sarapannya.

"Jo, aku harus pergi ke Jerman mengurusi pekerjaan. Apa kau mau ikut?" tanya Daniel.

Jo menatap Bibi Ema, lalu menggeleng. "Aku tidak bisa ikut, aku mulai kembali ke rumah kaca bersama Patrick mengurusi sayuran."

"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan lama. Aku akan segera menyelesaikan project dan kembali ke sini untuk melangsungkan pernikahan."

Bibi Ema melirik Jo yang terlihat belum siap untuk pernikahan.

Jo mengangguk pelan.

"Malam ini, kita akan makan malam di restoran hotel bintang lima," kata Daniel.

"Makan malam?"

Daniel terkekeh. "Itu kado pertunangan dari Javier."

Jo terdiam, lalu kembali mengangguk.

***Javier termenung di meja kerjanya, memikirkan ciuman kemarin. Rasanya begitu candu dan memabukkan. Javier menatap jam di tangannya dan saat ini waktunya istirahat siang. Dengan segera dia keluar dari ruang kerjanya dan melajukan mobilnya ke Desa Forks.

Sesampainya di sana, dia tidak langsung turun dari mobilnya. Sampai akhirnya dia melihat Jo keluar dari rumah Bibi Ema berjalan menuju rumah kaca.

Jo masuk ke dalam rumah kaca dan merasakan di dalamnya begitu sepi. Dia melirik jam tangannya dan tersadar.

"Ah, ya! Sekarang jamnya istirahat makan siang!" gumam Jo.

Jo memeriksa tanaman paprika yang ditanam di rumah kaca dan terlihat mulai berbuah namun belum cukup umur untuk dipanen.

Srek! Tap tap tap.

Jo mendengar suara langkah kaki. "Patrick?!" teriaknya.

Jo pun berbalik. "Aaak!"

Javier tertawa melihat Jo terkejut seperti itu. "Hahaha!"

Begitu tahu bahwa yang datang adalah Javier, Jo segera memasang wajah datarnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jo.

Javier berhenti tertawa begitu melihat ekspresi Jo yang mulai serius. "Aku merindukanmu."

Jo menghela nafas, kemudian kembali berjalan menyusuri tanaman paprika. Javier mengikuti dari belakang.

"Apa kau tidak merindukanku?" tanya Javier menggoda.

Jo berhenti, kemudian berbalik. "Javier, maafkan aku. Kejadian kemarin, aku terbawa emosiku. Sebaiknya kita tidak meneruskan ini, aku sudah bertunangan."

Javier mendekat, Jo pun mundur. Javier menyentuh kedua lengan Jo, mendekatkan bibirnya pada telinga wanita di hadapannya.

"Jo, aku milikmu dan selamanya akan menjadi milikmu," bisik Javier.

Hembusan nafas Javier dapat dia rasakan di lehernya. Wangi maskulin dari aroma tubuh Javier begitu kuat masuk ke hidung Jo membuat darahnya berdesir. Bibir Javier yang menempel pada cuping teling Jo kini mulai turun menyusuri lehernya yang jenjang. Javier adalah racun baginya. Racun yang membuatnya menginginkannya lagi dan lagi.

Javier mulai melonggarkan genggaman di kedua lengan Jo, namun bibirnya masih menyusuri leher Jo yang begitu dia rindukan.

"Aku tahu kau pun masih milikku," bisik Javier, kemudian menghentikan aktivitasnya.

Jo menatap Javier lekat. Dengan berat dia mendorong Javier perlahan untuk menjauhinya membuat Javier menatap penuh tanda tanya.

"Aku memang mencintaimu. Dari dulu sampai saat ini, aku belum bisa terlepas dari jeratan cintamu," ucap Jo membuat Javier tersenyum. "Tapi, aku tidak bisa menyakiti Daniel."

Javier tertegun. Hatinya sakit ketika Jo lebih memilih Daniel daripada dirinya, meski apa yang dilakukan Jo sudah benar. Dia pun tidak ingin menyakiti adiknya. Jo pergi meninggalkan Javier yang tertegun dengan hati yang sama sakitnya dengan apa yang dirasakan Javier saat ini.***Jo memainkan garpu di atas piringnya, memikirkan apa yang terjadi tadi siang di rumah kaca bersama Javier. Dia merasa bahwa tadi dia sangat kejam pada Javier dan dia menyesalinya saat ini.

Daniel menggenggam tangan Jo.

"Kau masih tidak enak badan?" tanya Daniel.

Jo terhenyak dan memandang Daniel. "Tidak, aku baik-baik saja."

Daniel tersenyum. "Kau yakin tidak ingin ikut aku ke Jerman?"

Jo menggeleng. "Tidak Daniel,"

"Baiklah."

"Berapa lama kau di Jerman?"

Daniel mengerat tenderloin di atas piringnya dengan pisau dan garpu. "Dalam project planning, tiga bulan. Tapi aku usahakan agar aku dapat menyelesaikan secepatnya. Oh ya, kau dan Mom persiapkanlah pernikahan selama aku di Jerman. Setelah aku kembali, kita akan menikah dan aku akan membawamu ke Jerman bersamaku,"

Jo terdiam. Ke Jerman? Selamanya? Bagaimana dengan Bibi Ema?

"Daniel, aku ingin kau mempertimbangkan hal itu. Aku tidak siap jika harus meninggalkan Bibi Ema dalam waktu yang tidak dapat ditentukan."

"Kalau begitu, kita ajak Bibi Ema."

Sebegitu mudahnya Daniel memutuskan sesuatu. Bahkan Bibi Ema pun belum tentu mau ikut. Dalam pikirannya bukan hanya Bibi Ema yang membuatnya berat meninggalkan Philadelphia. Melainkan juga Javier. Pertemuannya dengan Javier membuatnya semakin ragu untuk meneruskan pernikahannya bersama Daniel, tapi Daniel teralu baik untuk disakiti. Hati dan pikirannya benar-benar dilemma saat ini.***

Cause I'M YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang