32. Pulang 🌾

4.5K 337 1
                                        

Happy Reading;))
•••

Setelah benar-benar dinyatakan sembuh, Aisyah akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sehari setelah dinyatakan sembuh, Aisyah selalu merengek untuk pulang pada Abi, laki-laki itu belum mengijinkan sebelum dokter juga mengijinkannya. Saat dokter sudah benar-benar mengijinkan Aisyah pulang barulah Abi membawa Aisyah untuk pulang ke rumah.

Hanya Abi yang Aisyah ajak bicara, yang lainnya belum berbicara sama sekali dengan Aisyah terutama suaminya. Entah kemana perginya laki-laki itu, saat sampai di rumah ia sama sekali tak menemukannya. Hanya ayah dan bundanya saja berada di rumah saat ia pulang, Aisyah ingin meminta maaf pada kedua orang tuanya karena telah membuat mereka kecewa tapi ia juga takut jikalau orang tuanya tetap menginginkan ia untuk tidak bercerai dari Gus Hanan sedang menurutnya itu adalah keputusan yang paling terbaik untuk semuanya.

“Bang, Gus Hanan kemana? Kok nggak ada di rumah?” tanya Aisyah.

Kini ia dan Abi berada di kamarnya, ia memberanikan diri untuk bertanya kemana perginya Gus Hanan pada Abi. Walaupun memilih untuk berpisah tapi bukan berarti Aisyah tidak perduli pada Gus Hanan saat laki-laki itu masih menjadi suaminya.

“Abang juga nggak tau, Syah. Mungkin nganter Abi sama Umi pulang ke Malang. Sedari rumah sakit sampai sekarangkan kamu cuman ngurung Abang di sini sama kamu, mana Abang tahu keadaan di luar,” sahut Abi.

Sedari pulang dari rumah sakit, Aisyah tak membiarkan Abi untuk meninggalkan dirinya, jika Abi meninggalkannya lalu ia harus berbicara pada siapa, tak ada orang rumah yang bisa ia ajak bicara selain Abi.

“Ya siapa tahu gitu,” decak Aisyah.

“Abang keluar ya, sumpek di dalam sini,” pinta Abi.

“Yaudah sana, nanti juga aku mau keluar, mau minta maaf sama Ayah Bunda,” timpal Aisyah.

“Jangan marah terlalu lama ya cantiknya Abang, nanti Allah juga marah sama kamu loh,” nasehat Abi.

“Iya-iya,” sahut Aisyah.

Abi keluar dari kamar Aisyah. Saat Abi keluar, Aisyah merebahkan dirinya di atas tempat tidur, matanya terpejam. Bayangan Gus Hanan tiba-tiba terlintas di ingatannya. Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang, apakah dia baik-baik saja.

“Maaf karena aku berkali-kali membuatmu kecewa, a'a. Aku terpaksa, aku nggak mau mamah kecewa dan marah sama kamu hanya karena aku,” lirih Aisyah.

Ia merasakan dadanya naik turun, mengapa disaat mengingat semua itu hatinya terasa perih, dadanya terasa sesak. Ia berusaha untuk ikhlas tapi rasanya begitu susah.

•••

“Kamu kenapa ngajak aku ketemu di sini, Fra. Kalau mau bicarain soal perjodohan Tita sama Hanan jangan sekarang, aku masih berusaha buat ngeyakinin dia buat nerima perjodohan itu,” ucap Devina.

Afra menatap serius ke arah Devina, bibirnya tersenyum tipis. “Aku ke sini bukan mau bicarain itu, aku cuman mau bilang sama kamu kalau perjodohan itu kita batalkan saja ya,” jelas Afra membuat Devina melotot.

“Maksud kamu?”

“Perjodohan Tita sama Hanan kita batalin aja ya, sepertinya putriku tak menyukai Hanan dan begitu juga sebaliknya, bukankah Hanan sudah menikah, Dev. Apa kamu tega melihat menantumu diduakan oleh suaminya, kalau aku jadi kamu, aku pasti tidak akan tega. Jika putriku diposisi Aisyah aku akan marah besar pada mertuanya, putri yang aku besarkan sepenuhnya hati lalu disakiti dengan sesuka hati mereka, aku akan murka jika hal itu terjadi pada Tita. ”

Devina bungkam.

“Lagi pula aku tidak ingin memaksa Tita agar menerima perjodohan ini, aku dan suamiku membebaskan Tita untuk menentukan pilihannya, aku tidak ingin putriku hidup terkekang karena sesuatu yang tidak ia sukai,” imbuh Afra.

“Kok tiba-tiba sih, Fra? Aku sedikit lagi pasti berhasil bujuk Hanan,” sela Devina yang sepertinya tak rela jika perjodohan itu dibatalkan.

“Ini tidak tiba-tiba, Dev. Kita saja yang terlalu memaksa anak-anak untuk kehendak kita sendiri, walaupun anak-anak kita tak berjodoh tapi kita tetap bisa jadi sahabat, Dev. Seharusnya kita sebagai orang tua bisa mengerti dan selalu mendukung apapun yang menjadi pilihan anak-anak kita,” terang Afra.

Devina nampak terdiam, ia sepertinya memikirkan semua itu. Semoga saja hati Devina terbuka dan mau membatalkan perjodohan itu, bukan hanya Aisyah yang akan terluka jika perjodohan itu tetap terjadi. Ada Gus Hanan, Abi dan juga Tita sendiri.

“Tapi kamu serius mau batalin?”

“Serius, Dev. Lagi pula Tita itu udah punya calon suami sendiri, dia baru bilang sama aku dan Papihnya. Kalau aku tahu dari dulu bahwa dia sedang menunggu seseorang yang datang melamarnya, aku tidak akan memaksa dia untuk perjodohan ini,” jawab Afra.

“Calon suami? Siapa?”

“Ada, nanti kamu juga tahu. Rencananya minggu depan mereka mau datang ke rumah buat lamaran,” jelas Afra. Devina mengangguk lemas.

“Oh iya, Dev. Kan anak-anak kita nggak berjodoh nih, bagaimana kalau cucu-cucu kita aja nanti yang kita jodohin? Setuju nggak?”

Devina tersenyum tipis, dia tak menyangka jika sahabatnya ini berpikir sampai sejauh itu untuk menjodohkan cucu mereka.

“Jauh banget kamu mikirnya tapi ide kamu boleh juga sih? Kali ini aku akan pastikan kalau tidak akan gagal seperti ini lagi,” ucap Devina.

“Ya tergantung takdir juga sih, kita juga jangan terlalu maksain,” timpal Afra. “Terus gimana keadaan menantu kamu itu, aku denger dari Tita tadi dia katanya sudah keluar dari rumah sakit?”

“Aku juga nggak tahu, Fra. Aku malu untuk kembali bertemu dengan mereka setelah kelakuan aku kemarin yang menyakiti hati semuanya terutama putra dan menantuku. Aku emang ibu yang jahat karena memaksa Hanan untuk sesuatu yang tak ia sukai, aku jahat.” Suara Devina terdengar lirih.

“Masih ada waktu untuk perbaiki semuanya, Dev. Cukup kita orang tuanya saja yang hidupnya berantakan jangan sampai anak kita juga seperti itu, kamu temui mereka dan minta maaf, aku yakin mereka pasti mau maafin kamu. Apalagi menantu kamu, yang aku dengar dari cerita Tita selama ini, dia itu sangat baik, bahkan ia rela berkorban agar Hanan mau menikah dengan Tita, dia lebih perduli sama perasaan kamu sebagai ibunya Hanan dari pada perasaannya sendiri. Jaman sekarang sulit mendapatkan menantu seperti itu, Dev. Jika saja aku punya seorang putra, aku akan menjadikan wanita seperti Aisyah sebagai menantuku,” jelas Afra.

“Tapi apakah aku pantas untuk berada di sekitar mereka, Fra. Aku itu wanita jahat, ibu yang jahat. Rela mengorbankan kebahagiaan anaknya cuman demi kehendak diriku sendiri, aku tida memikirkan perasaan dia. Aku sudah meninggalkan dia selama 19 tahun dan saat aku kembali, aku menorehkan luka padanya lagi, aku ingin merebut kebahagiaannya, aku jahat sama dia, Fra.”

Afra menatap sendu Devina, sahabatnya itu benar-benar menyesalinya. Ia menyesal karena hampir saja merusak kebahagiaan putranya, ia pergi menorehkan luka pada putranya dan kembali juga dengan membawa luka untuk putranya. Ia benar-benar jahat.

“Temui mereka dan minta maaf, Dev. Hanya itu yang akan membuat hatimu lega, jangan sampai kamu terlambat dan menyesali semuanya disaat semua itu sudah tak bisa lagi diperbaiki,” nasehat Afra.

“Aku akan menemui mereka untuk minta maaf, terima kasih karena telah menyadarkanku dari keputusan yang salah ini, kamu memang sahabat terbaik aku, Fra. Aku menerima tawaranmu untuk menjodohkan cucu kita nantinya,” ucap Devina.

Afra tersenyum lalu mengangguk. Ia memeluk Devina erat. Hatinya merasa lega ketika semuanya sudah kelar.

•••
Bersambung...

Jangan lupa buat follow, vote dan komennya ya;)

Salam dari Bima;))

Nusa Tenggara Barat, 21 Februari 2022

H A N A N  &  A I S Y A H  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang