43. Siapa Dia? 🌾

3.9K 325 13
                                    

Happy Reading;))
•••

“Umi, mau Aisyah bantuin apa nih?” tanya Aisyah yang muncul diambang pintu dapur pesantren.

“Udah nggak usah, diam aja di sana.”

“Tapi umi—”

“Nurut ya Nak, ini juga demi kebaikan kamu. Umi takut nanti kalau ada apa sama kamu dan kandungan kamu, gimana?” Rasa khawatir Umi Sarah begitu besar pada menantunya ini.

Beberapa bulan telah berlalu dan tepatnya dua bulan lalu, Aisyah dinyatakan hamil. Mendengar itu, semua keluarga sangat bahagia ditambah lagi dokter Tita yang juga kakak iparnya tengah mengandung bersamaan dengannya.

Tahu istrinya hamil, Gus Hanan justru sangat membatasi ruang gerak Aisyah, bukannya mau ngekang atau semacamnya, dia hanya khawatir jika hal yang dulu terjadi lagi. Dia tak ingin kehilangan calon anaknya untuk yang kedua kalinya.

Kini mereka tengah berada di Malang, ibu hamil itu yang meminta agar datang ke sini karena rindu dengan mertuanya. Kebetulan juga dia libur setelah kenaikan semester waktu lalu.

“Ya nggak gimana-gimana sih, umi. Palingan dimarahin sama Abahnya,” kekeh Aisyah.

“Makanya jangan nakal,” timpal seseorang dibelakang kedua wanita berbeda generasi tersebut.

“Aku itu nggak nakal, a'. Anak aku aja yang pengen banyak geraknya,” sela Aisyah yang tak mau disalahkan oleh suaminya.

“Denger tuh, Nak. Masih dalam perut aja kamu udah difitnah sama Uma kamu, gimana kalau udah lahir,” ucap Gus Hanan mengusap lembut perut Aisyah.

Aisyah merasa tersipu, itu bukan pertama kalinya Gus Hanan mengusap perutnya tapi rasanya tetap berdebar. Ia kemudian mendekati Gus Hanan, tangannya melingkar di tubuh laki-laki itu dengan erat.

“Bukan fitnah suamiku tapi itu memang faktanya, iya nggak Nak? Tuhkan dia jawab iya.” Gus Hanan tersenyum tipis, ia mengusap kepala Aisyah yang tengah memeluknya.

“Banyak gerak boleh tapi harus tetap hati-hati kalau lagi jauh sama a'a, a'a itu trauma jika harus kehilangan anak lagi,” ungkap Gus Hanan jujur.

“Kalau kehilangan Aisyah, gimana?”

Gus Hanan menatap tajam ke arah Aisyah yang tengah mendongak. Iris hitam pekat itu mampu membuat nyali Aisyah menciut seketika.

“Bercanda,” ucap Aisyah lalu memeluk erat suaminya. Ia takut jika laki-laki itu marah, walaupun selama ini ia tak pernah melihat Gus Hanan marah, kalaupun dia marah. Dia akan memilih untuk diam saja karena takut emosinya bisa menyakiti hati Aisyah.

“Nggak boleh gitu lagi ya.”

“Iya a'.”

“Ana uhibbuka fillah istriku.”

“Ahabbakallazi ahbabtani lahu.”

•••

“Assalamu'alaikum!!”

Terdengar suara seseorang yang membawa salam di depan pintu Ndalem. Kebetulan Haura yang berada di dalam, setelah mendengar suara tersebut ia lantas keluar untuk melihat siapa yang datang.

“Waalaikumus salaam!!”

“Ning Haura,” panggilnya nampak sangat girang.

Haura yang semula fokus pada kitab ditangannya kini menoleh ke depan. Dia terdiam sejenak, setelahnya ia berusaha menyembunyikan rasa keterkejutan nya dari orang di depannya ini.

“Mbak Ana,” gumam Ning Haura yang masih bisa terdengar oleh perempuan bernama Ana tersebut.

“Ah, kamu masih ingat Mbak ternyata, kirain udah lupa karena lama nggak ketemu,” gurau Ana.

H A N A N  &  A I S Y A H  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang