14. Sweet 🌾

6.1K 430 6
                                    

Happy Reading;))
•••

“Syah, lo kenapa sih? Gue lihat akhir-akhir ini lo sering melamun deh, ada masalah ya?”

Elina menatap Aisyah penuh prihatin, sebab sudah lebih dari seminggu dia terlihat murung, entah apa yang sedang dia alami sehingga membuatnya banyak murung.

“Iya, Syah. Lo kenapa deh, kalau ada masalah cerita sama kita, siapa tau kita bisa ngasih solusi,” timpal Alia.

Aisyah menggeleng lemah, ia merasa bibirnya kaku untuk berucap. Sudah seminggu lebih, apakah kesalahannya begitu fatal tapi jika dipikir lagi, tak sampai separah itu.

“Syah, jangan bikin kita khawatir sama lo, cerita kalau lo ada masalah. Ada yang gangguin lo atau gimana, bilang sama gue,” desak Elina.

“Iya, Syah. Jangan diam aja.”

“Gue nggak papa, El, Al. Gue cuman agak lemes aja soalnya tadi sebelum ke sini nggak sempat sarapan dulu, gue baik-baik aja kok,” jelas Aisyah.

“Bener, Syah?”

“Nggak bohong ‘kan?”

“Bener kok, gue baik-baik aja. Nggak usah khawatir ya,” ucap Aisyah.

Alia dan Elina bernafas lega, walaupun dalam hatinya masih khawatir pada Aisyah. Bagaimana mungkin mereka tak khawatir, ini merupakan kali pertamanya mereka berdua melihat Aisyah seperti itu.

Aisyah yang mereka kenal selalu ceria tapi sekarang justru terlihat layu seperti bunga yang sudah lama tidak disiram.

“Gue mau pulang,” pinta Aisyah lemah.

“Mau kita antar nggak?” tanya Elina.

Aisyah menggeleng pelan, “Gue naik ojol aja,” tolak Aisyah.

“Bener?”

“Iya,” sahut Aisyah.

Aisyah beranjak dari kursinya, ia berjalan menuju gerbang kampus untuk menunggu ojol-nya. Sebelum itu dia sudah pamit pada Elina dan Alia terlebih dahulu, mata kuliah juga sudah selesai jadi ia bisa pulang lebih awal sekarang.

•••

Tepat pukul 11:39 Aisyah sampai di rumahnya, ia berjalan dengan langkah lemas menuju pagar rumah, seperti orang yang tak bertenaga.

Kebetulan orang tua Aisyah sedang tidak ada di rumah sekarang, ada undangan reuni dari teman lamanya jadinya hanya Aisyah saja yang berada di rumah.

“Capek banget kayaknya, mau di ambilin minum nggak?”

Dengan spontan, Aisyah yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah langsung menoleh ke arah suara dengan wajah kagetnya.

Setelah ditatap lama, mata Aisyah tiba-tiba berkaca-kaca. Perasaannya sudah bercampur aduk, antara bahagia, sedih dan marah.

“Kok gitu natapnya, udah kayak lihat musuh yang harus dimusnahkan saja kamunya,” ucapnya terkekeh seraya tersenyum manis menatap Aisyah.

Aisyah masih diam, air matanya sudah banjir kemana-mana tapi ia tak perduli. Rasa rindunya sudah menumpuk, seminggu itu bukan waktu yang sedikit apalagi tanpa kabar sama sekali.

“Nggak mau peluk nih?” Ia merentangkan tangannya ke arah Aisyah tapi belum ada pergerakan sama sekali dari gadis itu. Ia hanya menatap lurus kedepannya.

“Yaudah kalau nggak mau meluk, balik lagi ke Malang aja kalau gitu, di sini nggak dianggap.”

Itu Gus Hanan, ia itu dia. Laki-laki yang sudah seminggu menghilang tanpa kabar membuat Aisyah uring-uringan karena khawatir.

H A N A N  &  A I S Y A H  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang