EPILOG

211 29 7
                                    

"Gimana sayang? Butuh apa? Aku harus ngapain?"

Ryujin menatap Hyunjin yang wajahnya pucat pasi, begitu gugup hingga tubuhnya berkeringat dingin. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ini yang mau melahirkan aku atau kamu?"

"Ini dokternya mana sih? Mau sampai kapan ditunggu? Tadi kata bidan udah pembukaan berapa?"

Hyunjin celingukan, tak mendengarkan kata-kata Ryujin, ia tetap saja panik karena istrinya yang baru saja pecah ketuban sekitar satu jam yang lalu tepat dalam perjalanannya ke rumah sakit, di waktu yang menunjukkan pukul 1 malam, sehingga kondisi rumah sakit dalam keadaan sepi. Namun, hingga waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dokter kandungan yang ditunggu tak kunjung tiba.

"Udah, tenang, nanti pas-" Tiba-tiba Ryujin menautkan alisnya, lantas mulai mengeluh kesakitan, membuat Hyunjin yang melihat ekspresi di wajah wanita itu langsung panik bukan main lantas melesatkan tubuhnya menuju pintu kamar rumah sakit sambil berteriak "bu bidan!!!" berkali-kali.

Tak butuh waktu lama, Hyunjin muncul dari balik pintu sambil menarik tangan dari seorang bidan rumah sakit yang tadi tengah berjaga tidak jauh dari sana.

"Tuh bu bid! Anak saya sudah mau lahir!"

Wajah Ryujin merah padam. Selain karena tengah menahan rasa sakit dari kontraksi, ia juga merasa malu karena sejak tadi Hyunjin sudah berulang kali berlari keluar masuk ruangan sembari menarik seorang bidan, lalu mengulangi kalimat yang sama bahwa anaknya akan segera lahir.

"Saya cek dulu ya."

Bidan itu mulai melakukan tugasnya. "Sudah pembukaan delapan, sabar ya bu. Dokter sudah kami hubungi dan sedang dalam perjalanan."

"Kalau istri saya keburu mau melahirkan sebelum dokternya sampai gimana? Bukannya tadi kata bu bid istri saya harus dioperasi karena detak jantung bayinya melemah setiap istri saya kontraksi? Anak saya gimana ini? Istri saya juga gimana? Masa sudah sakit-sakit nahan kontraksi terus nanti ngerasain oper-"

"Sayang, udah aku nggak apa-apa kok." Ryujin meraih tangan Hyunjin.

Lantas, pria itu memeluk Ryujin, mengusap punggungnya, berharap bisa menyalurkan kekuatannya untuk mengurangi rasa sakit yang harus dilalui wanita itu.

"Saya stand by di luar ya pak. Kalau butuh sesuatu, langsung diinfokan saja."

Hyunjin mengangguk, namun tubuhnya masih memeluk Ryujin. Meskipun berusaha terlihat kuat, Ryujin beberapa kali tak sengaja membiarkan kedua tangannya meremas kuat tubuh Hyunjin, menahan sakit.

Bertahun-tahun bersama, Hyunjin sadar benar karakter Ryujin yang selalu berusaha terlihat bahwa ia selalu terkendali dalam kondisi apa pun. Sebenarnya Hyunjin pun sejak tadi merasa kesakitan karena sebelumnya saat mereka berpegangan tangan, Ryujin berulang kali meremas erat tangan Hyunjin setiap ia kontraksi. Cincin yang melingkar di jari Hyunjin menambah rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, dan sekarang, Ryujin beberapa kali meremas bahu Hyunjin tengah memeluknya.

Namun, Hyunjin berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengeluarkan suara "aduh" atau meringis. Ia tahu Ryujin memang kuat, namun hari ini Ryujin mengeluarkan kekuatan yang jauh berkali-kali lipat dibanding biasanya. Ia tahu karena seringkali dicubit oleh wanita itu setiap ia merasa kesal. Oleh sebab itu, Hyunjin tahu bahwa Ryujin sebenarnya merasa sangat kesakitan, hingga akhirnya ia membiarkan wanita itu meremas tangan atau tubuhnya sekuat mungkin.

"Badanku memang sakit  tapi Ryujin pasti jauh lebih kesakitan." Hyunjin membatin, mengulangi kata-kata yang sama sejak tadi.

Satu jam berlalu. Ryujin sudah tak sanggup duduk. Ia memiringkan tubuhnya di atas kasur, meringis berulang kali, wajahnya pucat, sudah tak mampu mengendalikan tubuhnya. Hyunjin yang sudah tak sanggup melihat kondisi Ryujin lantas pergi keluar menemui bidan.

Tak lama kemudian, dua orang bidan masuk, mulai mengulang prosedur yang sama.

"Loh, sudah keliatan kepalanya!" Salah satu bidan berseru.

Bidan yang satunya lantas beralih posisi, berdiri di sisi kiri Ryujin.
"Atur nafas ya bu. Kalau kontraksi, langsung ngejan!"

Ryujin mengangguk, mulai mengatur nafas.

"Sayang, nggak apa-apa k-"

"Bapak tunggu di ujung sana ya!" Potong seorang bidan yang secara tidak langsung mengusir Hyunjin yang sepertinya tidak bisa mengontrol rasa paniknya.

Lantas, Hyunjin berdiri mematung di ujung kasur. Wajahnya pucat seperti mayat hidup, sementara jantungnya berdegub kencang dan keringat dinginnya masih mendominasi. Matanya tak luput dari Ryujin, wanita yang ia nikahi sekitar satu tahun yang lalu.

●●●

Hyunjin tak sanggup lagi membendung air matanya. Ia justru jadi orang yang pertama menangis saat bayinya lahir dengan selamat, ditimpali rasa takut karena melihat darah yang mengalir deras dari tubuh Ryujin hingga seluruh tubuh wanita itu bergetar. Seluruh tubuhnya pucat.

Kini bayi mereka yang sudah dibersihkan tengah bertelungkup di atas tubuh Ryujin yang berbaring di atas kasur. Tubuhnya dibalut selimut, sembari menerima suhu hangat dari tubuh sang ibu. Hyunjin tak henti-hentinya mengecup kening Ryujin, merasa lega sekaligus berterima kasih.

"Mau nangis sampai kapan?" Ryujin tersenyum dengan bibirnya yang pucat, menambah rasa haru di hati Hyunjin.

Pria itu menggeleng. "Makasih ya, sayang. Maaf ya, gara-gara aku... kamu jadi hamil."

Sontak, Ryujin yang tubuhnya masih lemah tak sanggup menahan tawa mendengar ucapan konyol Hyunjin. "Ngomong apa sih? Aku malah seneng hamil, punya baby boy yang lucu gini." Ryujin memasang wajah imut sambil menatap bayinya. "Memangnya kamu nggak senang punya bayi?"

"Senang lah! Senang banget! Tapi aku nggak tega kalau kamu kesakitan kayak tadi lagi. Rasanya aku nggak berguna banget."

"Kamu dari dulu gampang overthinking. Aku nggak apa-apa. Lagi pula, kalau setelah sakit dapat hadiah begini, aku nggak akan nolak."

Hyunjin menghela nafas. "Maaf ya nak, papamu modelannya begini."

Ryujin kembali tertawa. Salah satu tangannya menyentuh pipi Hyunjin.

"Jangan minta maaf. Aku selalu bersyukur karena bisa sama kamu."

Hyunjin tersenyum singkat, memegang tangan Ryujin yang menempel di wajahnya, lalu mencium punggung tangan wanita itu. Sesaat ia teringat momen saat mereka di Disneyland, dimana Ryujin mengatakan ingin menua bersamanya.

Lantas, pria itu memikirkan masa depannya, menghabiskan sisa umurnya bersama wanita yang paling ia cintai, memakan cookies yang mungkin nantinya harus dalam kondisi less sugar karena menyesuaikan tubuh mereka yang sudah renta, belum lagi gigi palsu yang mereka butuhkan untuk mengunyah.

Tiba-tiba Hyunjin tertawa, menyadari dirinya memikirkan hal yang begitu konyol. Ryujin mengernyitkan dahi, menatapnya.

"Kenapa ketawa?"

Hyunjin tersenyum hangat, menggeleng. "Aku sayang sama kamu... eh... sama kalian." Pria itu mengoreksi kata-katanya kala teringat kini seorang anak telah hadir di antara mereka.

●●●

TAMAT

SECRET RECIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang