Dua mataku terbuka lebar sebab saat kedua kakiku bergesekan ada benda yang mengganjal. Setelah kurasa kumpulan niatku cukup untuk beranjak dari tidurku, selimut merah tua tebal ini kubuka dan aku langsung menelusuri benda itu. Ternyata sebuah benda berbentuk kotak dan berwarna hitam melingkar di kaki kananku.
Benda apa ini? Terdapat layar gelap dengan tombol di sisi kanan dan kirinya, persis seperti jam tangan.
Siapa yang memasang benda aneh ini?
Aku harus menyelidiki hal ini.
Kulipat kasurku lalu kudorong masuk ke bawah ranjang. Ah iya, aku selalu tidur di bawah sebab Andrew bilang ia tak mau berbagi tempat tidur denganku. Padahal beberapa hari yang lalu ia memindah tubuhku dari sofa ke ranjangnya. Andrew memang pria aneh.
Keluar dari kamar aku langsung menuruni tangga. Di ruang keluarga Andrew sedang membaca, entah apa yang ia baca. Sepertinya sesuatu yang penting.
"Apa yang kau baca?"
Pertanyaanku dibiarkan mengambang begitu saja, pria itu melengos kemudian pergi. Mungkin ia masih marah padaku soal kemarin, aku menjambak rambutnya cukup kasar. Kususul ia ke dapur, ikut membuat susu seperti dirinya.
"Kau yang memasang benda ini padaku?" Tanyaku.
Bukan rangkaian jawaban yang kudapat tetapi tangan kasarnya menggeret paksa diriku keluar rumah. Andrew membawaku sampai ke tepi jalanan aspal, anehnya benda itu mengeluarkan bunyi ketika kaki kananku menginjak aspal selama beberapa detik.
"Gelang monitor" Andrew merundukkan badan di depanku, ia kencangkan benda itu pada kakiku.
"Gelang ini akan berbunyi setelah satu menit kakimu menginjak aspal, ketika itu terjadi polisi akan mengejarmu"
"Tunggu, apa maksudmu?" Aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi saat ini.
"Aku tidak mau melihatmu di kantor atau di manapun hari ini. Kau tidak boleh keluar. Jika kau berani kabur kau tahu akibatnya"
"Kenapa aku tidak boleh keluar?"
"Aku tahu kau tidak punya masalah dalam ingatan, jadi kurasa kau tahu jawabannya"
Ya, aku tahu. Andrew masih dendam atas perbuatanku kemarin dan ini adalah ajang pembalasan dendamnya.
"Aku bukan penjahat tuan Taggart!"
"Tapi kau tahananku di rumah ini"
"Lepaskan aku, bodoh!"
Aku sudah cukup menerima kesialan dalam hidupku, sekarang Andrew menambahnya. Ini gila! Aku hanya seorang sekretaris biasa yang menjalani hidup penuh kemalangan, aku bukan seseorang yang bermasalah, tapi suami menyebalkan itu mengurungku dengan benda ini layaknya seorang tahanan.
DUUAAR!!
Jantungku nyaris melarikan diri saat ledakan itu muncul dari keranjang sampah yang menjadi target peluru dari pistol Andrew.
"Nasibmu akan seperti keranjang sampah itu bila kau terus mengoceh"
"Eheheheh" Aku mengelus lengan Andrew "Ampuni istrimu ini wahai suamiku"
Reaksinya?
Menyingkirkan tanganku dengan kasar seperti menyingkirkan kotoran burung. Apakah aku sekotor itu?
"Gelang itu tidak bisa kau lepas bahkan dengan pisau sekalipun, jadi jangan berusaha melepasnya"
"Baiklah" Ucapku dengan menggerutu.
"Lihat ke belakang"
Tanpa banyak bertanya aku langsung menoleh ke belakang sesuai instruksinya, tertangkap dalam pandanganku tiga sosok pria berseragam hitam lengkap dengan kaca mata dan walkie-talkie pada masing-masing tangan mereka berdiri tegap tanpa gerak bagai patung Stonehenge di Inggris.
"Kau juga akan berurusan dengan tiga pengawalku jika kaki sialanmu itu meninggalkan rumah"
***** *****
Andrew benar, pisau pun tidak bisa melepas gelang ini dari kakiku. Aku sudah mencobanya beberapa kali tepat satu jam setelah Andrew berangkat ke kantor. Usahaku sia-sia.
Sekarang aku terkurung di rumah bersama gelang ini. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan di rumah pada hari kerja seperti ini, mungkin lebih baik aku berjelajah sebab sejak pertama kali aku datang ke tempat ini aku sama sekali belum berkenalan banyak dengan segala hal disini.
Petualanganku dimulai dari ruang bawah tangga, ruang yang mana Andrew akan membunuhku jika aku masuk ke dalam. Keraguan sama sekali tak hinggap dalam diriku bahkan ancaman maut itu tak membuat rasa inginku pudar begitu saja. Lagi pula siapa yang akan memergoki perbuatanku? Hantu? Disini tidak ada hantu, mereka takut melihat wajah Andrew.
Mortise lock atau badan kunci telah berbunyi dua kali ketika aku memutar kunci dua kali, itu artinya pintu sepenuhnya dapat terbuka. Tepat dengan itu aku mulai melangkah.
Gelap.
Tidak ditemukan setitikpun cahaya disini. Untuk itu tanganku mulai meraba dinding untuk menemukan sesuatu terkait penerangan, entah itu sakelar atau senter tergantung. Dan aku menemukan, sebuah sakelar. Aku langsung menekan benda itu.
Cahaya secepatnya memberi penerangan dari lampu bohlam. Membuat mataku segera beradaptasi dengan semuanya. Mulai juga mengedarkan ke segala arah demi memenuhi rasa ingin tahuku.
Sejauh yang kulihat hanya deretan buku berjajar rapi di dalam rak-rak besar. Beberapa di antaranya berceceran di lantai. Anehnya ruangan ini tak terlihat kotor sama sekali, tak ada sarang laba-laba pada sudut ruangan bahkan debu pun tak menempel di jariku saat aku mencolek meja. Sepertinya Andrew sering masuk ke sini.
Aku berlanjut menjelajah sembari mengamati buku-buku, salah satunya sempat kuambil sekedar ingin tahu buku apa yang pemilik rumah ini baca. The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald, novel yang bercerita tentang jutawan terobsesi pada gadis cantik. Kurasa Andrew suka membaca tentang dirinya sendiri.
Sampai aku berhenti tepat di depan sebuah lukisan seorang wanita berambut pirang indah dan menawan tengah memegang bunga mawar sembari tersenyum. Seorang wanita yang satu helaan nafasnya berarti bagi hidup seorang anak lelakinya, seorang wanita yang hidup untuk anak lelakinya, seorang wanita yang bayangnya selalu hidup dalam anak lelakinya.
Maura Taggart.
Kau harus tahu sesuatu, setiap kali aku melihat fotonya di ruang keluarga otakku selalu dipenuhi rasa heran sekaligus kagum, bagaimana bisa seorang wanita terlahir dengan wajah yang begitu cantik? Dia wanita tercantik menurutku. Entah mengapa aku merasa aura dari Maura Taggart sangat indah, seperti ada sesuatu menarik dari dirinya yang mungkin membuat orang lain nyaman jika bersamanya.
Maura sepertinya berbanding terbalik dengan putranya Andrew Taggart yang kasar, kejam dan penuh ancaman. Tetapi aku yakin wanita itu juga sangat mencintai putranya seperti putranya sangat mencintainya, mungkin jauh lebih besar rasa cintanya.
Wanita itu....
Ya Tuhan, jujur aku iri padanya. Ia begitu dicintai oleh Josh Willburg dan Andrew bahkan sampai akhir hidupnya. Sedangkan aku, ya, aku tahu Roz dan ayah mencintaiku dan aku juga sangat mencintai mereka. Hanya saja mungkin akan berbeda rasanya jika aku juga dicintai oleh ibuku, mungkin hidupku tak akan begini.
Mungkin hidupku sedikit membaik jika Florence di sini bersamaku.
Aku berniat berbalik arah namun kaki kananku menyandung sesuatu, aku tak dapat seimbang sehingga aku goyah. Tanganku berusaha memegang papan dalam rak buku namun tak bertahan lama, aku tersungkur ke lantai bersamaan dengan kertas-kertas beterbangan di atasku lalu terjatuh menimpa wajahku.
Sial, aku merasa sakit pada sikuku. Ia yang pertama kali membentur lantai dengan keras. Aku segera beranjak dari lantai, kupunguti kertas-kertas itu. Ada satu yang menarik perhatianku, kertas berisi kalimat ketikan lama. Kucermati setiap kata di dalamnya sampai akhir hingga aku dapat menarik satu kesimpulan.
Pada hari yang sama dengan hari kematiannya, Maura Taggart bertemu dengan Leah Carlson, ibu Jordan Willburg.
Tidak aneh sebenarnya, tapi mengapa aku begitu penasaran dengan kata Oscario? Kata yang sama dengan yang Andrew ucapkan beberapa hari yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Marriage (ON GOING + REVISION)
FanfictionAnna Isabella Claire tahu, hidup dalam pernikahan tidak semudah yang dibayangkan. Tetapi mimpi pernikahan indah yang ia bangun terus menjulang. Anna ingin menikah, menghabiskan sisa hidupnya bersama belahan jiwa dan mungkin keturunan yang lucu dan c...