Sepatu Bekas Untuk Anna

52 3 0
                                    

"Aku tahu kau tidak akan mengucapkan kata rindu padaku setelah kita tidak bertemu selama bertahun-tahun" Ucap wanita itu sambil mengepulkan asap rokok ke udara " Kau mungkin lebih tertarik untuk bertanya bagaimana kehidupanku saat aku jauh dari kau dan ayahmu"

Aku tersenyum simpul lalu menjawab " Tidak sama sekali"

"Dengar Anna, aku punya alasan kuat mengapa aku harus pergi"

"Aku tak peduli dengan itu" Aku menatap mata hijaunya penuh ketegasan dan keyakinan "Tapi mungkin Roz peduli itu"

Raut wajah ibu berubah mendengar nama Roz, mungkin ia tiba-tiba ingat bahwa beberapa hari sebelum ia pergi ia melahirkan seorang bayi cantik yang kini tumbuh menjadi gadis cilik yang pintar. Mungkin sisi keibuannya sedikit terpupuk.

"Rozamond..."

"Ia terus bertanya bagaimana bentuk rupa wanita yang telah melahirkannya, itu membuatku gila"

"Bagaimana keadaannya?" Sungguh aku tak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

Aku merobek kertas dari buku menu, menulis sesuatu di atasnya "Pergilah ke alamat ini jika kau ingin melihat keadaannya, itu jauh lebih beretika ketimbang sekedar menanyakan kabar"

"Tidak, aku tak akan pernah menemuinya"

"Kalau begitu tetaplah menjadi orang asing bagi kami"

Tak kuat berlama-lama berada dalam satu ruangan dengan wanita itu, aku memutuskan keluar dari kafe. Akan lebih baik aku pulang dan melupakan pertemuan ini. Anggap saja adegan bertatapan dengan mata hijau itu tidak pernah terjadi. Tetap anggap dia sebagai orang asing Anna, sebab itu yang ia inginkan. Florence tak menginginkan keluarganya.

Tak terasa kakiku melangkah terlalu jauh sampai di batas tepi sungai East, tak terasa juga tangan ini telah mengusap air mata berkali-kali. Ya, aku menangis, dan ini sangat memalukan sebab aku menangisi Florence. Aku tak sedikit pun menangis ketika ayah dan Florence bertengkar lalu Florence pergi dari rumah, tapi mengapa saat ia kembali hatiku teriris?

Aku berhenti sejenak, berpangku tangan di atas pagar pembatas sungai dan memperhatikan aliran tenang tak terusik angin. Cukup menenangkan ternyata, berdiri sendiri di tempat seperti ini, diterangi cahaya lampu yang menerangi gelap malam. Persis seperti di film-film picisan.

"Astaga!!"

Aku bersumpah demi apapun yang ada alam raya ini, sosok menyeramkan tiba-tiba muncul di sampingku tanpa memberi tanda apapun. Entah dari mana ia datang, dan entah bagaimana ia bisa ada di sini, bukankah tadi ia bersama wanita bernama Chantel?

Ia menoleh padaku tanpa ekspresi dilanjut dengan memandangi hamparan sungai, persis seperti yang kulakukan tadi.

Umpatanku tadi adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut, sebab setelah itu tidak ada lagi. Aku dan manusia setan itu enggan membuka suara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku dengan kesedihanku dan Andrew dengan... entahlah, mungkin dengan Chantel? Atau Michelle? Atau selingkuhan yang lain.

Sebenarnya aku memang tak terlalu suka banyak mengobrol dengan pria tetapi aku juga tidak suka terlalu lama diam apalagi hampir lima belas menit seperti saat ini. Canggung sekali rasanya. Mungkin lebih baik aku pergi saja.

"Mau kemana?" Tanya Andrew

"Kemana pun asal tidak bersamamu" Aku berjalan menjauhinya namun Andrew cepat-cepat mendahuluiku. Saat aku berjalan hampir sejajar dengannya, ia tiba-tiba berjongkok " Apa yang kau lakukan?"

"Lihat kakimu"

Sontak aku menunduk. Astaga! Aku lupa memakai sepatuku. Tadi aku mencopotnya di kafe karena kakiku sangat pegal. Sepatu bekasku tertinggal di sana.

"Pantas kakiku terasa dingin" ujarku lirih

"Naik ke punggungku"

"Tidak terimakasih.... agh!!" Aku mendapat cubitan di kaki " Sakit, tuan!"

Andrew berdecak sebal. Tanpa permisi ia langsung menggendongku dari belakang. Aku memintanya untuk menurunkanku tapi apa yang kudapat? Siraman kalbu dari mulut pedasnya.

"Tuan Andrew Taggart lepaskan saya"

"Sungai ini memiliki kedalaman lebih dari dua puluh meter, mau masuk ke dalam?"

Aku menggeleng takut. Setelah itu aku tak berani protes lagi. Ancamannya mungkin jadi nyata jika aku terus mengoceh. Membayangkan aku tenggelam di sungai ini lalu dimakan ikan piranha atau monster air itu sangat mengerikan. Tapi memangnya ada ikan piranha di sungai perkotaan seperti ini?

Kemana ia akan membawaku? Andrew dan aku pergi ke arah barat, ini bukan jalan pulang. Rumahku di arah selatan jaraknya sekitar 7 mill dari sini. Kukira ia akan membawaku masuk ke mobilnya dan membawaku pulang.

"Kita mau kemana?" Tanyaku

"Kau tidak memakai alas kaki, kurasa kau tahu kita mau kemana"

Baiklah aku tidak akan bertanya lagi. Tinggal turuti saja perintah tuan Andrew Taggart yang terhormat.

Sudah terlalu jauh Andrew membawaku seperti ini, bahkan toko sepatu pun sudah kami lewati, mengapa ia tidak berhenti di toko itu?

"Kau tidak akan membawaku ke neraka untuk bertemu teman-temanmu kan, tuan Taggart?"

"Tidak sekarang" jawabnya singkat.

"Lantas kenapa kita tidak berhenti di toko sepatu tadi?"

Kau tahu apa yang kudapatkan? Bokongku mendapat tamparan keras darinya, menyebalkan.

"Sakit" aku meringis menahan sakit.

Tiba-tiba angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya, membuatku terpaksa merapat pada Andrew. Untungnya, Andrew tidak protes soal itu. Ia tetap diam dan fokus berjalan.

"Tuan saya seorang sekretaris, bukan penjahat"

Alasanku berkata seperti itu adalah Andrew berhenti dan menurunkanku di depan toko senjata milik tuan Jamie, aku menyebut sesuai spanduk yang terpasang di depannya. Sejak kapan toko senjata menjual sepatu? Apa Andrew buta huruf? Tidak, dia lulusan universitas swasta terbaik Syracuse tidak mungkin buta huruf.

Andrew menanggapi malah melengos masuk begitu saja mengacuhkan aku. Terpaksa aku ikut masuk ke dalam karena kakiku tak tahan merasakan dingin.

Memasuki toko itu aku merasakan atmosfer yang berbeda, agak pengap dan gelap. Mungkin karena banyaknya pistol dan dinding latarnya berwarna coklat usang yang menambah kesan tua dan klasik.

Aku terus mengikuti Andrew sampai ia berhenti sebuah rak kosong, ada seorang wanita di sana sedang menata sesuatu.

"Perlu sesuatu, Jamie?"

Kukira wanita itu bertanya pada seorang pria di deretan pistol panjang, ternyata aku salah, Andrew justru yang menjawab.

"Sepatu bekasmu"

Wanita itu tersenyum singkat lalu masuk ke ruangan sebelah. Aku --selagi menunggu ia kembali-- berpikir mengapa ia memanggil Andrew dengan nama Jamie sama seperti nama toko ini.

"Ini dia" Wanita itu keluar membawa sepasang sepatu kusam, masih bagus sebenarnya hanya saja terdapat jahitan di bagian depan dan samping kiri.

"Terimakasih" Aku langsung memakainya, sepatu itu nyaman dan bersahabat dengan kakiku. Dipakai melangkah pun tak memberatkan.

"Berhati-hatilah, ia sudah kembali ke New York" Ia melirik padaku " Lindungi wanita di sampingmu ini jika ia berarti bagimu"

Beautiful Marriage (ON GOING + REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang