Kau tahu apa yang menyenangkan dari hari minggu bagiku? Menghabiskan waktu bersama Niall. Ya, itu menyenangkan. Aku dan Niall pergi ke taman kota dan membeli banyak makanan sesukanya. Memang aku dan Niall punya satu kesamaan yaitu suka makan. Kami senang menghabiskan uang dengan membeli makanan terlebih makanan hangat di musim gugur seperti ini.
"Jadi, tempat apalagi yang ingin kau datangi?" Tanya Niall.
"Hmm, Niall aku tidak mau berpikir saat sedang makan. Aku bisa kentut jika itu terjadi"
Niall tertawa mendengar ucapanku, tawa yang sangat lucu dan menggemaskan untuk seorang pria berumur 30 tahun sepertinya. Niall memang tipe pria yang periang, maka dari itu nyaris semua orang yang kukenal menyukainya.
Ketika aku sedang menikmati makananku sebuah pesan masuk dari ponselku. Itu dari Andrew, ia memintaku untuk menemuinya di jalan Avenue, aku membalasnya dengan kalimat menolak dan melupakan pesan itu.
"Ada tarian festival minggu depan, kau mau ikut denganku? Yah, anggap saja kau ikut denganku sebagai kado spesial di hari ulang tahun"
Minggu depan aku menikah, Niall. Menikah dengan panitia neraka.
" Tidak bisa. Kucingku mati minggu depan"
Niall dan orang-orang di belakangnya menatapku heran. Ya Tuhan, aku selalu saja bicara tidak masuk akal setiap mencari alasan. Sedetik kemudian Niall tertawa lagi. Aku jadi salah tingkah.
"Hahahah kau ini ada-ada saja. Apa kau tidak bisa mencari alasan lain untuk menolakku?"
"Bukan begitu, sebenarnya aku ada urusan lain"
"Kau mau kemana?"
"Perpustakaan kota" Aku menjawab spontan "Sepupuku Hugo memintaku untuk menemaninya kesana. Hukumnya wajib kalau tidak aku dipecat jadi sepupunya"
"Sepupumu yang dari Perancis itu?"
"Iya"
"Haha baiklah, aku terima alasan itu"
Setelah itu obrolan kami berhenti, Niall mendapat panggilan telepon, ia berjalan menjauhiku dan kukira panggilan itu penting dan berkaitan dengan privasinya. Aku tetap duduk di bangku taman menunggu Niall kembali.
Tak hanya Niall, aku pun mendapat panggilan telepon. Kurogoh isi tasku dan mendapati nama Andrew tertera di ponselku. Aku mengangkat panggilan itu, untuk memakinya.
"Sudah kubilang aku--"
Belum sempat aku memaki, sebuah kain menutup mataku dan tangan kekar seorang mencoba membungkam mulutku. Aku memberontak ketika tangan itu membawa tubuhku ke pundak seseorang. Teriakanku sama sekali tak membantu dalam situasi ini, kemana orang-orang di taman ini? Tak ada yang menyelamatkanku.
Niall, tolong aku!
Dalam kepanikan ini aku mulai menangis. Semua kemungkinan-kemungkinan buruk mulai menakuti pikiranku. Apa aku diculik? Tapi mengapa ada orang kurang kerjaan yang mau menculik manusia seperti aku? Apa aku akan dibunuh? Ya ampun! Aku bukan berandalan atau mafia yang punya banyak musuh sehingga nyawaku harus dilenyapkan. Aku hanya sekretaris biasa dari seorang bos yang galak. Tuhan aku tidak mau mati di tangan pembunuh, aku masih jomblo, aku belum merasakan pernikahan impianku, aku bahkan belum bertemu dengan Justin Bieber dan berfoto dengannya.
Aku tidak mau mati!
Tapi tunggu, ayahku seorang CEO perusahaan besar, apa mungkin aku diculik saingan ayah?
Aku mendengar suara seseorang yang lain"Cepat bawa gadis itu sebelum temannya kembali!"
Niall, tolong aku.
Lalu yang kurasakan adalah nyeri setelah aku dipaksa masuk ke dalam sesuatu dan kepalaku membentur benda seperti bagian atas pintu. Aku terlempar di atas benda empuk dan aku mendengar suara pintu berdebam keras. Kaki dan tanganku yang terikat tali entah sejak kapan, tak bisa meraba apapun di sekitarku, seolah tempat ini begitu luas sehingga apapun yang ada bersamaku terasa jauh. Terdengar pedal gas mulai mendominasi dan menurunkan kebingunganku, aku berada di sebuah mobil! Kemana orang-orang itu mau membawaku?!
Kain penutup mataku dilepas paksa sehingga yang kulihat bukan kegelapan lagi, lamat-lamat aku melihat cahaya dari lampu kecil semakin jelas. Mataku kemudian mengedarkan pandangan berusaha mengenali sekelilingku. Sofa panjang, layar tv, meja bar mini. Ini sebuah limosin. Kemudian mataku menangkap sosok pria berjas hitam, pria itu duduk di menghadapku dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya. Jarakku dengannya cukup jauh, mungkin lima meter. Aku tak tahu ia siapa tapi aku merasa tak asing dengan dasi bermotif kotak-kotak kecil yang dipakainya. Bersamaan dengan perhatianku, mulutku dibebaskan untuk bersua. Pria itu membuka kaca mata sehingga aku dapat melihatnya bahkan membuka mulut selebar mungkin dengan tatapan terkejut.
Andrew James Taggart, CEO Willburg Company, bosku, calon suamiku.
Tersangka utama dalam penculikan bodoh ini!
"Tuan Andrew apa yang kau lakukan ini?!!"
"Kau tidak mau menemuiku, terpaksa aku yang menjemputmu"
"Tapi bukan begini caranya!" ucapku tak sanggup menahan emosi
"Kau tidak akan berada di sini, di limosin mewahku ini, jika aku hanya menyampaikan perintahku lewat pesan seperti tadi"
Banyak orang gila yang hadir dalam hidupku tapi kegilaan mereka tak sebanding dengan kegilaan Andrew, ia manusia paling tidak waras di dunia ini. Menemuiku dengan cara menculikku? Itu hal paling tidak sehat yang pernah kualami. Lihat saja nanti, aku akan membalas dendam! Apa ia tidak memikirkan bagaimana takutnya aku dalam situasi seperti ini? Apa ia tidak memikirkan bagaimana khawatirnya Niall pada aku yang tiba-tiba menghilang begitu ia kembali?
Aku harus menghubunginya?
Tapi, dimana ponselku? Oh tidak, pasti tertinggal di bangku taman. Ya Tuhan, aku harus menabung selama empat bulan untuk mendapat ponsel itu dan kini aku akan meraung-raung karena kehilangannya!
"Aku sudah menghubungi Niall, ia percaya bahwa kau harus pergi karena urusan mendadak" Disamping Andrew ada tasku dan juga ponselku.
"Kembalikan ponselku!" Aku tak peduli raut wajahku seburuk apa, yang jelas aku sangat kesal padanya. Andrew telah membangkitkan monster di dalam ragaku.
"Andrew!"
Dia tanpa rasa bersalah membuang ponselku ke luar jendela.
"Tuan Andrew kau keterlaluan!!"
Tak peduli apapun aku berlari mengamuk padanya sampai beberapa pria pengawalnya berusaha menghalangiku, sayangnya mereka dapat kukalahkan hanya dengan jotosanku. Tapi apa yang kudapatkan darinya? Andrew tidak membalasku, ia diam dengan tatapan meremehkanku.
"Aagh!! Sakit Anna!!"
Kaki jenjangku menendang gundukan di tengah selangkangannya. Entah bagaimana aku mendepatkan nyali untuk menendang bagian sensitif itu, yang jelas aku puas sekali melihatnya kesakitan. Terlihat kejam? Tentu tidak, itu setimpal dengan apa yang ia lakukan padaku.
Seperti tak ada apa-apa aku mengambil tasku dan berjalan menuju tempat dimana aku duduk semula. Meninggalkan Andrew dan dua pengawalnya terkapar disana. Menyalakan tv kecil di depanku dan aku bersantai sembari menunggu rasa kantuk datang.
Kemanapun limosin ini membawaku, aku tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Marriage (ON GOING + REVISION)
Fiksi PenggemarAnna Isabella Claire tahu, hidup dalam pernikahan tidak semudah yang dibayangkan. Tetapi mimpi pernikahan indah yang ia bangun terus menjulang. Anna ingin menikah, menghabiskan sisa hidupnya bersama belahan jiwa dan mungkin keturunan yang lucu dan c...