Dunia Baru

46 4 0
                                    

Mulai hari ini hidupku berubah. Ketika kakiku melangkah ke dalam rumah baru ini duniaku tak lagi sama. Aku pun harus melepas segala hal yang membuntutiku ketika aku menjadi diriku sebelumnya, termasuk nama belakangku.

Aku menjadi Anna Willburg, menantu kedua di keluarga Willburg.

Aku tahu hari ini dan hari-hari selanjutnya akan terasa berat seolah semua kekacauan dunia berada di pundakku. Tapi bukankah orang bilang bahwa hidup harus tetap berjalan meski batin memberontak ingin berakhir? Maka dari itu akan kucoba, menjalani dunia baruku sekuat batinku.

Dunia baruku akan dimulai esok hari, kamar yang kumasuki ini akan menjadi penghantar diriku menapaki hari, bulan, tahun, atau bahkan abad yang akan datang.

Ya, mungkin begitu.

"Astaga!!"

Aku reflek menoleh ke belakang, dimana ada Andrew berdiri di dekat pintu dengan membawa bantal dan selimut. Kenapa manusia itu ada di kamarku?

"Apa yang kau pakai itu?!"

"Oh, ini" Aku mendekati Andrew, ia tampak takut melihat penampilanku. Munngkin ia pikir aku seperti hantu "Udara malam ini sangat dingin, aku tidak bisa tidur tanpa pakaian hangat"

Andrew menghela nafas dalam "Lalu kenapa kau harus pakai kostum kelinci?!"

"Aku tidak sempat membawa baju-bajuku ke rumah ini dan hanya ini yang kutemukan di lemarimu. Jadi aku memakainya"

"Satu lagi keanehan dari Anna Claire"

Entah mengapa aku merasa aneh ketika nama asliku masih disebut oleh Andrew. Ah, mungkin karena ia tak sudi memberi nama belakangnya untukku.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?!" Tanyaku

"Mencuci piring" katanya, ia berjalan menuju ranjang lalu menjatuhkan diri di atasnya.

"Ini kamar saya" Tegasku "Tak ada orang lain yang boleh tidur di kamar ini selain saya"

"Perlu kuingatkan bahwa aku lahir dan dibesarkan di rumah ini, kamar dimana kau dan aku berada sekarang adalah kamarku"

Aku lupa bahwa menikah berarti berbagi tempat tidur.

"Jadi, saya tidur dengan tuan?" Tanyaku ragu.

"Aku tidak mau ranjangku kotor" Ucapnya "Cari tempat lain"

"Tuan bilang hanya kamar ini yang bisa dipakai untuk tidur, tidak ada yang lain"

"Memangnya aku menyuruhmu tidur di kamar?"

Aku sempat terdiam, lalu saat otakku berhasil mencerna ucapannya hatiku mulai bergemuruh memerintah bibir untuk melontarkan kalimat protes.

"Itu tidak adil!"

"Apa aku terlihat peduli?"

Benar, Andrew tidak peduli. Andrew tidak mau tahu aku tidur dimana dan dengan apa. Ia mungkin juga tidak akan mau tahu fakta bahwa aku tidak bisa tidur tenang di tempat selain kamar. Mimpi buruk selalu datang jika aku tidur di luar kamar dan itu sangat mengganguku. Satu lagi, aku juga tak bisa tidur tanpa bubu, selimut kuning tua bergambar spongebob kesayanganku. Selimut itu dipakai Andrew sekarang!

"Kalau begitu saya akan tidur di ruangan bawah tangga. Ayah mertua bilang itu adalah kamar jadi lebih saya tidur disana"

Aku tak mengerti apa yang salah dari ucapanku, ini yang kedua kalinya aku membahas tentang ruangan itu dan Andrew lagi-lagi memberenggut. Ia semakin marah padaku.

"Aku tak segan mengucurkan darah dari perutmu saat kau berani masuk ke ruangan itu"

Ancaman mati tampaknya akan menjadi bahan konsumsiku setiap hari. Ia akan mengikuti kemanapun dan apapun yang aku lakukan selama hidup di rumah ini. Kalau begini aku bisa dijuluki wanita dengan kepemilikan ancaman kematian terbanyak di dunia.

"Baiklah, kalau begitu aku tidur di sofa saja"

"Terserah"

Belum aku sampai di sofa Andrew telah menghalangiku dengan lemparan bantal, tepat di wajahku.

"Untukmu"

"Terimakasih, suamiku yang sangat pengertian" Ucapku sarkas.

Dan apa yang kulihat dari Andrew adalah wajah tersipu yang berusaha ditutupi. Ah, sudahlah lupakan itu. Raut wajahnya tak berarti apa-apa untuk hubungan kami. Aku segera menata diri di atas sofa, memposisikan tubuh senyaman mungkin. Mungkin aku akan berteman baik dengan sofa ini seumur hidupku. Andrew tidak mau aku tidur di sampingnya atau bertukar tempat tidur, bukan?

"Tuan" Panggilku

"Diam" Sahutnya singkat. Suaranya terdengar seperti terbekap oleh bantal. Saat kutengok tuan itu menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Kemudian aku kembali berbaring.

"Apa yang harus saya lakukan besok sebagai istri?" Tanyaku

"Terserah"

Delapan huruf yang terangkai jadi satu kata menyebalkan itu adalah pembatas percakapan kami, setelah itu kesunyian yang menggantikan sampai kami meninggalkan kesadaran menuju dunia mimpi.

Beautiful Marriage (ON GOING + REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang