CHAPTER 33

402 81 10
                                    

Dunia boleh berkata bahwa kau telah pergi. Tapi kau ada di sini, di dalam setiap pikiranku, dalam setiap kata yang terucapkan. Di dalam setiap perasaanku, di setiap emosiku.
Hanya ada dirimu.

Kau tidak pernah benar-benar meninggalkan diriku, kau bahkan tetap menggenggam tanganku saat ini. Tidak peduli kemana pun tujuan kita, kau akan menjadi pendamping perjalananku.

Sepanjang jalan hidupku...

💜💜💜

Satu bulan kemudian

Akhir-akhir ini, Yibo menyukai hujan. Oktober telah membawa cuaca pada ambang kesejukan dan angin berhembus lebih dingin dan kencang. Satu bulan berlalu dalam masa cutinya di kepolisian. Yibo memiliki banyak waktu untuk merenungi kehidupannya saat ini, berdamai dengan diri sendiri, menerima akan apa yang telah pergi. Tetapi jika itu menyangkut Sean, rasanya masih menyakitkan seakan luka itu selalu baru.

Malam ini, Yibo mengemudi santai. Rona wajahnya lebih cerah dan sehat, dia berjuang meninggalkan obat-obatan, dan berusaha meraih tidur yang normal. Tidak terlalu berhasil, tapi cukup lumayan. Harapan akan datang hari di mana Sean akan kembali menyalakan sepercik nyala api dalam relung jiwanya yang gelap.

Angin menderu dari arah sungai, mengirim tetesan hujan ke jendela. Yibo menurunkan temperatur ac, melirik keluar ke udara malam yang tak teramalkan.

Sungguh aneh, saat ia berpamitan pada Yan Li untuk pergi berjalan-jalan, bulan masih bersinar dari sela puncak gedung dan pepohonan. Kini, awan badai telah menutupi langit, tidak meninggalkan lubang untuk melihat bulan yang terlalu terang. Hujan juga menutupi pancaran cahaya lampu jalan dan lampu depan mobil yang melaju, meredam cahaya lampu neon dan billboard yang menyilaukan, dan secara umum melembutkan malam di distrik Puxi, memungkinkannya mengemudi dengan lebih nyaman di bawah udara sejuk.

Dia telah melakukan perjalanan ke barat dari apartemennya, lalu ke utara di sepanjang sungai Huangpu untuk mencari bar di mana lampu mungkin redup dan anggur terbaik yang tersedia untuk menemani sisa malam. Banyak tempat tutup pada hari Senin, dan tempat lain tampaknya tidak terlalu aktif pada larut malam.

Akhirnya dia menemukan sebuah kedai kopi kecil yang buka dua puluh empat jam, di sepanjang tepian sungai Huangpu tidak jauh dari kampung nelayan.

Yibo memarkir mobil yang berdetak dan berbunyi saat mesin mendingin.
Dia melompat keluar melindungi kepala dengan dua lengan dan tiba di bawah lengkung kanopi depan kedai disambut aroma kopi kuat beradu aroma petrikor pekat. Sekilas Yibo melirik ke dalam kedai, banyak pengunjung di sana. Mungkin mereka juga berteduh seperti dirinya. Ada dua set meja kursi kayu di teras dan satu masih kosong. Dengan sigap, Yibo menempatkan diri di salah satu meja kemudian melambai pada pelayan.

"Satu Americano panas," ia menepis butiran air dari kerah jasnya. Lantas menyapu wajah dengan kertas tissue.

"Baik, sir. Ada tambahan?"

"Itu saja. Terima kasih."

Pelayan mundur dan masuk seiring satu kilatan petir menyambar di langit malam. Kening Yibo mengernyit karena silau dan terkejut.
Hujan turun semakin deras, memantul di atas kap mobil, memercik dari puncak pepohonan. Kopi panasnya tiba di meja, dan Yibo menatap uapnya, menikmati aromanya, namun jauh dalam pikiran, ia memindai situasi malam ini. Kenapa aura malam terasa menekan? Seolah-olah nalurinya mengatakan bahwa ia harus melakukan sesuatu, tetapi ia tidak memiliki petunjuk sedikit pun apa itu. Dengan sangat perlahan ia menyesap kopinya, mengawasi orang-orang di sekitar, kemudian terlonjak kembali saat kilat dan sambaran petir menggelegar. Ini hujan terburuk yang pernah ia alami dalam satu bulan terakhir, dan terasa lebih dingin.

𝐒𝐢𝐥𝐞𝐧𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐨𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang