CHAPTER 19

460 88 28
                                    

Wisteria ungu meluncur turun bagai air terjun jatuh melintasi atap rumah.
Mengayun lembut di bawah tembakan lampu jauh dari mobil yang dikendarai Wang Yibo.

Sean mengintruksikan untuk berhenti  tidak jauh dari halaman satu rumah yang tidak terlalu besar dengan jendela berpanel kayu coklat tua dan licin. Pagar rumah terbuat dari kayu yang sama setinggi pinggang orang dewasa, membingkai satu taman kecil yang ditumbuhi semak bunga liar.

Rumah yang cantik jika dirawat seperti seharusnya satu rumah dirawat. Tetapi Sean tampaknya tidak terlalu memiliki banyak waktu.

Berada di ujung jalan di sisi timur sungai, pohon-pohon maple tumbuh tidak beraturan, guguran ribuan daun menutup jalan sehingga menciptakan suasana musim gugur di pertengahan musim panas. Daun-daunnya sebagian meranggas dan layu.

"Kawasan ini pemukiman nelayan bukan?" gumam Wang Yibo.

Memutar pandang, dia menemukan kerlip kerlip lampu dari beberapa rumah yang saling berjauhan satu dengan lainnya.  Suasana cukup hening di sini, hanya terdengar derum arus sungai di kejauhan dan nyanyian jangkrik.

"Ya, bisa apa lagi. Aku tidak terlahir kaya sepertimu," Sean menjawab ringan, gerakannya anggun saat membuka pintu dan melangkah keluar.

Hembusan angin hangat menerbangkan serbuk sari dari bunga liar yang tumbuh di halaman rumah. Pemuda itu menoleh pada Wang Yibo, membuka pagar kayu yang telah mengayun sebelumnya.

"Jika kau keberatan mampir, kita bisa duduk dan bicara di halaman."

Wang Yibo menyusul langkah Sean. Tatapannya langsung mengamati dengan teliti, seperti kebiasaannya menyelidiki satu lokasi peristiwa kriminal, dia menembakkan tatapan tajam dan penuh curiga.

"Kau belum minum obatmu pak inspektur?" suara Sean bergumam, antara berniat serius dan menggoda. Tetapi di telinga Wang Yibo, pertanyaan itu serupa sindiran halus.
Sean masih ingat bahwa dirinya polisi bermasalah yang mengkonsumsi obat-obatan untuk pengendalian emosi.

"Kenapa kau tanyakan itu?" dia terbatuk sejenak, menapaki jalan kecil di taman yang beralas kerikil, kemudian duduk di sebuah kursi rotan di teras.

"Kau terlihat cemas dan tegang sepanjang waktu. Aku nyaris kasihan melihatmu," Sean duduk di kursi rotan yang lainnya.

Mereka duduk berdampingan, memandangi pucuk-pucuk bunga liar yang berayun lembut, serta guguran wisteria ungu yang tumbuh di pinggir rumah. Kelopak-kelopaknya beterbangan melintasi pagar.

"Aku tidak butuh rasa kasihanmu," Wang Yibo menunduk, menekuri batu kerikil yang bertebaran.

"Lalu apa yang kau inginkan?" Sean menghirup aroma melati yang mulai berbunga, merambati pagar kayu.

"Cinta," Wang Yibo menoleh, melempar senyum tipis.
"Cintamu..."

Sean tersenyum misterius.

Sang inspektur termenung. Lagi-lagi, Sean bagaikan kelinci yang cerdik. Mampu mengelabui siapapun dengan daya tariknya, melakukan apapun yang dia mau untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Menggiring seseorang agar terlibat dalam mencapai tujuannya. Duduk di antara taman yang nyaris bisa disebut kurang terurus, Sean bagaikan bunga liar itu sendiri. Pancaran keindahannya mungkin terabaikan namun mampu membuat suasana taman menjadi suram atau menjadi ceria dalam hitungan detik.

Yang lebih buruk lagi adalah perasaannya. Begitu rapuh dan mudah sekali dipengaruhi oleh sosok Sean dan senyumannya. Di sisi lain ia merasa terintimidasi dengan kehadiran si bunga liar yang menawan, penuh misteri akan masa lalu dan asal usul keberadaannya.

Satu takdir tak terduga membuat mereka berakhir dengan kebersamaan dalam memecahkan kasus tebak-tebakan atas peristiwa kecelakaan Zhang Yixing.

Sean memungut satu kuntum melati yang gugur dan terhempas tidak jauh dari kakinya. Memutar-mutar diantara jemari, dia mulai bicara lagi mengatasi keheningan.

𝐒𝐢𝐥𝐞𝐧𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐨𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang