CHAPTER 10

501 98 10
                                    

Gelombang panas dalam hati yang melumpuhkan itu berkurang ketika Wang Yibo berada di bawah naungan dedaunan hijau dan air yang menetes. Tetap saja, dia tidak ingin mendinginkan kulitnya, tetapi pikirannya.

Entah berapa lama ia mengemudi tanpa tujuan, tersesat di kehidupan jalanan. Sampai akhirnya berhenti di sisi paling utara sungai, berupa lahan kosong ditumbuhi rumput liar dan bebatuan dari yang terbesar hingga yang terkecil, menjorok ke sungai dan terendam sebagian.

Matahari meluncur turun ke dalam sungai, melahirkan fenomena keindahan senja, merah samar, seiring hembusan angin mencengkeram dan memeras setiap napas yang keluar darinya.

Wang Yibo tidak peduli dengan keindahan senja ataupun pandangan orang padanya. Dia mengikuti dorongan hati, dan fakta bahwa dia menyesal telah mengambil kerlip harapan sesaat dari mata sang kakak yang sudah lama padam. Tapi ia sangat yakin, setengah dari apa yang dikatakan wanita bernama Carman adalah kebohongan. Tapi itu berarti setengah dari apa yang dia katakan mungkin adalah kebenaran.

Wang Yibo berjalan mendekati sebatang pohon di sisi sungai, mendorong cabang yang menggantung rendah ke samping, merunduk, dan berjalan melalui rimbunan daun lebat ke air. Seekor bangau yang terkejut dengan gangguan itu, melipat kakinya yang panjang anggun dan meluncur jauh.

Dia berdiri kaku, mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri. Mengeluarkan sebatang rokok, menjentik sedikit dari ujungnya, lalu menyalakannya.

Dia selalu menyukai air—bukan karena deburan dan tekanannya, tetapi kegelapan yang tenang dari kolam yang rindang, gemericik sungai, denyut nadi sungai yang stabil bahkan sebagai anak laki-laki dia telah tertarik padanya, menggunakan alasan memancing untuk duduk dan berpikir, atau duduk dan tertidur, mendengarkan suara katak dan dengung jangkrik yang monoton.

Tapi itu dulu, hari-hari di mana kedamaian masih menjadi bagian dari hidupnya, dan Jin Ling kecil menjadi sahabat setia yang menemaninya di dekat air. Masa indah yang tak mungkin ditangkap kembali.

Merah senja berubah menjadi hitam, perlahan, menyeret sang rembulan kusam di balik lapisan tipis awan yang memencar.

Hitam kabur menutupi setengah dari penglihatannya, melayang lebih dekat sampai dia bahkan bisa melihat riak air sungai di mata kelamnya. Dan kemudian sambil menghela nafas, dia melempar puntung rokok kedua, menginjaknya kuat-kuat, lalu kembali menuju SUV hitamnya. Sekali lagi Wang Yibo menoleh ke sisi sungai yang ia tinggalkan di belakang, mengernyit dalam, kemudian bergerak masuk.

Tanpa sadar, dia mengambil sehelai tisu, menyeka belakang lehernya yang tegang. Angin malam cukup sejuk tapi bulir keringat muncul di leher dan pelipisnya. Dia memutar pandang sekali lagi, lantas mengingat apakah dia lupa meminum obatnya.

Dia sangat khawatir berhalusinasi setelah tekanan akibat pertengkaran dengan Yan Li. Merasa lelah, ia tidak sadar bahwa matanya basah.

Untuk beberapa lama Wang Yibo menangis dalam kebisuan, lalu kembali mengeraskan tatapan dan menyalakan mesin, bersiap meninggalkan tempat itu. Angin menggeletarkan rimbunan dedaunan, desaunya menegakkan bulu roma. Tempat itu semakin gelap dan sunyi, dan sebagai tambahan untuk memperburuk suasana hatinya, Wang Yibo merasakan bahwa ada seseorang tengah mengawasinya.

Itu naluri. Mungkin juga halusinasi, dan yang pasti itu keliru.

Dia harap itu keliru.

Namun baru beberapa puluh meter meninggalkan kawasan sepi di sisi utara sungai, dia melihat seseorang  berjalan sendiri, tenang dan anggun, menuju jalan raya.

Menghapus kasar air mata yang masih tersisa, Wang Yibo menepikan mobilnya perlahan, dalam bayang-bayang malam dengan sedikit cahaya, dia bisa mengenali sosok yang berjalan sendirian. Dia benar-benar berhenti sekarang tepat di samping orang itu,  menurunkan kaca mobil dan menyapa.

𝐒𝐢𝐥𝐞𝐧𝐭 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐨𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang