Kastil megah bernuansa hitam itu selalu diselimuti kabut dalam kondisi apapun.
Suasana di dalam kastil tak sehening biasanya. Sekarang ada Draco sebagai penghuni sementara. Dia sedang menyandarkan tubuhnya pada sofa tunggal setelah bertemu dengan seseorang.
Draco mendesah berat, dia kemudian mengambil cawan berbahan perak yang sejak setengah jam lalu ada di atas meja. Sosok lain memakai setelan biru gelap terus memerhatikan apa saja yang dia lakukan.
Rasa darah yang biasanya selalu nikmat kini terkesan hambar di lidahnya. Dia tak benar-benar menikmati cairan itu walaupun ia tandaskan. Ia hanya menghargai usaha Harvey mendapatkan darah rusa padang savana.
Beberapa saat lalu Draco bertemu dengan Julian secara empat mata. Dia melakukannya karena mendengar penjelasan Drake ketika bertemu Julian. Drake mengatakan secara gamblang bahwa Julian tidak seburuk yang Draco pikirkan.
Hal yang membuat Draco memantapkan niat bertemu Julian karena kesaksian Lucia juga. Sebagai dewi pelindung yang paling anti dengan hal buruk tentu saja opini Lucia amat bisa dipercaya.
Dan benar saja, Draco merasakan atmosfer lain kala mengenal Julian lebih jauh. Laki-laki itu benar-benar sosok yang hangat, mata ambernya tidak berbahaya seperti Aphrodite.
Tak hanya sendirian, Draco mengajak Elio dan Harvey. Mereka berdua juga mengatakan hal yang sama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Julian.
Meski begitu Draco tak lantas sepenuhnya percaya dengan perasaannya yang tiba-tiba berubah. Lalu, kenapa waktu itu dia tidak menyukai Julian?
Pertanyaan itu masih terus berputar di otaknya.
"Apa lagi yang membuat Tuan Muda Draco Evonshield resah?" Harvey buka suara membuyarkan lamunan Draco.
Draco menoleh, dia menggeleng ringan "aku masih merasa aneh. Kenapa waktu itu aku tidak menyukainya dan setelah pertemuan kedua ini aku sedikit nyaman dengannya," Draco memejamkan mata sejenak, tak ingin Harvey salah paham dengan kalimatnya "bukan nyaman yang seperti itu. Tapi pertemuan kali ini membuatku bisa sedikit lega andai Josephine memang bersamanya,"
"Mungkin ketika awal bertemu kau dalam kondisi kurang baik. Kau kan juga pemarah seperti Dewa Gerard dan Dewa Drake,"
"Benar, aku memang mewarisi gen pemarah dari mereka." Draco mengangguk pasrah. "Lalu menurutmu? Dia sungguhan sebaik itu?"
Harvey berdecih ringan "kalau dia tidak sungguhan, tidak mungkin dia berani berhadapan dengan Drake, Valerie apalagi Lucia. Kau tahu sendiri Lucia bisa mendeteksi keburukan walau hanya pikiran sekilas,"
"Dan dia juga tidak akan mau bertemu denganmu, Co. Kau lihat sendiri bagaimana cara dia menatapmu. Sangat friendly, tak terlihat menganggapmu saingan," lanjut Harvey.
"Dulu sewaktu ada Frederick, Lucia bisa merasakan hawa panasnya walau Frederick menumpang di tubuh orang lain. Dan ini Julian sungguhan berada di hadapannya, dengan wujudnya sendiri. Mustahil Lucia tak merasakan jika Julian memang memiliki niat jahat pada Sephine,"
"Sebenarnya," Harvey membenarkan duduknya "apa yang membuatmu resah? Karena cintamu ditolak oleh Josephine?"
Netra Draco bergeser menatap sang pengawal dewa, dia lantas menggeleng "tidak. Aku tahu sejak awal Sephine tak memiliki perasaan padaku, aku tahu dia tidak akan menganggapku lebih dari saudara."
Harvey menghela napas, oh astaga kenapa dia selalu berhadapan dengan makhluk keras kepala?
Tidak Gerard, Drake, dan sekarang Draco juga sama saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SILENT KILLERS
Fantasy[JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE DAN KOMEN] ⚠️UNTUK DIBACA BUKAN DITULIS ULANG ALIAS PLAGIAT. MIKIR ALUR SUSAH ini adalah kisah akhir dari trilogi Voresham. The ice prince yoshinori Mate from the dark Silent killers Alurnya enggak terlalu berkaitan ta...