3. Gelisah

224 29 0
                                    

Aku tidak tahu bahwa ini adalah hal awal dari rasa menyakitkan yang kembali datang.

***

Kereta itu berjalan begitu cepat. Menyusuri jalanan yang tercipta untuk kereta melintas.

Aku hanya menatap kosong kaki dengan alas sepatu putih yang aku kenakan.

Takut, rasa itu menyerang tubuhku saat ini juga. Aku hanya berharap bahwa kabar yang aku bawa dan aku terima nanti bukan suatu kabar buruk yang membuat orang lain terpuruk.

Gelisahpun sama. Itu menghantuiku ketika pendarahan yang bahkan lebih dari bulanan berdarah-darahku muncul kembali.

Membawa ingatan lama yang telah membawaku kedalam keterpurukan yang seolah menyebar memenuhi isi kepalaku.

Aku tidak habis pikir, mengapa itu bisa kembali? Apa saat itu dokter salah mendiaknosa tubuhku? Atau itu tidak kembali, ini pendarahan biasa?

Tapi, seseorang yang hamil mengalami pendarahan yang deras bahkan tak henti-henti, apa bisa dibilang wajar? Aku terlalu buta akan kesehatan semasa kehamilan.

Sangat-sangat khawatir adalah hal yang aku rasakan saat ini. Aku terus merapalkan doa, bahwa ini bukan lah awal dari suatu hal yang baru, untuk diriku dimasa depan.

"Ibu hamil tidak boleh memiliki tatapan kosong! Tidak baik!"

Nampaknya, satu wanita paruh baya di sebelahku memperhatikanku sedari tadi. Hingga aku berpandangan kosong pun ia menegur, sembari menemukan pundak mencoba menyadarkanku dari lamunan.

"Ahh iyaa, aku lupa!" ucapku dengan kekehan pelan.

Dia tersenyum, menatapku nan sesekali akan berganti menatap perut membulat yang sering aku usap, bukan dengan tatapan membuatku tak nyaman atau ia memberikan tatapan menelisik yang tajam.

Tapi tatapan itu bagai hal yang begitu antusias dan terkesan hangat. "Berapa bulan kandunganmu, Nak?"

"Jalan 6 bulan, bu." Dengan senang hati pula, aku membalas. Seseorang yang melakukan suatu hal dengan senang hati dan hawa yang baik, akan membawa seseorang pula untuk menjawabnya dengan rasa yang bahagia.

Dan ini membahagiakan. Wanita paruh baya itu membawa hawa positif yang sangat-sangat membahagiakan untuk diriku.

"Wahh, beberapa bulan lagi akan melahirkan, ya? Pasti tidak sabar." Dia berujar dengan antusiasnya, itu membuat aku ikut antusias untuk menjawab pertanyaannya.

"Tentu, aku tidak sabar menunggu kelahiran anak pertamaku." Lagi-lagi aku membalasnya dengan senyuman cerah.

Usapan hangat lagi-lagi aku berikan pada satu insan yang masih berkembang didalam perutku, respon kecil bisa aku rasakan dari dalam sana.

"Pasti sangat menggebirakan, ya? Kau dan pasanganmu pasti sangat menanti kelahirannya."

Aku mengangguk. "Kami selalu menunggunya untuk mencicipin rasa cinta yang hangat didunia ini." Senyum lebar terukir diwajah kami masing-masing.

Kami begitu gembira. Walau disini hanya aku yang terlihat tengah mengandung seorang anak.

"Apa? Aku juga boleh mengelusnya?"

"Tentu saja!"

Dan waktu itu lah aku bisa sedikit membuat rasa takut nan gelisah yang membaluti pikiranku untuk menghilang sesaat.

Terganti oleh rasa senang yang begitu menggebu, selaku melupakan bahwa ada rasa takut dan gelisah yang menyelimutiku untuk hari itu.

Aku berterima kasih sebesar-besarnya, setidaknya wanita paruh baya yang telah memberi rasa aman serta positif pada jiwa beserta ragaku itu membuatku sedikit lebih tenang di hari itu.















































Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang