28. Penghabisan.

220 25 3
                                    

...

***

Ini sudah berakhir, ya? Aku tidak bisa lagi merasakannya secara langsung dan blak-blakan. Aku hanya bisa memendamnya?

Cinta yang aku buat dan terisi penuh oleh air hanya menyisakan lubang kekeringan. Kami telah usai dengan aku yang terjebak dalam lubang dalam itu.

Aku tidak akan pernah menduga bahwa ini akan terjadi. Aku melihat bagaimana Chris mendapatkan rengkuhan hangat dari keluarganya maupun keluargaku.

Mataku memanas kembali, senyum kecilku masih terlukis tentunya, aku tidak mau terlihat menangis lemah dihadapan mereka lagi.

Tidak ada yang menatapku, atau sekedar mengucapkan kata penyemangat. Aku kosong. Sendiri dan hanya bisa berdiri sendiri.

"Dia pasti menyukai perpisahan ini, nak. Maka lupakan saja dia hidup bahagialah dengan, Sky." Dadaku herdenyut mendengarnya.

Sky, tersenyum cerah mendengar itu, aku ikut senang, tapi aku merasakan sakit disini. Dia seolah lupa akan keberadaan ku yang bahkan tidak jauh dari dimana dia berdiri tengak.

"Gimana bisa aku suka itu?..." aku berbisik pada diriku sendiri, bertanya apa aku memyukainya, seperti apa yang mereka katakan. Wajahku yang mendongak menunduk menyembunyikan senyum getirku.

"...Sedangkan dia yang aku cintai." Mereka mendoakan Chris dengan banyak kebaikan. Aku bersyukur atas itu.

Sebaliknya dengan diriku. Aku mendengar banyak kata menyakitkan dari mereka. Sampai rasanya muak dalam diriku menggebu. "A-Aku permisi." Rasanya aku tidak akan kuat berdiri lama menyaksikan bagaimana mereka merengkuh hangat seonggok makhluk dengan nama Chris.

Aku tahu bahwa Chris membutuhkan hal itu, sangat membutuhkannya. Tapi jangan seperti itu, itu menyakitiku. Karna aku juga mau mendapatkannya. Hingga jalan satu-satunya adalah pergi. Tubuhku membungkuk sebelum berbalik dan berjalan menghindari mereka yang bahkan tidak bergemi sedikitpun dengan izin kepergianku.

"Apa yang harus aku lakukan?" Aku hanya bisa mengatakan itu, aku takut untuk menjalani hidup ini seterusnya atau bisa disebut aku takut akan kedepannya.

Rasanya, apa aku akan kuat? Atau aku akan menangis sampai akhir hayatku. Aku kembali seperti dulu.

Sendiri, menyedihkan, penuh kehampaan. Aku tidak tahu, apa hal yang sama seperti dahulu kembali terulang bisa aku taklukan hingga nanti.

Nanti, dimana napas terakhirku terhembuskan. Apa aku akan mati karna kehendak Tuhan? Atau aku mati dengan menentang kehendak Tuhan?

***

Kaki-ku melangkah gontai, entah bagaimana aku bisa menulis semua yang aku alami diatas kertas ini_

"Papa! Jangan nangis lagi!"

Bocah lelaki itu menarik paksa sebuah buku bersampul usang dari lengan salah satu orang tua dari sang anak.

Dia mantap tak suka sang Ayah, wajahnya mencebik tidak suka dengan mata yang ikut berkaca-kaca kala melihat bagaimana kepala keluarga yang sering dia sebut sebagai Papa itu menangis sendirian diatas kursi bergoyang.

"Aku udah bilang! Jangan baca buku itu! Nanti Papa nangis lagi!" Ia memperingati dengan suara lantang yang terkesan menuntut pasa si Ayah untuk tidak kembali membaca buku yang selalu ia sebut-buku pembawa sial.

"Papa selalu nangis kalau baca itu, aku nggak suka, ya!" Tubuh yang masih tidak jangkung mencoba memeluk tubuh besar milik kepala keluarga dengan erat.

Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang