8. Sendu

182 22 5
                                    

Ini duka cita. Aku tidak pernah menyangka bahwa duka cita yang paling tidak aku impikan terjadi dengan cepatnya.

***

"Sayang?"

Aku pendarahan, serta demam. Tubuh-ku sampai menggigil panas diatas ranjang tidur, dengan awak yang terkulai lemas akibat pendarahan deras, waktu itu.

Chris mengetahuinya. Dia kepalang panik serta khawatir dengan keadaanku yang tidak bisa berbuat apapun.

Sesekali dia akan membelai suraiku yang basah akibat keringat. "Kita kerumah sakit, ya?"

"Tidak mau!"

Rasanya nyeri, kram dan seolah melilit, terlebih aku bisa merasakan bagaimana cairan mengalir perlahan pada selangkanganku.

"Sam, menurut? Mengerti?"

Sayangnya dengan kukuh aku tetap menggeleng sebagai tanda bahwa aku tidak ingin. Itu hanya membuat Chris geram, menatapku kesal pada diriku  yang keras kepala tidak mau mendengarkannya, aku bisa melihat hal itu, dia nampak emosi padaku.

"Sam, kondisimu_

"Aku baik-baik saja." Bodoh jikalau itu menang benar. Aku hanya mendusta dan Chris tentunya tahu hal itu.

Akan tetapi tidak lama setelah penolakanku, tubuhku melayang, kedua lengan kekar Chris menompa tubuh lemas milikku. Aku tidak protes dan hanya diam.

Perut-ku benar-benar nyeri-kram; namun ini sangat menyakitkan. Linangan air mata dan desisan rasa sakit tidak lagi bisa aku tahan selain melontarkannya langsung.

Aku meremat pakayan kantor Chris saat ini juga, menyembunyikan wajahku pada dadanya.

"Sayang, sabar ya? Tunggu sebentar...."

Aku duduk di samping kursi pengemudi. Menangis terisak dan tentu masih mengucapkan rintih sakit yang entah mengapa semakin lama hanya semakin membucah rasa sakit itu.

"Darah?" Aku menunduk mematap selangkanganku, kain celana dari piyama tidur yang aku kenakan bahkan telah ternodai oleh darah segar yang banyak.

Namun tidak ada balasan dari insan lain selain diriku. Chris tetap menjalankan mobil ini, membelah jalanan yang sedikit padat akibat pagi masih menyapa untuk hari ini.

"Chris? Bagai mana dengan_

"Saat ini yang perlu pertolongan itu kau, sayang!" Suaranya sama, bergetar seperti suaraku ketika berbicara, namun dia terdengar begitu panik.

"Jangan menangis? Nanti aku dan adik bayi sedih...."

Wajah itu mengeras, kedua lengan yang memegang stir mobil bergetar. Akan tetapi ia berusaha untuk fokus menjalankan kendaraan beroda 4 ini.

Aku sedikit bergerak, lenganku bahkan terasa begitu lemas, terangkat untuk mengelus pipi Chris. "Jangan panik, sayang...."
































Dia menangis, memohon pada dokter yang akan siap untuk melakukan pengobatan pada Sam.

Begitu pilu dan terkesan memohon dengan paksa. "Apapun yang terjadi, tolong sembuhkan, Sam...."

Dia tahu bahwa memohon pada manusia memang bukan hal yang akan lebih baik daripada memohon pada Tuhan sang pencipta manusia secara langsung.

Tapi bukankah tidak ada salahnya ketika kita memohon pada salah satu utusan Tuhan untuk menolong manusia lainnya? Tentu itu tidak akan salah.

Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang