21. Menarik langkah

133 25 0
                                    

Sejauh mana aku melangkah, maka rasa sakit tanpa ujung lah yang menghampiriku.

***

Hujan yang lebah, rintiknya telah berhasil mambasahi tanah kering yang ada, beserta benda dan pepohonan yang ada.

Wangin petrichol menyengat hidungku tanpa permisi, membuatku sedikit risih dan sesak. Entah karna bau tersebut? Atau tangisku yang baru mereda?

"Kau baik?"

Seseorang bertanya padaku, dia nampak seperti wanita paruh baya, memakai pakayan formal dan jubah hitam seperti hakim serta mediatorku yang bertugas akan perceraian, aku dan Chris.

"Tidak." Aku menggeleng sebagai jawabannya, lalu tersenyum kecil sebagai sapaan untuk dirinya.

"Sedang apa?"

Aku akan mengira dia lekas meninggalkanku, ternyata ikut duduk disamping kursi kosong.

"Menunggu hujan reda." Aku menjawab pertanyaannya dengan seadanya. Dia mengangguk paham.

"Tapi? Untuk apa berada disini?" Lagi, dia bertanya kepadaku.

"Untuk mendengar pembacaan surat gugatan penggugat dari suamiku untukku." Lagi dan lagi aku menjawab sesuatu menyakitkan dengan hampang seolah tidak ada kesedihan didalamnya.

"Pasti itu sangat berat, ya?"

Aku tidak menjawab apapun selain menghela napas dan terkekeh kecil, kepalaku tentunya mengangguk pelan. Aku terlalu malas untuk mengatakan iya. Kata itu selalu menyakitiku.

"Aku harap semoga segalanya cepat usai ya."

"Amin, terima kasih atas doanya." Dia pamit, dan berlalu, menyusuri lorong terbuka ini hingga tubuh jangkungnya itu menghilang pada pandanganku.

Aku kembali sendiri, hampa, dan diam, menatap hujan yang entah kapan mau meredanya, ibu, ayah, dan Sky tentu datang, begitupun keluarga dari suami yang akan menjadi mantanku nanti.

Tapi mereka lupa, dan hanya datang untuk menunggu Chris, mereka berangkat bersama. Namun tidak dengan diriku.

Aku harus terlambat datang hanya karna aku kesiangan. Akan tetapi orang yang serumah denganku tidak sama sekali membangunkan atau sekedar mengingatkan.

Mereka berlalu begitu saja. Aku tersenyum miris, sampai kapan akan seperti ini? Aku kira ketika aku memulai hubungan rumah tangga hal semacam ini tidak akan terjadi lagi.

Mengingat begitu sayang dan sabarnya Chris padaku, dia bahkan tidak mau membuatku tidak makan sekalipun dia tengah kesal.

Itu dulu sih, bukan sekarang. Sekarang aku hanya sendiri, kembali sebatang kara diantara keluarga besar yang bersorak bahagia, lantas tertinggal jauh dari orang-orang yang melangkah baik dengan orang lain.

Ketika melangkah, aku hanya akan sakit, terjatuh dan terluka. Baru sedikit aku melangkah hal buruk telah terjadi.

Apa semuanya akan tetap seperti ini? Ini menyakitkan, aku terlalu lelah untuk sekedar bergeser dari tempatku saat ini berada.

Teman, keluarga besar, maupun suamiku, seolah enggan ada yang mau membantuku.

"Hiks...."

Terisak penuh pilu setiap harinya, menangis, menjerit bahkan berteriak seolah aku seseorang yang tengah kesetanan. Itu seolah sudah menjadi siklus kehidupanku sehari-hari.

Kapan ini berhenti, ya? Aku lelah, lelah sekali, benar-benar lelah.


































Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang