25. Letih

168 23 1
                                    

Apa? Seberapa letih diriku ini? Sampai menatapnya saja membuatku menangis.

***

Putusah hakim telah dibacakan oleh majelis hakim, 8 bulan aku habiskan untuk perceraian ini, belum, ini belum selesai.

Perceraianku belum selesai seutuhnya, aku masih harus melewati beberapa langkah lagi hingga status perceraian benar-benar menempel pada kami.

Kepalaku pusing, lengan yang masih memegang pena untuk menulis diatas lembaran kertas putih bergetar dan melemas.

Ada 14 hari lagi hingga tengatku untuk memgajukan upaya hukum banding. Aku mengajukannya, aku masih mau bahwa apa yang telah terjadi diantara aku dan Chris berhenti dan kami kembali rujuk ditengah jalan yang mulai masuk pada tahap akhir perceraian kami. Tidak bahkan ini bukan masuk tapi memang sudah berada dalam pase akhir dari perceraian kami.

Tapi sepertinya, dalam 14 hari ini, aku hanya akan berbaring lemah diatas brangkar rumah sakit.

Dokter kembali berkata bahwa aku lagi-lagi kekurangan nutrisi, hingga berakhir lemas serta tidak memiliki tenaga, dan akupun kekurangan gizi, serta dehidrasi.

Lenganku lagi dan lagi harus tertancap selang infus, lenganku yang masih berusaha untuk menulis lama kelamaan hanya semakin kaku.

Dadaku sesak, mungkin aku akan menangis?

"Nyonya, Sam?" Perawat datang dengan membawa beberapa obat untuk diriku.

Beberapa menit yang lalu, aku memang mengadu bahwa aku mengalami sesak napas serta badan kaku yang bergetar.

Dan tidak lama suster itu datang dengan membawa obat-obatan serta satu botol cairan infus.

"Nyonya, sudah sarapan?"

Gelengan yang aku berikan pada suster itu membuatnya menghela napas dan mendekati ranjang tidurku.

"Mengapa? Sudah jamnya nyonya minum obat."

"Mual, rasanya kalau aku mengisi perutku, itu hanya akan membuatku mual dan hendak muntah."

Suster itu tersenyum padaku, satu nampan yang telah terisi satu mangkuk dan dua piring itu ia sodorkan pada diriku.

"Itu karna Nyonya jarang makan, Nyonya harus banyak makan, supaya tidak terlihat kurus seperti ini, nyonya akan semakin cantik bila memiliki tubuh yang berisi."

Aku tertawa kecil mendengarnya, itu lelucon nan lucu untuk diriku. Lalu lenganku yang tentunya masih bergetar, akan tetapi aku usahakan dengan lengan bergetar itu. Aku memindahkan secarik kertas dan pulpen pada meja nakas disebelahku.

Supaya meja kecil khusus ini terisi dengan makanan rumah sakit. "Nyonya, makan dulu, ya? Setelah itu minum obat, dan saya akan menganti cairan infus ini."

Aku mengangguk pelan sebagai izin untuk suster tersebut melakukan pekerjaannya yang seharusnya.

"Nyonya, tidak lelah, ya? Keluar masuk rumah sakit terus menerus? Bahkan saya sampai hapal dengan kehadiran, Nyonya."

Kami fokus dengan apa yang dilakukan kami, tapi mungkin karna suster itu merasa keheningan yang membisingkan, dia memulai percakapan.

Memang, jika di ingat-ingat dia selalu merawatku, menjadi susterku setiap kali aku datang untuk menginap disini. Kebetulan yang pas bukan.

Sampai kini tentunya pasti dia merasa, apa aku tidak bosan. "Kenapa? Suster bolak-balik masuk rumah sakit aja nggak bosen-bosen tuh," dengan candaan aku menjawab pertanyaannya.

Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang