23. Teratai

132 23 1
                                    

Kapan serta dimana waktu aku bisa melihat dan mendengarnya, namun dengan rasa biasa saja?

***

"Aku juga sedikit heran, mengapa bisa seperti itu. Mereka menyalahkanku, mereka berkata bahwa aku hanya anak sialan. Padahal aku anugrah yang telah tuhan berikan kepada mereka, walau aku merepotkan mereka... tapi jika seperti itu mengapa pada adikku tidak?"

Aku menunduk, kaki tanpa alas kakiku terlihat lebih menarik ketimbang taman rumah sakit yang dihiasi berbagai tanaman cantik beserta kolam yang nampak gelap dihiasi oleh bunga-bunga teratai.

Angin menerpa. Aku tentunya hanya diam, membiarkannya, seolah pasrah diterpa oleh hal tak kasat mata namun bisa dirasakan, kedanti angin membuatku menggigil.

Tidak ada yang bisa aku lakukan bukan? Memangnya aku bisa menghentikan angin?

"Aku terkadang ingin mengatakan bahwa mereka orang tua yang buruk. Tapi aku tahu, menjaga sikap dan emosi dihadapan seorang anak itu sangat sulit."

Helaan napas aku keluarkan. Psikiater yang sama seperti semalam semata-mata diam mendengarkan, selain sebelumnya dia menyapa dan menarikku untuk bercerita, seperti apa yang dia ingin setelah pengecekkanku usai. Aku hanya perlu menunggu hasilnya.

"Tapi, bukankah menjadi orang tua harus sudah siap secara keseluruhan? Bukan hanya ekonomi, bukan hanya kita yang bisa memberi anak kita makan dan fasilitas yang baik kepada mereka. Tapi, bagaimana kita yang bisa menjaga sikap pada mereka, meredam emosi, mengajari atau memberi contoh baik pada mereka, menasihati dengan benar, menghargai. Dan segala macam lainnya." 

Aku menoleh, dia, psikiater Lee atau bernama lengkap Lee Felix itu mengelus lembut perut membuncitnya. "Apa yang anda katakan benar, Nyonya_

"Bisa-kah jangan memanggilu nyonya? Aku bukan pasienmu saat ini. Kau menawariku curhat secara cuma-cuma, bukan? Kita berbincang secara biasa saja. Jangan terlalu formal."

Dia nengangguk pelan, lalu menatapku sebentar sebelum menoleh. Dia selalu sendu ketika menatapku, ada apa, ya? Apa wajahku semenyedihkan itu?

"Kau benar, untuk apa dilahirkan jika tidak bisa merawat dan membesarkan, itu hanya akan menambah beban pada orang tua maupun mahkluk yang telah tuhan anugerahkan kepada manusia."

"Hehehe...."

Aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku katakan. Bebanku sudah cukup aku keluarkan, namun tidak dengan beban terberat yang tengah aku pikul untuk saat ini.

Terlalu takut, jika orang lain mengetahuinya mereka pasti akan berpikir sama seperti orang yang tahu bagaimana kehidupanku beberapa bulan belakangan ini.

Lebih baik menceritakan hal lalu yang telah terlewat dan menjadi lukaku yang gelap, tanpa bisa hilang dengan cara bagaimana pun itu.

Daripada aku menceritakan apa yang aku tengah rasakan saat ini.

"Mungkin, jika aku tidak ingat bahwa aku hidup karna Tuhan memberiku nikmat bernapas didunia ini, aku sudah mati dan terkubur didalam tahan."

Kami sempat dalam keadaan hening, aku diam dan dia nampak menatapku dari bagaimana ekor mataku meliriknya.

"Sam, gunakan keberanianmu itu untuk lebih berani hidup didunia ini. Dibanding kau berani menyudahi napasmu sebelum Tuhan berkehendak, lebih baik kau menunggu kapan hari dimana kau mendapatkan napas terakhirmu."

Aku mengangguk kecil, tersenyum dan mendongak untuk menatap awang-awang yang terlihat lebih cerah dibanding biasanya.

Satu minggu ini dipenuhi oleh awang-awang mendung yang tengah menangis bersama dengan bagaimana mataku menitihkan cairannya.

Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang