10. Ikrar

137 22 3
                                    

Tolong, jadikan janjimu, janji yang sungguh-sungguh.

***

"Cerai?" Rasanya ngilu yang masih menjalar ditubuh semakin mengilu diperbesar oleh rasa sakit yang baru datang saat ini jua.

1 minggu dua hari baru aku lewati paskah kesedihan yang menyerang paskah kehilangan sesosok yang aku sayangi.

Juga menangisi, bahwa aku harus menerima kenyataan dimana aku yang tidak akan memiliki anak dari kandungan aku lagi setelah ini.

Itu masih terasa sakit. Tetapi kata itu seolah dengan sengaja dan tidak memiliki kemanusiaan, terlontar untuk diriku.

"Ibu? Maksud Ibu apa?" Mataku memanas, mungkin jika aku bisa melihat bagaimana manik yang selalu mendapat pujian ini, aku bisa melihat bahwa mata yang aku rasa memanas mulai memerah dan memancarkan rasa sakitnya.

"Ibu, kenapa? Ibu katakan? Mengapa?..." Aku tidak habis pikir dengan ini semua. Aku menangis dikala itu. Apa maksud Ibu mengatakannya?

"Mau jelasin apa? Kamu udah nggak bisa hasilin anak, Chris pasti mau punya anak. Tapi kamunya..." ucapan itu seolah tengah mencelaku. Mata yang selalu aku harapkan menatapku begitu lembut hanya semakin memanas.

Nyalang, tatapannya seperti itu. "Tapi... Ibu bahkan bukan diantara kami, Ibu tidak berhak mengatakan itu_

"Ibu kira kamu cuma mandul, ternyata penyakitan, mana sekarang nggak bisa hamil, kamu cuma bisa jadi beban buat Chris, kasian Chris nggak bisa punya anak_

"Ibu!"

Tubuh yang duduk disebrangku itu mendekat, ia ikut duduk disampingku, menarik wajahku dan menunjuk serta mendorong keningku dengan telunjuknya.

Aku tidak pernah marah dengan apa yang ibu lakukan terhadap diriku, walau terkadang aku memang sedikit kecewa dengan wanita yang sudah melahirkanku ini.

"Kalo nikah nggak punya anak, buat apa? Sia-sia!"

Tatapannya semakin tajam. Menelisik jijik pada seluruh bagian tubuhku. "Kurus kering, pucat lagi! Istri nggak tau diuntungkan banget kamu tuh."

"Chris nggak permah komentar sama kamu, karna kamu keras kepala, bodoh, dan tidak mau berada di belakangnya, kamu tuh selalu pengen ada disampingnya!"

Aku memandangi wajah itu, aku sudah menangis bahkan isak tangis, aku lontarkan begitu merdu untuk dirinya. "Liat? Kaya gini aja kamu nangis? Padahal itu salah kamu sendiri! Istri nggak ada hak buat ada di samping suami! Kamu harusnya dibelakang! Ingat di.be.la.kang!"

Justru, kala air ludah yang menempel pada wajahku pun tidak menghilangkan rasa marahku dengan rasa jijik. Ya sedikit rasa kecewa memang ada. Tapi aku takut jika harus atau sampai membencinya.

"Tapi, Ibu tidak ada hak! Untuk mengurusi hubungan kami!" Aku memekik dihadapannya. Waktu ini bukan hanya mataku yang terasa panas, tetapi, begitu juga wajahku ikut terasa memanas.

"IBU UDAH TAU! KAMU TUH ANAK KERAS KEPALA! KALO TAU GITU MENDING DULU IBU NIKAHIN, CHRIS SAMA, SKY! ATAU BAHKAN MUNGKIN BUNUH KAMU BIAR CHRIS NIKAH SAMA ANAK KESAYANGAN IBU. BUKAN KAMU YANG NGGAK TAU DIUNTUNG!"

Bagaimana aku harus menjawabnya? Mulutku kelu dihadapannya. Tangisku hanya semakin pecah selepas kata itu terucap untukku.

Mendengar kata yang paling aku tidak suka lagi dan lagi untuk kesekian kalinya ia ucapkan dengan nyaring dihadapanku. Membuatku semakin takut akan rasa benci yang bisa datang begitu saja. Aku tidak mau membencinya.

PLAK!

"Ibu nggak pernah ajarin anak-anak Ibu natap orang tuanya bengis kaya kamu_

"YA TAPI IBU UDAH SEMENA-MENA SAMA AKU!_

Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang