29. Buku

230 24 4
                                    

Akan ada maaf yang bisa memaafkannya?

***

Wajah tampannya dengan baik memilih dan menatap beberapa foto didalamnya, foto itu belum sampai berpuluh puluh tahu, tapi sudah nampak usang. Begitupun dengan buku tersebut.

Mungkin karna sang empunya tidak lagi mengurus dan menjaga benda tersebut, membuatnya sudah terlihat bagai benda lama berumur puluhan tahun.

"Papa! Ini apa? Punya siapa? Kok bukunya ada nama papanya??" Chris tersentak kala suara melengking dari sang anak membangunkannya dari ketidak sadaran pikiran yang mengabang.

"Ada fotonya juga, tapi kenapa nggak ada mama? Kenapa Papa cuma sama dia aja?"

Chu!

Satu kecupan hangat tercipta pada pipi tembam merona milik si anak. Lalu lengannya mengambil alih buku tersebut serta mulai membalikkan lembarannya, mencari dimana bagian oembar yang menyimpan foto lainnya.

"Ini Papa, sama mama." Lengannya menunjuk foto lain yang ternyata tidak sengaja tersimpan didalam buku. "Ini nenek, kakek dari Papa, ini nenek, kakek dari mama." Lalu lengannya bergantian untuk menunjuk bagian dari keluarga lainnya.

"Lalu ini siapa? Mukanya kok kaya gitu? Takut? Siapa Papa? Kok jelek sama serem_"

"Siapa yang ajarin kamu ngomong gitu?" Chris menatap tidak suka pada si sulung, lengannya yang mengelus hangat tubuh dari si anak harus berhenti karna ucapannya yang terpantau menyakitkan.

"Mama ajarin aku, kalau aku nggak suka harus bilang. Aku harus ungkapin apa yang aku rasain."

Chris menghela napasnya kecil, lengannya kembali mengusap tubuh kecil milik bocah berusia 8 tahun di pangkuannya.

"Itu benar, mama nggak salah, tapi nggak kaya gitu, sayang. Ada kalanya kita ungkapan apa yang kita rasakan, tapi kala rasa itu memojokan seseorang jangan mengatakannya, pendam untuk diri sendiri. Itu tidak baik, bisa menjadi hal buruk untuk diri seseorang yang kamu tidak suka itu, bahkan buat diri kamu sendiri. Ngerti ya, sayang?"

Tidak ada jawaban yang diterima sang ayah. Bocah manis berusia 9 tahun tersebut hanya menatap sang Ayah dengan perasaan yang bingung. "Aku udah biasa kaya gitu." Suaranya pelan berbisik. Seolah takut sang ayah akan marah pada dirinya saat itu juga.

"Jikalau, Berly tidak mengerti dan kurang memahami sesuatu, katakan, ya? Jangan langsung menyimpulkan sesuatu begitu saja. Mengerti kan?"

Dia mengangguk patuh, meskipun entah apa nantinya akan benar-benar patuh terhadap omongan sang Ayah.

"Lalu dia siapa?"

"Dia tente, Berly." Chris menjawab dengan senang hati, matanya tersenyum ketika melihat foto yang hampir usang bahkan beberapa dari warnanya nampak menempel pada bagian buku, tentunya karna tidak dirawat, yang begitu saja tersembunyi di antara selah-selah buku.

"Tente? Emang papa atau mama punya kakak?"

Tapi gelengan sebagai jawaban tidak lah yang Chris berikan. "Papa nggak punya, tapi mama punya, ini tante Sam, tante, Berly yang tentunya belum pernah, berly jumpai bukan?"

Anggukan, kali ini si anaklah yang memberikan isyarat. "Tapi kenapa tante mukanya kaya gitu? Tante takut apa? Kamera ya Papa? Kenapa gitu Papa? Terus kok muka tante biru-biru gitu_"

"Sttt anak Papa nggak mesti tahu apa yang tante Sam alami, mengerti?" Chris mengatakan itu dengan lengan yang kembali mengambil alih buku harian usang.

"Mau ketemu tante? Malam ini malam natal, kita bisa memberikan tente hadiah Lalu mengembalikan buku hariannya? Mau?"
























































Afeksi (Chanjin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang