7. Hubungan Random Kita

390 60 4
                                        

Sahara membenturkan kepalanya ke dashboard mobil. Ia benar-benar putus asa sekarang. Kemana ia akan menambatkan hati setelah ini. Salahnya juga sih, sebenarnya. Hingga membuat Jiwa muak dengan sikapnya. Sekarang Sahara malah bertindak seperti orang yang kewarasannya telah direnggut. Ia tidak bisa apa-apa selain membenturkan kepala sambil sesekali mengomel pada dirinya sendiri.

"Ji, gimana dong?!" rengek Sahara.

Jiwa meletakkan tangannya ke dashboard mobil tempat Sahara membenturkan kepalanya. Sudah tidak bisa dibiarkan lagi, Sahara kalau udah gini emang suka nggak tau rasa sakit. Lihat saja dahinya yang sudah memerah,  tapi ia tak kunjung berhenti membenturkan kepala.

"Nggak gimana-gimana," jawab Jiwa enteng.

Setelah kemarin putus dengan Sahara, Jiwa terlihat baik-baik saja. Seolah hubungan mereka yang berjalan satu tahun bukan apa-apa. Sangat berbeda dengan Sahara yang terus-terusan merengek tidak mau putus.

Saat diajak bertemu pun, Jiwa juga oke-oke saja seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Dengan santainya, Jiwa mengikuti kemauan Sahara. Dan sekarang, mereka sudah berada di depan rumah Sahara. Tentu saja, sebagai laki-laki yang bertanggung jawab Jiwa mengantar Sahara kembali ke rumahnya dengan selamat.

"Nggak mauuu." Lagi-lagi Sahara merengek sambil menghentakkan kakinya.

Tanpa mau merespon rengekan Sahara, Jiwa masih diam sambil menghalangi Sahara membenturkan kepalanya di dasboard. Jiwa sudah sangat bertekad untuk membuat Sahara menyesal karena selalu asal bicara tanpa berpikir terlebih dahulu.

"Nggak bersyukur sih, udah beruntung punya pacar kayak gue. Malah minta putus mulu."

Sahara mencibir, kemudian melanjutkan aktivitasnya tadi. Meski ada tangan Jiwa di sana, Sahara tetap membenturkan kepalanya. Bisa bayangkan sakit yang dirasakan jari-jari tangan Jiwa saat Sahara membenturkan kepala.

"Ji, nikah aja, yuk!" ucap Sahara benar-benar melantur. "Udah legal juga, kan?" Jika tidak bisa balikan sebagai pacar, setidaknya Jiwa bisa menjadi suaminya. Sahara tidak mau kehilangan Jiwa begitu saja.

Jiwa menarik napas panjang setelah Sahara melontarkan pertanyaan sebelum memikirkannya terlebih dahulu. Untung Sahara kalau lagi ngelantur sering sama Jiwa. Kalau tidak, tidak bisa Jiwa bayangkan seberapa banyak laki-laki yang sudah digaet oleh Sahara hanya dengan sebuah kalimat random.

"Terus lo bakal minta cerai tiap hari?" balas Jiwa seraya menyindir Sahara dengan sinis.

Sahara berhenti membenturkan kepala dan menatap Jiwa dengan nelangsa. "Jadi lo nolak gue, Ji?"

"Iya," tegas Jiwa.

Di hatinya yang terdalam, Jiwa sama sekali tidak bisa menolak Sahara. Sangat mustahil Jiwa menolak untuk menikah dengan Sahara. Tapi, sekarang bukan waktunya. Ada banyak hal yang harus mereka lakukan dan ubah terlebih dahulu sebelum menikah.

Sahara mencebik dan kembali membenturkan kepalanya ke dashboard. Ia benar-benar tidak tahu akan melakukan apa sekarang. Rasa putus asa sudah menguasai dirinya.

"Lo nggak mau perjuangin gue gitu?" tanya Sahara.

"Sia-sia gue merjuangin orang yang nggak mau diperjuangin."

Sahara berhenti membenturkan kepala dan menyandarkan punggungnya. Tak mau menatap Jiwa, Sahara menatap ke luar, menyandarkan sikunya ke jendela dan mengigit ibu jarinya.

Suasana berubah. Jiwa membenarkan posisi duduknya dan menumpukan tangan ke setir mobil. Sahara dan Jiwa hanyut dalam pikiran masing-masing.

Sahara sama sekali tidak pernah menyangka hubungannya dengan Jiwa akan berakhir seperti ini. Bahkan, saking galaunya, Sahara tidak memiliki selera untuk menyantap makanan di rumahnya.

"Keputusan lo udah final banget ya, Ji?"

Jiwa terdiam sejenak sambil mengatur napasnya. Sebenarnya, Jiwa juga tidak yakin dengan keputusannya ini. Bagus kalau Sahara akan sadar akan kesalahannya. Kalau tidak? Hubungannya dengan Sahara bisa benar-benar berakhir di tengah jalan.

Sahara menatap Jiwa dengan mata yang mulai memerah. "Ji, peluk dulu," pinta Sahara sambil merentangkan tangan.

Patuh, Jiwa memeluk Sahara dan menumpukan dagu ke kepala Sahara. Mungkin hanya ini yang bisa mereka lakukan untuk merayakan akhir dari status mereka ini.

"Ji, gue nggak mau putus. Nggak mau jauh-jauh dari lo," ucap Sahara tanpa mendapat respon positif dari Jiwa.

Sahara mendusel-dusel di dada Jiwa. Jangan pikir Sahara lagi mau manja-manjaan sama Jiwa, makanya dusel-dusel gitu. Nggak gitu! Itu Sahara lagi ngelapin ingusnya di ke kemeja Jiwa.

"Jorok, lo!" Jiwa mendorong dahi Sahara agar menjauh darinya.

"Dih, ingus doang."

"Ingus lo, nih!" Jiwa meraih tangan Sahara dan membersihkan ingus yang menempel di kemejanya dengan tangan Sahara.

Sahara memberontak, "ih, jorok, lo!"

"Dih, ingus doang. Kan ingus lo juga."

"Bisa-bisanya gue bahas ingus saat lo nggak mau balikan sama gue," ucap Sahara sembari menggelengkan kepala berharap kesadarannya kembali.

"Biar nggak stres-stres banget," enteng Jiwa.

"Serius ih, gue harus gimana? Biar lo nggak jadi mutusin gue?!"

Jiwa hanya mengangkat bahunya acuh. "Nggak usah yang gimana-gimana. Terima aja, lagian lo yang mutusin, kan?"

Sahara kembali membenturkan kepalanya ke dashboard. Cekatan, Jiwa juga meletakkan tangannya agar kepala Sahara tidak membentur dashboard. Kasihan, sekarang aja otaknya nggak berjalan normal, ditambah benturan, mungkin otak Sahara akan mengalami dislokasi.

Sahara kembali menegakkan kepalanya, menoleh pada Jiwa untuk memperlihatkan wajahnya yang sudah sangat-sangat berantakan. Mata merah, poni yang lepek karena terkena air mata, tak lupa juga hingus yang sudah mengalir kemana-mana.

"Jiii, nggak mau putus...," rengek Sahara lagi. Kali ini sambil menusuk-nusuk lengan Jiwa.

Jiwa hanya diam, tak mau merespon Sahara yang sedari tadi tidak berhenti merengek. Sebenarnya, Sahara terlihat menggemaskan di mata Jiwa. Tapi, karena ceritanya mereka udah putus, Jiwa sebisa mungkin menahan dirinya agar tidak tersenyum.

"Lo udah yakin banget, Ji?" tanya Sahara lagi.

"Iya."

"Lo nggak mau merjuangin gue? Rasa suka lo ke gue cuma segini?" Kali ini Sahara sudah tidak merengek lagi.

Jiwa hanya bisa diam. Tidak bisa menjawab kalau dia masih menginginkan Sahara untuk menjadi pacarnya. Jiwa tidak mau menjelaskan bahwa ia sedang memberi sebuah hukuman pada gadis yang sekarang sudah menjadi mantannya itu.

"Oke, kalau gitu mau lo," ucap Sahara dingin sambil menghapus air mata dan hingusnya.

Sahara kemudian membuka pintu mobil dan berlari memasuki rumahnya tanpa menoleh lagi pada Jiwa. Rasa sabarnya sudah habis, sedari kemarin ia merengek, tapi tidak direspon baik oleh Jiwa. Bahkan, dengan merengek seperti ini, Sahara sudah seperti flash sale harga diri. Harga dirinya di hadapannya Jiwa benar-benar sudah tidak ada.

Sesampainya di kamar, Sahara langsung mengunci pintu dan menghamburkan diri ka atas tempat tidurnya. Tak lupa, ia mengambil selimutnya dan menangis di balik selimut yang menutupi selutuh tubuhnya. Seolah, udara panas siang hari ini tidak berpengaruh apa-apa pada Sahara.

Mungkin, karena hatinya sudah mati rasa, semua organ tubuhnyajuga ikut-ikutan mati rasa.






Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang