36. Deep Talk

129 27 0
                                    

Jiwa mendongakkan kepala  dan menatap lurus ke depan. Tak ada yang spesial, ia hanya menatap langit yang terlihat cerah hari ini. Semua hal masih berjalan dengan semestinya. Bumi masih berputar, jam masih berdetak, dan angin masih bergerak hingga menerpa lembut wajahnya yang sedang duduk di balkon kamarnya.

Tak ada yang berubah selain hubungannya dengan Sahara. Hanya itu satu-satunya hal yang berubah saat ini di hidup Jiwa. Tak akan ada lagi ia menemui Sahara yang merengek padanya dan memanggilnya dengan sebutan 'Jiwa yang bikin sakit jiwa'. Mereka mungkin saja bertemu lain kali, tapi dengan suasana yang berbeda.

Jiwa benar-benar tidak berminat melakukan apapun saat ini. Bahkan, untuk memetik senar gitarnya pun tidak. Hatinya benar-benar hancur sekarang.

"Jiwa."

Saking tidak fokusnya, Jiwa bahkan tidak menyadari mamanya sudah berdiri di sampingnya. Isi kepalanya yang terlalu ribut membuat Jiwa dibuat linglung.

"Iya, kenapa ma?" Jiwa yang tadinya duduk bersandar lesu di sofa langsung mengubah posisi duduknya.

"Jiwa ada masalah yang mau diceritain ke mama?"

Bukannya Mama Jiwa tidak tahu, ia sangat tahu apa yang membuat si bungsu linglung begini. Tapi, ia tetap mencoba berbicara dengan Jiwa. Siapa tahu, dengan bercerita bebannya sedikit terangkat dan perasaannya bisa lebih sedikit lega.

Jiwa diam sejenak, menatap jari-jari kakinya sambil menimbang-nimbang untuk bercerita atau tidak. Hatinya memang sakit sekarang, begitu juga dengan kepalanya. Mungkin ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menenangkan dirinya. Karena, mamanya adalah obat yang paling manjur dari segala obat.

"Mama bisa dengar semua cerita  dan kasih Jiwa solusi. Jiwa mau cerita sama mama?"

Mama Jiwa duduk di samping Jiwa dan mengelus kepala bagian belakang Jiwa. Jiwa hanya bisa menunduk dan merima perlakuan mamanya.

"Di sini rasanya sakit banget, Ma," ucap Jiwa sambil memegang dadanya yang terasa sesak.

"Apa lagi yang sakit, nak?"

"Kepala Jiwa juga sakit, Ma."

Mama menepuk-nepuk pundak Jiwa pelan. Patah hati memang akan selalu terasa menyakitkan. Mama Jiwa juga pernah muda, jadi ia tahu apa yang dirasakan oleh Jiwa saat ini. Melihat sang pujaan hati bertukar cincin dengan laki-laki lain, siapa juga yang tidak akan patah hati mendengarnya. Mama sangat mengerti itu, tapi ia harus membuat Jiwa tidak berlarut-larut dengan patah hatinya.

"Jiwa kan masih muda, jadi emang lagi di fase jatuh cinta, terus patah hati. Wajar, mama ngerti, tapi Jiwa nggak bisa patah hati sampai berlarut-larut. Oke, Mama bisa ngerti kalau Jiwa sedih karena liat Sahara malah bertukar cincin sama laki-laki lain, tapi Jiwa harus bisa mengontrol emosi itu, Jiwa udah dewasa sekarang."

"Jiwa punya salah apa sampai Ibunya Sahara malah jodohin Sahara sama orang lain, Ma?" tanya Jiwa sedikit tidak mengerti dengan apa yang ia alami.

Jiwa pikir, sepertinya ia bukan cowok yang memberi pengaruh buruk pada Sahara. Sikapnya juga baik pada kedua orang tua Sahara. Orang tua Sahara juga tidak mempermasalahkan hubungan Jiwa dan anak mereka pada awalnya. Tapi, kenapa tiba-tiba Sahara malah dipaksa untuk meninggalkan Jiwa seperti ini?

"Jiwa dengarin mama, ya." Mama Jiwa sedikit memutar posisi duduknya dan menatap Jiwa. "Ibu Sahara berhak untuk lakuin itu, memutuskan apa yang baik untuk Sahara. Tapi, bukan berarti Jiwa punya salah sama mereka makanya mereka gitu. Mungkin, Jiwa sama Sahara memang merasa cocok satu sama lain. Tapi, Ibu Sahara mungkin merasa kalau Jiwa bukan yang tepat untuk Sahara."

Jiwa mengedipkan matanya beberapa kali. Ia tak kuasa untuk menahan air matanya keluar. Namun, Jiwa tetap berusaha membendung air matanya sekuat yang ia bisa. Alhasil, hanya sudut matanya yang berair.

"Ma, Jiwa mau tetap di Indonesia boleh nggak? Jiwa mau batalin beasiswanya boleh?"

Mama Jiwa tersenyum kecil. Mencoba memaklumi Jiwa yang sedang ragu dengan keputusannya.

"Mama sih, nggak masalah." Mama menjawab pertanyaam Jiwa dengan mantap. "Tapi yakin Jiwa nggak ada masalah dengan itu? Udah yakin mau merelakan mimpi-mimpi Jiwa?"

Jiwa menunduk, mencengkram rambutnya dengan keras. Ia mencoba mencari mencoba bertanya pada dirinya sendiri.

Mama melepaskan genggaman tangan Jiwa di rambutnya sendiri. Dengan telaten, Mama malah mengganti cengkraman itu dengan pijatan halus di kepala Jiwa.

"Bukannya mau bikin Jiwa ragu, mama cuma mau Jiwa mikirin keputusan ini matang-matang. Jiwa udah yakin mau melepas semua mimpi yang udah Jiwa dambain dari kecil? Yakin ikhlas merelakan semuanya setelah semua kerja keras Jiwa selama ini?"

"Jiwa nggak tau, Ma," jawab Jiwa lemah.

"Mama tahu ini hidupnya Jiwa. Jiwa yang akan menjalani seperti apa ke depannya. Tapi, boleh Mama berpendapat?"

Jiwa menatap mamanya sejenak, kemudian mengangguk.

"Jiwa nggak harus melepaskan mimpi Jiwa demi Sahara yang baru ada di hidup Jiwa baru-baru ini. Dibanding Sahara, Jiwa udah memimpikan untuk kuliah di Singapura lebih dulu."

Jiwa menarik napasnya dalam. Bahkan, tanpa ia ceritakan lebih detail, mama sudah tahu kemana tujuan pertanyaan Jiwa.

"Sahara larang Jiwa untuk pergi?"

Jiwa hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan mamanya. Ini semua murni hasil pemikiran Jiwa sendiri. Ya, walaupun Jiwa tahu Sahara agak keberatan, tapi yang jelas Sahara tidak pernah secara blak-blakan memaksa Jiwa untuk ke Singapura.

"Terus kenapa Jiwa ragu?"

"Jiwa cuma mau tetap ada di dekat Sahara, Ma."

Mama lagi-lagi tersenyum kecil, kali ini sambil menghembuskan napasnya kecil. Ternyata hanya fisik Jiwa yang bertambah dewasa.

"Jiwa udah yakin kalau Sahara itu jodoh Jiwa? Yakin kalau Sahara emang udah ditakdirkan untuk Jiwa? Jiwa merasa bisa menebak rahasia Allah yang satu itu?"

Jiwa menggigit pipi bagian dalamnya. Tak bisa menjawab pertanyaan mamanya dengan yakin.

"Kalau memang Sahara jodohnya Jiwa, mau Jiwa ada di ujung dunia sekalipun, dia akan kembali lagi ke Jiwa. Tapi, kalau Sahara bukan jodoh Jiwa, mau Jiwa kejar sampai nabrak pluto pun, Jiwa nggak akan bisa dapat."

Setelah mendengar ucapan mamanya, Jiwa merasa perlahan semua pertanyaan yang sedari tadi memenuhi pikirannya mulai terjawab satu-persatu. Kebisingan yang ada di dalam kepalanya mulai berkurang.

"Jiwa paham maksud mama, kan?"

Jiwa mengangguk. Benar, kan, mamanya adalah obat paling manjur dari semua obat.

"Satu lagi, Jiwa bisa menjaga jarak sama Sahara?"

Jiwa langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan mamanya. Bingung kenapa tiba-tiba mama melarangnya untuk dekat dengan Sahara.

"Kenapa? Mama marah karena Sahara dan orang tuanya?" bingung Jiwa.

"Nggak, mama nggak marah sama sekali. Mama bisa ngerti kalau Ibunya Sahara mau yang terbaik untuk anaknya," jawab mama menggelengkan kepalanya.

"Terus kenapa tiba-tiba nyuruh Jiwa jaga jarak sama Sahara?" tanya Jiwa sedikit tidak terima.

"Sahara itu udah terikat sama komitmen yang jelas, Jiwa. Kalau Jiwa tetap maksa dekat sama Sahara, kira-kira hal buruk apa yang terlintas di pikiran orang yang liatnya? Walaupun Jiwa masih sayang sama Sahara, tapi Jiwa harus bisa jaga marwahnya Sahara."

Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang