Sahara mengetuk-ngetukkan uju sepatunya sambil menunduk. Setelah acara bettukar cincin dengan Adit, Sahara seolah kehilangan jiwanya. Rasanya, saat ini hanya raganya yang berada di sini, jiwanya sudah pergi entah kemana. Sahara duduk di salah satu meja untuk menjauh dari Adit berdiskusi dengan kolega bisnis papanya. Sahara sih masa bodo, pokoknya ia sudah menyapa para tamu dengan baik bersama Adit tadi. Selain itu, bukan urusan Sahara.
"Hah."
Sahara menghembuskan napasnya kasar saat melihat cincin yang sudah tersemat di jari manis tangan kirinya. Sahara tidak pernah menyangka hari ini akan datang. Hari dimana ia dan Adit benar-benar bertunangan.
"Ra," panggil Adit ikut duduk di sebelah Sahara.
"Hm."
Sahara mencoba sekuat hati untuk merespon Adit. Bagaimanapun, ia harus bersikap baik dan menjaga nama baik ibu dan ayahnya. Walaupun dalam otak Sahara, cowok di sampingnya ini sudah ia buat babak belur saking tidak sukanya Sahara dengan cowok ini. Sangat egois, batin Sahara.
"Udah makan?" tanya Adit.
Memang, sejak acara pertunangan diumumkan oleh ibu dan ayah Sahara, ia lebih cenderung menjaga jarak dengan Adit. Tidak ada lagi Sahara yang cerewet sejak itu. Adit sebenarnya juga merasakan perubahan gadis ini. Tapi, ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke kehidupan Sahara bagaimanapun caranya.
"Udah, saking banyaknya gue jadi sakit perut." Sahara lantas bangkit dari tempat duduknya.
"Mau kemana?" tanya Adit sambil mendongak menatap Sahara.
"Toilet, gue sakit perut."
Tanpa babibu lagi, Sahara pergi meninggalkan Adit dan berjalan menuju toilet. Saat di toilet, ia hanya duduk termenung di atas toilet yang tertutup. Bahkan, setan saja enggan untuk merasuki Sahara yang saat ini melamun.
Sahara membuang napasnya kasar berkali-kali. Bukan ini yang ia inginkan. Yang paling membuat dadanya sesak adalah kenyataan bahwa impian yang sudah ia rancang bersama Jiwa harus pupus. Tidak ada lagi Jiwa yang menemaninya, obrolan membahas nama anak dengan Jiwa dimasa depan. Dengan adanya pertunangan ini, Sahara pikir ini benar-benaf sudah berakhir antara dirinya dan Jiwa.
Sahara harus menangis sekarang, rasa sesak di dadanya tidak tertahankan lagi. Tapi, Sahara tidak mau menangis di sini. Ia butuh tempat tenang dan sunyi untuk melepaskan semuanya.
"Gue harus ke taman, nggak peduli ada banyak nyamuk. Biar kena demam berdarah sekalian," ucap Sahara sambil bangkit dan keluar dari toilet.
Awalnya, Sahara mengintip, memperhatikan situasi, apakah memungkinkan jika ia ke taman sekarang. Setelah dirasa aman, Sahara segera berjalan dengan cepat keluar rumahnya.
"Ibu jahat banget, sih," rengek Sahara bahkan saat dirinya belum sampai di taman.
Dengan langkah pincang karena ia memakai heels, Sahara berjalan ke taman sambil terus menangis. Terus menyalahkan ibunya yang hanya mementingkan dirinya sendiri daripada kebahagiaan Sahara.
"Ini lagi sepatu! Kalau nggak cocok nggak usah maksa buat dipake!" Sahara melepaskan sepatunya dan membiarkan telapak kakinya bersentuhan dengan aspal.
Saat di taman, Sahara segera menuju bangku taman tempat ia biasa duduk bersama Jiwa. Dan, coba tebak apa yang Sahara temukan disini. Tangisnya langsung pecah karena melihat sosok itu duduk di bangku itu sambil melamun.
"Jiwaaa."
Jiwa langsung menoleh saat mendengar suara Sahara. Awalnya, ia sedikit ragu dan menyangka bahwa keberadaan Sahara di sini hanya halusinasinya. Mana mungkin Sahara ke sini di malam pertunangannya. Tapi, Jiwa langsung yakin bahwa Sahara yang ada di hadapannya ini nyata setelah gadis itu langsung menghambur memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya, Move On? (SELESAI)
Roman pour AdolescentsAwalnya cuma pura-pura mau move on. Eh, ternyata malah dipaksa move on beneran. Start : 22 Oktober 2022 Finish : 12 Desember 2022