12. Oke! Gue Bakal Move On!

221 46 4
                                    

Sinar mentari bersinar begitu sombongnya seolah sedang memamerkan sinarnya yang tak terkalahkan. Tak peduli dengan sinar matahari yang membakar kulit, Sahara dengan nekad menyusuri jalan mennju rumah Jiwa dengan hasrat yang menggebu-gebu. Ya, walaupun ia pakai payung, tetap saja hawa panas ini terasa tidak enak sebenarnya. Tapi ya gimana, namanya juga Sahara, demi Jiwa akan ia selami tujuh samudera mungkin.

"Gini banget gue demi Jiwa," dumel Sahara pada dirinya sendiri. "Anak, cucu, cicit gue kelak pasti bangga sama perjuangan gue buat dapetin Jiwa."

Sahara berjalan dengan santai sambil mengarahkan kipas angin portable ke wajahnya. Jika sudah seperti ini, tiada satupun orang yang bisa melarang Sahara. Bahkan kedua orang tuanya pun sudah menyerah pada Sahara yang terus-terusan menangis sambil memanggil Jiwa. Cinta Sahara untuk Jiwa memang sudah membutakan dirinya. Berkali-kalipun dimaki oleh Zanna karena terlalu bucin pada Jiwa, Sahara tetap mengabaikan.

"Assalamualaikum." Seperti biasa, Sahara membuka pagar rumah Jiwa sendiri dan berinisiatif untuk masuk ke rumah Jiwa tanpa menunggu si pemilik rumah keluar.

Tak melihat keberadaan kedua orang tua Jiwa, Sahara langsung saja berjalan menuju kamar Jiwa yang terletak di lantai dua. Saat menapaki kaki di lantai dua, Sahara langsung mendengar suara genjrengan gitar yang sudah pasti berasal dari gitar Jiwa. Saat sudah berdiri di depan pintu kamar Jiwa, Sahara mengetuk pintu itu.

"Hai!" Sahara langsung menyapa Jiwa dengan wajah bahagia saat sang pemilik kamar membuka pintu.

Saat melihat Sahara, tanpa babibu Jiwa langsung menutup pintu kamarnya tanpa membalas sapaan Sahara. Dan bukan Sahara namanya kalau tidak bisa menahan Jiwa, walaupun dengan menyakiti dirinya sendiri.

"Akk!" Teriakan Sahara melengking ke seluruh sudut rumah saat tangan kanannya terjepit saat ia gunakan untuk menahan Jiwa menutup pintu.

"Sa!" Jiwa refleks membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan langsung meraih tangan Sahara yang terjepit karena ulahnya.

"Sakit, Ji," rengek Sahara yang sangat jelas kalau itu dibuat-buat.

"Ya kenapa ditaro disitu tangannya," omel Jiwa sambil meniup tangan Sahara yang memerah dan mulai terasa panas.

"Biar lo nggak nutup pintu, lo masih marah sama gue, Ji?"

"Iya."

Singkat, padat, dan jelas sekali jawaban yang diberikan Jiwa pada Sahara. Tak kehilangan akal begitu saja, Sahara segera melangkah memasuki kamar Jiwa dan duduk di atas meja belajar cowok itu.

"Ji, udahan ya marahnya? Lo bener-bener udah nggak sayang sama gue lagi?" tanya Sahara sambil memandangi tangannya yang memerah. Ternyata sakit juga terjepit pintu tadi.

Jiwa tidak menjawab, ia hanya menghebuskan napasnya kasar kemudian meraih tangan Sahara lagi. Ia menggenggam tangan yang terasa panas itu. Kemudian mengeluarkan es batu dari cup minuman dingin miliknya yang tergeletak di atas meja dan menempelkan es batu itu ke tangan Sahara.

"Ji, lo masih sayang gue, kan?"

"Jiwa, Jiwa yang bikin sakit jiwa, kucing kampung lo mana?"

"Jiwa, Jiwa yang bikin sakit jiwa tapi gue tetap sayang, lo serius nggak mau ngomong sama gue?"

"Sayang."

"Sayang, sayang, sayang, sayang," panggil Sahara tak kunjung menyerah walaupun diabaikan Jiwa.

"Jiwa, Jiwa yang bikin sakit Jiwa. Jiwa, Jiwa kesayangan Sahara. Jiwa sayang, Jiwaaa."

Sahara membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Jiwa yang sedang berjongkok di hadapannya. Dengan sangat berani, Sahara mendekatkan wajahnya dengan wajah Jiwa dan saling bertatapan untuk beberapa saat.

"Lo yakin nggak kangen gue?" tanya Sahara tepat dihadapan wajah Jiwa.

Awalnya Jiwa balas menatap Sahara, tapi setelah beberapa saat ia memundurkan wajahnya dan segera bangkit berdiri untuk menjauh dari Sahara. Jujur saja, jantung Jiwa langsung berdebar tidak karuan karena ulah Sahara.

"Nggak."

Sahara tersenyum kecil saat menyadari Jiwa sedang salah tingkah. Emang sih, siapa juga yang bisa menolak pesona seorang Sahara? Pokoknya hari ini ia akan membuat Jiwa bersedia untuk kembali bersamanya.

"Yakin?" goda Sahara sembari bangkit dan berdiri di hadapan Jiwa.

"Iya," ucap Jiwa seraya menyembunyikan kegugupannya.

"Suka-suka lo, deh! Yang penting gue kangen lo!" Sahara langsung menghambur memeluk Jiwa.

Jiwa fine-fine saja dipeluk oleh Sahara. Tapi, mencoba untuk tidak membalas pelukan Sahara. Kan ceritanya lagi marah.

Sambil tersenyum, Sahara memejamkan matanya seraya mendengar debaran jantung Jiwa hang sudah tidak karuan di dalam sana. Hanya dengan mendengar debaran jantung itu, Sahara merasa sangat bahagia. Debaran jantung itu masih sama seperti sebelumnya, belum berubah sama sekali.

"Sa," tegur Jiwa.

Tak peduli, Sahara tetap memeluk Jiwa, makin erat malah. Tapi, suara ponsel Jiwa membuat Sahara mengalihkan pandangannya dan melihat nama kontak yang tertera di layar.

Lila.

Satu nama yang membuat mood Sahara langsung berubah. Buktinya, Sahara langsung melepas pelukannya dan meraih hp Jiwa untuk memastikan apakah yang ia lihat sudah benar.

"Ji?!" ucap Sahara sambil menyodorkan hp ke wajah Jiwa sambil mencoba meminta penjelasan dari cowok yang sukses membuatnya galau berhari-hari itu.

"Demi apapun, gue nggak ada apa-apa sama Lila." Jiwa langsung memberi klarifikasi sebelum Sahara mengamuk.

"Jadi ini alasan lo mutusin gue? Baru beberapa hari kita putus, dan lo udah chatan lagi sama Lila?!" tuding Sahara.

"Nggak gitu, Sa," ucap Jiwa pelan.

Mata Sahara mulai memerah. Jika sudah menyangkut Lila, Sahara selalu hilang kendali. Ia terlalu cemburu pada Lila yang selalu mengikuti Jiwa kemanapun.

Sahara menarik tangan Jiwa dan memberi hp yang ada ditangannya pada Jiwa dengan sedikit keras. Oke, Sahara sudah dapat jawabannya. Jangan harap Sahara bisa dengan mudah memaafkan Jiwa. Jiwa sudah melanggar janjinya untuk tidak berbalas pesan dengan Lila jika tidak penting. Lihat sekarang, mereka malah saling berbalas pesan yang berisi basa-basi sekedar bertanya sudah makan siang atau belum.

"Oke, fine! Kita beneran putus, setelah ini, gue nggak bakal ngemis-ngemis ke lo lagi," ucap Sahara penuh penekanan sambil menghapus air matanya yang mulai mengalir.

"Gue minta maaf, tapi nggak usah putus beneran, Sa," bujuk Jiwa sembari menggenggam kedua tangan Sahara.

Sekarang keadaan berbalik. Tidak ada lagi Sahara yang mengemis-ngemis pada Jiwa. Kini giliran Jiwa yang memohon-mohon pada Sahara.

"Lo udah ngingkarin janji buat nggak chat Lila lagi."

"Lo salah paham, Sa."

"Nggak! Gue liat sendiri chat kalian!" Sahara beranjak dari kamar Jiwa dengan mengambil langkah lebar. Peduli setan! Putus putus, deh.

"Sahara." Jiwa memeluk Sahara dari belakang untuk menahan gadis itu agar tidak pergi. Bukan hanya sekedar pelukan, Jiwa sudah meneneggelamkan wajahnya ke leher Sahara.

"Lo tau kan gue bakal semarah ini kalau gue tahu lo chatan sama Lila. Tapi kenapa masih lo lakuin?"

Sahara benar-benar sudah kehilangan akal jika Jiwa berhubungan dengan Lila. Anggap saja Sahara terlalu posesif, tapi itu resiko jika ingin bersama Sahara. Sifat posesif Sahara sudah stadium empat, tidak bisa dikontrol lagi.

"Gue cuma mau menghargai dia," jelas Jiwa singkat.

"Ya udah! Lo hargai dia aja! Gue nggak usah! Udah putus juga, kan!?"

"Nggak gitu, Sahara."

"Liat aja, gue bakal move on secepatnya dari lo!" ucap Sahara sangat bertekad sambil melepas pelukan Jiwa.

Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang