19. Benar-Benar Berakhir

178 42 3
                                    

Jiwa sedikit terkejut setelah membuka pintu rumahnya saat melihat Lila yang berada di depan rumahnya. Bukan kebaradaan Lila yang sebenarnya membuat Jiwa terkejut, melainkan Lila yang sudah menangis di depan rumahnya. Jiwa tidak ingat jika ia punya salah pada Lila hingga gadis itu menangis di depan rumahnya.

Mata Lila yang saat ini berdiri di hadapannya benar-benar sudah bengkak. Bisa Jiwa pastikan kalau Lila sudah menangis lama.

"Lo kenapa, La?" tanya Jiwa sambil membawa Lila duduk di teras rumah yang terdapat kursi tempat papanya biasa duduk di pagi hari.

"Rayan," isak Lila tidak jelas.

Jiwa mengerutkan keningnya. Tak paham dengan apa yang terjadi dengan Rayan hingga membuat Lila menangis seperti ini. Sempat terlintas di benak Jiwa jika Rayan melakukan hal yang tidak-tidak pada Lila. Tapi ia segera menepis prasangka buruknya karena Rayan yang Jiwa kenal bukan seperti itu. Sepupunya yang satu itu tidak akan melakukan hal aneh yang akan merugikan orang lain.

"Dia bilang mau nyerah sama gue," ucap Lila sambil menggosok matanya yang terasa sangat perih.

Bukannya paham dengan apa yang terjadi, Jiwa malah semakin mengerutkan kening karena Lila. Oke, kalau Rayan sudah menyerah, itu manusiawi. Tapi apa yang membuat Lila sampai menangis seperti ini saat Lila sendiri tidak bisa membalas perasaan Rayan.

"Terus?" tanya Jiwa lebih lanjut.

"Rayan mau jauhin gue," balas Lila.

Jiwa menghembuskan napas panjang, ia sudah mengerti kenapa Lila menangis sampai tersedu-sedu seperti ini. Gadis itu tidak mau kehilangan Rayan, tapi tidak menyadari perasaannya sendiri.

"Bukannya lo nggak suka Rayan? Kenapa malah nangis?"

Pertanyaan dari Jiwa benar-benar membuat Lila tersentil. Benar kata Jiwa, tapi entah kenapa ia hanya ingin menangis karena Rayan.

"Gue juga nggak tau kenapa."

"Lo masih belum sadar?" Jujur saja Jiwa sedikit geram pada Lila.

"Apa?" Lila mulai berhenti menangis, dengan wajah dan mata yang merah ia menatap Jiwa dengan penuh tanda tanya.

"Lo itu sebenernya suka Rayan Lila."

Lila terdiam, tidak bisa menerima pernyataan Jiwa, tapi juga tidak bisa membantah. Tidak mungkin ia menyukai Rayan, sedangkan Lila sendiri juga menyukai Jiwa. Tidak mungkinkam Lila menyukai dua orang ini?

"Sadar, La. Lo itu sebenernya sayang sama Rayan, nyaman sama Rayan, tapi lo terobsesi buat dapetin gue."

Ah, sepertinya benar apa yang dikatakan oleh Jiwa. Tapi, Lila tidak terlalu yakin dengan perasaannya sendiri. Ia ingin memiliki Jiwa, tapi tak mau Rayan menjauhinya. Lila menginginkan mereka berdua.

"Lo sebenernya sayang kan sama Rayan? Kalau nggak, kenapa lo malah nangis-nangis pas Rayan mau jauhin lo?"

"Jiwa, gue nggak mau dijauhin Rayan, gue harus apa?" Akhirnya Lila buka suara.

"Gue juga nggak punya solusi sih. Kalau soal Rayan, kalau dia bilang bakal menjauh, dia bakal menjauh. Susah dibujuk tuh anak, pendiriannya kuat banget."

"Terus gue harus apa?! Gue kayaknya nggak bisa baik-baik aja kalau nggak ada Rayan," rengek Lila. "Siapa yang bisa dengerin gue kalau lagi random kalau bukan dia? Siapa yang mau nemenin gue galau kalau bukan dia?"

Jiwa menarik napasnya dalam. Egois sekali gadis ini pikirnya. Bahkan egoisnya melebihi Sahara. Ia menginginkam Rayan ada di sampingnya, tapi tak bisa membalas perasaan Rayan.

"Lo nggak bisa gitu, La." Jiwa menegakkam tubuh dan memutar tubuhnya sedikit untuk menghadap Lila. "Kalau emang lo nggak suka Rayan, lo nggak bisa nahan dja buat terus ada di samping lo. Rayan juga manusia, dia juga punya hati. Selama ini, pernah nggak lo sadar sekali aja kalau lo sering nyakitin dia?"

"Lo bisa nolongin gue buat ngomong sama Rayan,nggak? Kontak dan semua sosial media gue udah diblokir sama dia," pinta Lila.

Rayan sepertinya sudah benar-benar memiliki tekad untuk menjauh dari Lila. Kalau Jiwa sih, paham kenapa sepupunya sampai seperti itu. Waktu yang Rayan habiskan untuk Lila bukan waktu yang sebentar. Rayan sudah menyerahkan hampir semua waktunya untuk Lila.

"Nanti gue coba." Jiwa mencoba menenangkan Lila. "Udah nangisnya, ntar tetangga gue liat terus mikir yang aneh-aneh," ucap Jiwa sambil mengusap air mata Lila.

Dan yah, belum beberapa saat setelah mengatakan itu, ia terciduk oleh Sahara sedang berduaan. Jiwa yang kaget dengan kedatangan Sahara langsung menjauhkan tangannya dari wajah Lila.

Jiwa segera bangkit dan menghampiri Sahara yang sudah berdiri di halaman rumahnya sambil mengepalkan tangan dengan wajah yang sudah merah padam. Cepat, Jiwa langsung menggenggam tangan Sahara yang mengepal agar gadis itj bisa sedikit tenang. Jiwa panik, Sahara kalau cemburu nggak bisa ditenangin. Apalagi berhubungan dengan Lila, Sahara akan benar-benar kehilangan kendalinya.

"Gue pikir kita idah baikan dan lo bakal jauhin Lila," ucap Sahara dengan suara yang bergetar.

"Sa, ini bukan kayak apa yang lo lihat. Lo dengerin gue, ya?" bujuk Jiwa dengan sangat lembut.

Lila hanya memperhatikan kedua orang itu dari jauh. Sudah jelas sekali jika Sahara sedang marah. Tapi Lila tidak mau ikut campur, Lila sangat sadar kalau Sahara tidak menyukainya. Dari pada masalah kedua orang itu semakin rumit, lebih baik Lila diam saja.

"Lepas, gue mau pulang aja," Sahara mencoba melepaskan tangan Jiwa.

"Sa, dengerin gue dulu," tahan Jiwa.

"Nggak, Ji. Lo mau jelasin apa coba? Kita kan juga udah putus?" ucap Sahara dingin.

"Nggak, Sa."

"Gue nggak bisa nerima pengkhianatan dalam bentuk apapun."

Jiwa langsung mendekap Sahara. Ia sama sekali tidak berkhianat. Tapi, ia hanya melanggar janji pada Sahara untuk tidak terlalu dekat dengan Lila. Tapi, tidak perlu sampai seperti ini juga.

"Gue nggak ngapa-ngapain, Sa, sumpah!"

Sahara melepas pelukan Jiwa. Saat ini ia benar-benar sudah menangis. Kali ini bukan bercandaan lagi. Ia dan Jiwa memang harus mengakhiri semuanya. Sahara sudah lelah menjadi pihak yang selalu mengemis.

"Ji, kayaknya ini udah bener-bener berakhir. Jangan telfon gue, jangan hubungi gue. Kayaknya gue harus bener-bener move on. Gue bakal marah banget kalau habis ini lo ngejar gue."

Sahara langsung pergi setelah mengucapkan kalimat itu. Mungkin kelihatannya sepele, tapi ini adalah masalah besar bagi Sahara. Jiwa sudah melanggar janjinya pada Sahara.

Sahara mengeluarkan hpnya dan mencoba menghubungi Zanna. Ia butuh teman bercerita. Tapi, Zanna tak kunjung menjawab panggilan telfon Sahara. Tak habis akal, Sahara mencoba menelfon Adit. Ia hanya ingin bercerita saat ini. Terserah kepada siapa.

"Adit!" ucap Sahara sambil terisak setelah panggilan telfon tersambung.

"Lo kenapa? Kenapa kedengerannya kayak lagi nangis?" tanya Adit khawatir.

"Jiwa, Dit," Sahara kali ini benar-benar menangis pada Adit.

"Bentar, gue otw ke rumah lo," ucap Adit sambil memutuskan sambungan telfon.

Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang