"Pokoknya, lo harus bantu gue balas dendam ke Jiwa," ucap Sahara sambil melayangkan tangannya di udara kosong.
Pokoknya, Sahara tidak terima sudah diperlakukan oleh Jiwa seperti ini. Kalau Jiwa bisa jalan dengan cewek lain, Sahara mah juga bisa. Jangan harap Sahara akan mengalah begitu saja.
"Udahlah Sa, kalau putus ya putus aja. Ngapain pakai acara balas dendam segala?"
Zanna yang sedari tadi mendengar ocehan Sahara pun mulai pusing mendengarnya. Dari sebelum kuliah dimulai, sampai jam kuliah sudah habispun Sahara tidak ada hentinya menyebut perihal balas dendam untuk Jiwa. Ternyata manusia bisa selucu ini, saat berpacaran mereka bertindak akan hidup berdua selamanya. Saat putus seperti ini, bisa-bisanya mereka saling menyumpahi dan bermusuhan satu sama lain.
"Pokoknya gue harus balas dendam,"ucap Sahara yang tekadnya sudah sangat bulat.
"Tuh, si mas mantan. Balas dendam sana." Zanna mengompori Sahara sambil menunjuk-nunjuk Jiwa yang berjalan bersisian dengan Lila.
"Bukannya ngebujuk gue, bisaa-bisanya di malah ngampus bareng Lila," kesal Sahaara sambil mengikat rambutnya. "Lo! Temenin gue."
Zanna yang hampir ditarik Sahara segera melepaskan tangan Sahara. Serius, Zanna tidak mau merusak citra baik yang sudah ia bangun selama ini hanya karena ikut-ikutan Sahara. Bukannya tidak setia kawan, hanya saja bagi Zanna akibat dari hal ini bisa menghancurkan semua mimpinya. Zanna memang menganggap Sahara sahabatnya, tapi Zanna tidak akan mau melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri, sekalipun Sahara memberi label tidak setia kawan padanya.
"Sa, lo ngerti kan kenapa gue nggak mau," cicit Zanna.
Ah iya, benar saja, untung Zanna mengingatkan, kalau tidak Sahara mungkin sudah merusak mimpi sahabatnya ini. Tidak mudah bagi Zanna untuk sampai di titik ini. Sahara sangat tahu apa saja hal yang sudah dilewati Zanna untuk mimpinya.
"Oh iya, lo duluan aja. Nggak baik calon Miss Indonesia ikutan ribut sama gue," ucap Sahara santai sambil merangkul bahu Zanna.
"Sa, lo nggak marah, kan?" tanya Zanna taku-takut. Karena jujur saja Zanna tidak bisa berhenti berteman dengan Sahara hanya karena hal sepele ini. "Yakin nggak papa gue tinggal?"
"Santuy ceunah," Sahara memilin ujung rambutnya dengan jari telunjuk tanpa melepas rangkulannya pada Zanna. "Duluan aja, nggak papa. Bentar lagi Adit juga bakalan datang kok."
"Oke, gue duluan, ya." Zanna menepuk punggung Sahara pelan. "Semangat!" ucapnya sambil menunjukkan kedua tinjunya pada Sahara.
"Thankyou, thankyou!"
Setelah Zanna pergi, Sahara menatap kesal punggung Jiwa yang berjalan bersisian dengan Lila. Pokoknya Sahara tidak terima, mereka baru saja putus. Jiwa harusnya membujuk Sahara yang sedang merajuk, bukannya malah ngampus sama Lila.
Sahara memutar kepalanya, merenggangkan semua tubuhnya sambil berjalan. Jangan sampai ia mengalami cidera karena nekad melawan Jiwa. Dengan sengaja, Sahara menabrak Jiwa hingga membuat Jiwa terhuyung dan malah menyenggol Lila.
Bukannya puas dengan aksinya, Sahara malah dibuat makin kesal. Pasalnya, Jiwa malah refleks menahan Lila dan menyenggol Sahara hingga membuat Sahara terhuyung dan jatuh. Fix, ini senjata makan tuan.
"Lo nggak papa?" tanya Jiwa pada Lila yang saat ini ia rangkul.
Sahara makin gondok mendengar pertanyaan Jiwa. Hellooo, di bawah sini ada Sahara, loh!
"Sorry, gue sengaja!" ucap Sahara dengan penuh penekanan sambil melotot. Tak mau diam saja, Sahara segera bangkit untuk berdiri kembali.
Jiwa langsung melepaskan Lila saat mendengar suara Sahara. Sumpah demi apapun ia tidak tahu kalau yang menabraknya tadi adalah Sahara.
"Sa, lo nggak papa?" tanya Jiwa sambil memegang kedua tangan Sahara sambil menatap khawatir.
"Telat!" teriak Sahara sambil menghempaskan tangan Jiwa.
Sahara langsung pergi setelah menampar Jiwa dengan rambut yang saat ini ia kuncir. Sahara makin kesal, moodnya semakin hancur. Jangan harap setelah ini Jiwa akan mudah mengajak Sahara balikan.
Jiwa segera meninggalkan Lila dan menyusul Sahara. Bisa terjadi perang dunia ketiga jika Jiwa tidak membujuk Sahara sekarang. Saat sudah berada di samping Sahara, Jiwa menarik ikat rambut gadis itu hingga membuat Sahara menoleh padanya.
"Apa lo?!" ucap Sahara emosi.
"Jangan marah-marah, Sa," balas Jiwa dengan tenang.
"Nggak bisa! Kalau nggak mau denger gue marah-marah, pergi sana! Sama Lila!" Sahara kembali melanjutkan langkah kakinya meninggalkan Jiwa.
Jiwa jelas tersenyum senang. Sahara saat ini sedang cemburu. Berarti ucapannya kemarin saat di rumah Jiwa tidak serius. Jiwa kembali mengejar Sahara sambil tersenyum.
"Sa, udah dong marahnya." Jiwa kali ini mencoba membujuk Sahara.
"Nggak mau!"
"Kalau lo nggak marah lagi, gue beliin jajanan deh, sepuas lo," tawar Jiwa. "Kalau lo ngambek, nggak ada yang bisa gue nyanyiin tiap malam. Nggak ada yang bisa gue ajak video call, lo emang nggak kangen gue?"
"Urusan gue gitu? Lo mau nyanyi buat siapa, lo mau video call sama siapa, bukan urusan gue!"
"Gue kangen lo, Sa." Jiwa saat ini sudah berdiri di hadapan Sahara dan menatap wajah Sahara yang memerah karena terbawa emosi.
Jiwa menatap Sahara lama. Sudah lama rasanya ia tidak menatap Sahara sedekat ini. Hubungan mereka yang amburadul beberapa hari ini menjadi penyebabnya.
"Sa, balikan aja yuk," ucap Jiwa. "Udahan marahnya, kita damai aja."
Sahara menatap Jiwa sambil mengkerutkan keningnya. Tapi, walaupun keningnya berkerut, dalam hatinya Sahara merasa senang. Akhirnya, Jiwa mengajaknya berbaikan. Tapi, tidak semudah itu ferguso. Sahara akan buat Jiwa mengerahkan seluruh effortnya dulu, baru Sahara mau.
"Strawberry, mangga, lemon," ucap Sahara sambil menatap Jiwa. "Sorry, nggak gamon."
Sahara menabrak bahu Jiwa dan melanjutkan perjalanannya. Sepertinya Adit sudah ada di depan, soalnya hp Sahara bergetar sedari tadi. Sahara harus bergegas sebelum Adit kehabisan kesabaran dan meninggalkannya.
Sambil berjalan, Sahara menatap telapak tangannya yang merah akibat terjatuh tadi. Sepertinya sesampainya di rumah Sahara harus merengek pada ayahnya sambil menunjukkan tangannya yang cidera. Sahara sudah tidak punya Jiwa lagi untuk tempat merengek karena hal sepele.
"Dit, liat tangan gue," ucap Sahara menyodorkan tangannya agar Adit bisa melihat tangannya yang memerah.
"Kenapa merah-merah gitu?" tanya Adit sambil menyentuh tangan Sahara. "Rasanya panas nggak?"
Sahara mengangguk sambil memanyunkan bibirnya. Sudah dibilangkan sebelumnya, kalau Sahara itu lebay. Perihal hal kecil saja bisa jadi besar karena ulahnya.
"Nih," Adit menyodorkan minuman dingin yang baru ia keluarkan dari tasnya dan menuntun tangan Sahara agar memegang minuman dingin tersebut. "Biar tangan lo nggak panas."
"Boleh diminum, nggak?" tanya Sahara.
Adit mengangguk tanda setuju. "Kita mau kemana dulu?"
Bukannya langsung menjawab pertanyaan Adit, Sahara malah menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Jiwa masih mengikutinya atau sudah pergi. Dan ternyata, Jiwa masih di belakangnya. Tidak terlalu jauh dari posisi Sahara saat ini.
"Langsung pulang aja," jawab Sahara.
Seperti sebelumnya, tanpa disuruh, Adit memasangkan helm ke kepala Sahara. Tak mau berlama-lama, Sahara segera naik ke boncengan Adit. Dan tentunya, sebelum Adit benar-benar tancap gas, Sahara masih menyempatkan diri untuk mencibir pada Jiwa yang masih berdiri di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya, Move On? (SELESAI)
Fiksi RemajaAwalnya cuma pura-pura mau move on. Eh, ternyata malah dipaksa move on beneran. Start : 22 Oktober 2022 Finish : 12 Desember 2022