"Ji, gue nggak mau pulang," rengek Sahara sambil menyandarkan pipinya ke bahu Jiwa. "Gue suka jalan-jalan sama lo."
Jiwa tersenyum dan menatap Sahara. Sepertinya bukan hanya Sahara yang suka jalan-jalan. Jiwa juga suka, tidak hanya jalan-jalan, ia menyukai segala hal yang berhubungan dengan Sahara.
"Untuk hari ini udah sampai di sini, kita udah pergi dari pagi."
"Tapi masih jam dua loh, Ji!" Bukan Sahara namanya kalau tidak merengek.
Jiwa mengusap puncak kepala Sahara. Sudah hampir setengah jam mereka berdua tak kunjung turun dari mobil, padahal sudah berada di depan rumah Sahara.
"Ayo, gue antar," ucap Jiwa sambil melepas tangan Sahara.
Saat Jiwa keluat dari mobil, mau tak mau Sahara harus turun juga. Saat Jiwa membukakan pintu, Sahara langsung berdiri dan bergelantungan di tangan Jiwa. Tak menyerah begitu saja, Sahara masih merengek pada Jiwa.
"Ji, besok kita harus jalan-jalan lag ... gi," ucap Sahara melemah saat melihat tamu yang sedang berbicara dengan ayah dan ibunya.
"Assalamualaikum om, tante, ini aku mau antar Sahara pulang," ucap Jiwa.
Sahara langsung meremas tangan Jiwa. Perasaannya tidak enak, melihat siapa tamu yang memandang Jiwa dengan tatapan bingung. Ia menatap wajah Jiwa yang masih tersenyum.
"Iya, Jiwa. Makasih ya." Ayah Sahara langsung berdiri dan merangkul bahu Jiwa seolah mereka adalah teman akrab.
"Aku langsung pulang aja Om, Tante," pamit Jiwa sambil menyalami ayah dan ibu Sahara bergantian.
"Ayo, ke depan sama Om," ajak Ayah Sahara tetap merangkul bahu Jiwa.
"Ji," rengek Sahara sambil memegang lengan Jiwa.
"Gue pulang ya, nanti kalau udah sampai rumah gue kabari."
Sahara akhirnya mengangguk pasrah. Ia membiarkan Jiwa menepuk puncak kepalanya sejenak sebelum pergi. Kemudian menatap punggung Jiwa yang menjauh bersama ayahnya.
"Hati-hati, ya! Jalan di depan rumah Tante Ica kayaknya masih ada lubang!" teriak Sahara.
"Ehm, Sa, kamu duduk dulu sini," ucap Ibu sambil menepuk ruang kosong yang ada di sampingnya.
Sahara meringis kecil, sedikit merasa tidak enak pada Adit dan orang tuanya yang memperhatikan dirinya dan Jiwa sedari tadi. Ia segera mengambil tempat di samping ibunya sambil melemparkansenyum pada mama dan papa Adit.
"Pacar kamu, Sa?" tanya Mama Adit.
Sahara tersenyum malu. "Hehe." Sahara hanya membalas dengan tawa.
"Bukan, temenan doang mereka mah," sela ibu membuat Sahara melotot tidak terima.
"Baguslah, jadi acara pertunangan Sahara dan Adit berarti bisa dilanjutkan." Kali ini, Papa Adit yang buka suara.
Sahara terkejut mendengar ucapan itu. Ia menatap satu-persatu orang di sekelilingnya. Terakhir, Sahara menatap Adit yang memalingkan wajah. Sahara kira, rencana ibu dan Mamanya Adit hanya sebuah gurauan belaka. Sahara tak menyangka jika ucapan mereka memang seserius ini. Sampai-sampai sudah menentukan acara tunangan.
"Ibu, maksudnya apa, ya?" ucap Sahara ingin memastikan.
"Kamu akan tunangan sama Adit."
Sahara makin terkejut. Ia seolah sedang tersambar petir di siang bolong seperti ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja sudah menetukan acara tunangan. Bahkan, Sahara tidak pernah ditanya setuju atau tidak.
"Ibu bercanda?!" tanya Sahara dengan suara yang tidak bisa ia kontrol lagi.
Padahal, ibunya orang yang paling tahu hubungan Sahara dan Jiwa. Bagaimana Sahara sangat menyayangi Jiwa. Sebesar apa cinta Sahara pada Jiwa. Ibu adalah orang yabg paling tahu itu. Tapi, kenapa? Kenapa malah bersikeras untuk menjodohkan Sahara dan Adit? Sahara merasa dikhianati sekarang.
"Sa, sabar dulu." Ayah langsung duduk di sebelah Sahara dan memegang pundak anak semata wayangnya itu.
Mata Sahara sudah memerah sekarang. Ia masih tidak menyangka ibunya akan bertindak sejauh ini tanpa persetujuan Sahara. Padahal, Ibu tahu sendiri apa yangmembuat Sahara bahagia.
"Ibu sama ayah punya hutang berapa banyak sama keluarga Adit?" tanya Sahara.
Hanya itu satu-satunya alasan yang membuat ibu mengambil keputusan sebesar ini sampai mengorbankan anaknya. Atau, jangan bilang ini perjanjian konyol ibu dan Mama Adit waktu masih muda. Sahara tidak akan menerimanya begitu saja.
"Nggak ada, Sa. Ibu kamu nggak ada hutang apa-apa," jawab Mama Adit.
"Terus kenapa?" tanya Sahara lemah sambil menatap ibunya.
"Ibu cuma mau liat kamu bahagia sama adit."
Sahara tersenyum miring. Bahagia dari mananya. Yang ada, Sahara akan merasa tertekan. Padahal ibu tahu apa yang membuat Sahara bahagia. Tapi kenapa malah memaksakan kehendaknya pada Sahara?
"Ibu pasti tau apa yang bisa bikin aku bahagia," ucap Sahara kemudian bangkit dari tempatnya meninggalkan tamu-tamunya yang menatap Sahara.
"Adit permisi Tante, mau ngomong sama Sahara." Adit lalu bangkit dan menyusul Sahara.
Adit berlari, berusaha mengejar Sahara yang berjalan dengan cepat. Ia meraih tangan Sahara agar gadia itu berhenti dan mau berbicara dengannya.
"Ra," ucap Adit sambil menahan tangan Sahara.
"Kenapa jadi gini, Dit? Dulu lo bilang bakal batalin perjodohannya kalau udah waktunya. Sekarang, kenapa malah gini?" tanya Sahara dengan suara yang sarat akan kekecewaan.
Adit menelan ludahnya sambil menatap punggung Sahara. Adit juga tidak tahu kenapa malah jadi seperti ini. Adit tidak tahu kenapa ia malah meminta mama dan papanya untuk melanjutkan acara perjodohan ini. Adit juga tidak tahu kenapa ia semudah ini melupakan Azura dan jatuh cinta pada Sahara yang baru dikenalnya.
"Ra, gue yang minta," ucap Adit mengakui.
"Dulu lo bilang, lo punya Azura. Gue bisa tenang, nggak perlu khawatirin perjodohan ini. Tapi kenapa sekarang malah berubah?"
Adit memeluk Sahara dari belakang. Sebenarnya, ia tidak tega membuat Sahara terbebani dengan ini semua. Tapi, kali ini Adit hanya ingin egois untuk mempertahankan Sahara di sisinya.
"Lo bohongin gue, Dit." Air mata Sahara mulai mengalir.
Bukan hal yang biasa bagi Sahara jika ada orang yang berkhianat. Lingkup kehidupan sosialnya sudah ia perkecil untuk mengurangi resiko jika ia dikhianati. Tapi tetap saja, Sahara merasa dikhianati saat ini. Dan yang mengkhianati adalah ibunya sendiri.
"Gue cuma mau lo bisa sama gue, Ra," jelas Adit.
Sahara melepas pelukan Adit dan berbalik badan untuk menatap cowok ini. Ia sedikit tidak menyangka, Adit yang ia kenal ternyata seperti ini aslinya.
"Lo egois, Dit."
Adit menunduk, tak berani menatap mata Sahara. Ia tahu, ia salah. Tapi, Adit tidak akan menyerah begitu saja. Sahara terlalu berharga untuk ia lepaskan begitu saja.
"Lo tau kan, siapa yang udah ngisi hati gue? Dan lo masih maksain diri buat masuk?"
"Gue masih usaha buat gantiin posisi dia, Ra," jawab Adit.
Sahara tertawa meremehkan. Apa yang ia dengar barusan? Usaha? Inj bentuk usaha Adit?
"Lo licik, Dit." Sahara berbalik badan, ia muak melihat wajah Adit. "Sekarang gue ngerti kenapa Azura milih buat nyerah gitu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya, Move On? (SELESAI)
Ficção AdolescenteAwalnya cuma pura-pura mau move on. Eh, ternyata malah dipaksa move on beneran. Start : 22 Oktober 2022 Finish : 12 Desember 2022