25. Balikan, Ya?

161 35 4
                                    

Tentengan makanan yang ada di tangannya, membuat Jiwa tersenyym kecil. Sambil memperhatikan Sahara yang berjalan kian kemari membeli jajanan di taman favorit mereka, Jiwa juga mengabadikan momen tersebut dengan hpnya. Ya walaupun, status mereka sekarang tidak jelas, tapi entah kenapa Jiwa merasa hubungan mereka makin kesini malah makin terasa manis.

"Katanya lo diet?" Pertanyaan retoris dari Jiwa hanya dibalas lirikan sinis oleh Sahara yang sedang memilih buah apa yang akan ia beli.

"Habis ini, gue diet habis ini," ucap Sahara sambil menarik tangan Jiwa yang memakai jam tangan. "Gue mulai diet jam setengah empat."

Sahara membayar buah yang ia beli dan pergi meninggalkan Jiwa berjalan di belakangnya. Setelah memindai tempat yang cocok untuk duduk, Sahara segera mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di pinggir taman.

"Lo nggak kangen gue, Sa?" tanya Jiwa sambil meletakkan semua makanan yang sudah dibeli Sahara.

"Nggak, ngapain? Kan udah jadi mantan," jawab Sahara dengan enteng sambil memakan buah potong yang sudah ia beli.

Tentu saja Sahara berbohong. Mana mungkin ia tidak merindukan Jiwa, bahkan saat melamun pun bibirnya selalu menggumamkan nama Jiwa. Tiada satu haripun Sahara tidak merindukan Jiwanda Erlangga, sang mantan terindah.

"Yakin? Sedikitpun nggak kangen gue?" tanya Jiwa lagi untuk memastikan.

Bukannya menjawab pertanyaan Jiwa, Sahara malah memasukkan melon yang sudah ia gigit sebelumnya ke mulut Jiwa. "Nggak usah banyak tanya!"

Jiwa mengunyah melon yang ada dalam mulutnya sambil menatap  Sahara dengan senyum menghiasi wajahnya. Ternyata, mengajak Sahara untuk bertemu tidak sesulit yang ia bayangkan. Gadis yang katanya ingin move on itu langsung setuju bertemu dengannya setelah Jiwa iming-imingi dengan jajanan taman.

"Lo nggak ada niatan balik sama gue?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jiwa, Sahara tanpa sengaja menggigit bibirnya saat mengunyah buah yang masih ada di dalam mulutnya. Sambil merungut, Sahara memegang bibirnya dan menatap Jiwa dengan kesal.

"Bibir gue kegigit," ucap Sahara sambil menarik bibirnya untuk memperlihatkan bagian yang tergigit pada Jiwa.

"Mana?" tanya Jiwa mendekat untuk melihat bibir bagian dalam Sahara yang berdarah.

Sahara semakin menarik bibirnya untuk memperlihatkannya pada Jiwa. Wajarlah ya, namanya juga Sahara. Kalau nggak lebay, nggak bisa hidup. Hanya orang-orang terpilih seperti Jiwa yang bisa menghadapinya.

"Fuuh." Jiwa meniup bibir Sahara yang berdarah itu. "Cup."

Sahara membulatkan matanya dan langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Ini serangan mendadak, tidak ada aba-aba apapun dari Jiwa sebelumnya. Sahara langsung memlerhatikan sekelilingnya, sambil berharap tidak ada satupun orang yang memperhatikan mereka. Dan untungnya, taman cukup sepi di jam segini karena matahari masih terlalu terik untuk orang tua yang ingin mengajak anaknya bermain.

"Langsung sembuh, kan?" tanya Jiwa sambil tertawa dan memamerkan eye smile miliknya.

Sahara langsung meninju lengan Jiwa sambil tetap menutupi mulutnya dengan tangan yang satunya lagi. Laki-laki di hadapannya ini selalu sukses membuat detak jantungnya tidak karuan.

"Lo mau mati?" tanya Sahara dingin.

Jiwa hanya merespon dengan tawa sambil mengacak rambut di puncak kepala Sahara. Double kill, tolong tahan Sahara agar tidak mengajak Jiwa balikan sekarang. Setelah mencium, kali ini Jiwa mengacak puncak kepala Sahara. Ini orang benar-benar, ya!

"Andai pas kita pacaran dulu lo kayak gini, gue pasti seneng banget," ucap Sahara sambil menurunkan tangannya dan mulai memakan cilor yang tadi sudah ia beli. "Sayangnya lo udah jadi mantan."

"Jadi kemarin itu kita putus beneran, ya?" tanya Jiwa sambil membersihkan sudut bibir Sahara yanv terkena saus.

Secepat kilat, Sahara segera menepis tangan Jiwa. "Menurut lo?!" jawabnya sambil memelototkan matanya pada Jiwa.

"Nggak."

"Enak banget mulut lo ngomong!" kesal Sahara sambil mendorong wajah Jiwa.

Jiwa lagi-lagi tertawa karena Sahara yang mudah terpancing. Mood gadis ini sangat mudah berubah. Padahal tidak sampai tiga puluh menit dari saat ia membeli banyak makanan ini dengan gembira. Sekarang malah sudah marah-maeah tidak jelas.

"Lo mau tau nggak, kenapa gue kemarin marah banget sama lo?" tanya Jiwa.

"Lo pikir gue nggak marah sama lo?" Sahara malah menyerang Jiwa dengan pertanyaan.

"Balikan aja, yuk?"

"Oh, tidak semudah itu ferguso," tolak Sahara dengan jantung berdebar.

Jiwa langsung menghela napas kasar. Tidak akan ada pertanyaan yang langsung mendapat jawaban disini. Jika benar-benar ingin sebuah jawaban yang tepat, Jiwa harus ekstra sabar menghadapi Sahara yang keras kepala.

"Oke, lo marah sama gue," ucap Jiwa mengalah. "Terus, penyebabnya apa?"

"Menurut lo aja, gue males banget bahasnya," ucap Sahara diiringi kunyahan yang terdengar kuat pertanda ia sedang kesal.

"Lila lagi, ya?" tanya Jiwa dengan penuh hati-hati.

Sahara hanya diam, tak menjawab pertanyaan dari Jiwa. Tapi, bisa didengar sangat jelas oleh Jiwa suara kunyahan Sahara semakin besar. Lebih tepatnya, Sahara sedang menggertakkan giginya saat ini.

"Lo salah paham, Sa." Jiwa menarik napasnya panjang sebelum bercerita dengan lengkap pada Sahara. "Lila itu cuma temen, lo nggak perlu mikir yang aneh-aneh."

"Gue sama lo dulu juga temenan karena lo adiknya Kak Zia," jawab Sahara tak mau menerima alasan dari Jiwa.

"Iya, tapi lo beda. Lo spesial, makanya lo nggak usah mikir yang aneh-aneh tentang gue sama Lila."

"Lo pikir gue martabak? Pakai spesial segala."

Tentu saja Sahara yang keras kepala tidak akan mengalah begitu saja. Malah, ia semakin sengaja membuat masalah agar Jiwa membujuknya.

"Oke, lo maunya sekarang gimana?" tanya Jiwa dengan suara yang sedikit mengusik indra pendengaran Sahara.

"Oh, lo ceritanya lagi kesel, nih?" tanya Sahara dengan nada yang menjengkelkan. "Sorry deh, gue bukan Lila yang bisa baik-baikin lo terus."

Jiwa mengusap dahinya. Tak habis pikir dengan Sahara yang terus-terusan memperkeruh suasana. Ini Jiwa lagi mau ngajak berdamai loh, ini kenapa si Sahara malah ngajak perang. Untung Jiwa masih sayang.

Sahara menarik tangan Jiwa untuk melihat jam. "Jam tiga nol-nol, gue bakal move on."

"Terserah, Sa. Suka-suka lo aja, dunia ini punya lo, kok," jawab Jiwa pasrah.

"Nggak jadi deh, gue move on nya sekarang aja." Sahara segera bangkit dari duduknya dan mengambil jajanannya yang masih banyak belum ia makan. "Bye!"

Sahara pergi meninggalkan Jiwa dengan jantung yang berdebar. Dalam hatinya, ia berharap Jiwa menahannya sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan Sahara. Ia berjalan pelan dengan sengaja sambil harap-harap cemas Jiwa akan menahannya untuk pergi.

Tapi nihil, Sahara tak kunjung dihampiri Jiwa. Hal ini tentu saja langsung membuat hati Sahara mencelos. Jiwa tidak mengejarnya dan tidak berusaha untuk membujuknya.

Ternyata, selama ini Sahara terlalu berlebihan berharap pada Jiwa.

Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang