Sahara melempar tasnya ke sembarang arah sesaat setelah membanting pintu kamarnya. Ia membanting tubuhnya ke atas kasur dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Sahara benar-benar butuh tempat bercerita sekarang. Tapi, pada siapa ia akan bercerita? Zanna sudah jelas sibuk dengan kontes-kontes kecantikannya. Jiwa? Sahara tidak mau berbicara dengan Jiwa untuk sementara, hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja.
Dada Sahara terasa sesak, ia ingin menangis, tapi tidak bisa menangis. Semua yang ia rasakan saat ini sangat membebani perasaannya.
Sahara segera bangkit, mencari hadiah ulang tahun dari Jiwa. Diraihnya kaktus dan buku yang terletak di atas meja. Bagaimanapun, hari ini Sahara harus menangis agar rasa sesak di dadanya dapat keluar.
"Pokoknya harus nangis," tekad Sahara sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
"Tuan kaktus, tolong kerja samanya," ucap Sahara sambil menatap kaktus yang sekarang ada di tangannya.
Sahara menelungkup dan meletakkan kaktus pemberian Jiwa di sampingnya. Ia mulai membalik halaman scrapbook yang berisi foto dirinya dan Jiwa yang tertempel di sana.
Masih dengan kerandoman dan orang yang sama. Lama-lama rasanya gue juga ikutan random.
Bahagia datang semudah itu pas lagi sama lo. Bahkan, hal-hal kecil yang nggak berarti bisa bikin gue ketawa, selama itu sama lo, Sa.
Seberuntung itu gue dapetin lo.
Berbeda dengan reaksi sebelum-sebelumnya saat membaca caption yang ditulis Jiwa, kali ini Sahara malah menangis karena perpisahan yang akan menghadang mereka. Tulisan yang penuh cinta, memiliki vibes berbeda sesuai dengan mood seseorang.
Sahara menarik kaktus yang ada di sampinya dan menatap kaktus itu lama sambil menangis. "Ji, gue juga beruntung udah ngabisin waktu gue setahun belakangan sama lo."
Sahara menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangannya. Ia benar-benar berhasil masuk ke suasana mellow yang ia ciptakan sendiri.
"Gue cuma mau Jiwa." Sahara berbicara pada dirinya sendiri.
Suara ketukan pintu kamarnya membuat Sahara menegakkan kepala dan menghapus air matanya dengan kasar. Ia menoleh saat suara pintu terbuka, sialnya Sahara lupa mengunci pintu sebelum menangis seperti ini.
"Kamu kenapa?" tanya ayah sambil menghampiri Sahara.
Sahara segera duduk dan menghapus air matanya. Ia membiarkan ayahnya duduk di sampingnya sambil mengenyahkan rambut yang menempel di pipinya.
"Jiwa, Yah." Sahara langsung menangis memeluk ayahnya. Pantang bagi Sahara jika tidak menangis saat ditanya 'kenapa'.
"Maunya tetap sama Jiwa, ya? Sama Adit nggak mau?"
Sahara menggeleng dalam pelukan ayahnya. "Tetap mau sama Jiwa."
Ayah mulai mengusap puncak kepala Sahara. Ia menghela napas agak keras karena Sahara yang masih bersikeras dengan pilihannya. Begitu juga dengan Ibu Sahara yang tetap bersikeras menjodohkan Sahara dengan Adit. Ayah yang berada di antara mereka tidak tahu harus melakukan apa.
"Yah, Jiwa lukus beasiswa di Singapura masa," cerita Sahara.
"Bagus dong."
Sahara langsung melepas pelukan dan menatap ayahnya dengan tidak santai. Ia tidak bisa terima ayahnya malah senang mendengar kabar itu saat Sahara dibuat uring-uringan karena harus berpisah dengan Jiwa.
"Nggak bagus dong, Yah. Kalau Jiwa pergi ke Singapura, terus aku gimana?" ucap Sahara tidak terima. "Kalau aku larang, kira-kira Jiwa nurut nggak, Yah?"
Ayah Sahara tersenyum dan mengacak puncak kepala anak semata wayangnya itu. Umurnya saja yang sudah kepala dua, tapi pemikirannya masih terlalu kekanak-kanakan.
"Sahara, dengerin Ayah, ya." Ayah Sahara menjeda kalimatnya dan menatap Sahara serius. "Kamu boleh cinta sama Jiwa, sayang sama Jiwa, tapi kamu nggak boleh ngatur hidup dia."
Sahara menghela napas pelan, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu itu, Sahara tidak mungkin mengatur hiduo Jiwa. Tapi, ada sedikit ego dalam dirinya untuk mempertahankan Jiwa tetap berada di sisinya.
"Jiwa juga punya cita-cita, punya orang tua yang harus Jiwa buat bangga. Kamu nggak bisa nahan Jiwa untuk tetap di sisi kamu. Kamu udah nggak di usia buat nahan orang lain sesuai kemauan kamu."
Sahara mencebik, kesal dengan ucapan sang ayah. Tapi, Sahara juga tidak memungkiri kalau ia setuju dengan ucapan ayahnya.
"Tapi aku juga nggak mau dipaksa sama Adit."
"Nggak ada salahnya kan, kalau coba jalani dulu? Kamu yakin bisa jalani hubungan jarak jauh sama Jiwa? Yakin hubungan kalian mulus-mulus aja?"
"Ayah nggak boleh ngomong gitu!" Sahara menutup mulut ayahnya dengan kedua tangannya.
Jangan sampai malaikat mendengar ucapan ayahnya dan mencatatnya sebagai antrian ucapan yang dijadikan doa. Sahara takut itu terkabul dan tidak terbayangkan hidupnya tanpa Jiwa.
"Yah, aku kuliah di Singapura sama Jiwa boleh?" tanya Sahara asal.
"Nggak boleh." Ayah langsung menjawab dengan tegas. "Anak ayah sama ibu itu cuma kamu, Sa. Kalau kamu di Singapura malah kenapa-kenapa gimana? Bisa gila ibu sama ayah."
Sahara sedikit terenyuh mendengar fakta yang satu itu. Sahara tidak akan mungkin dilepas hidup sendiri.
"Pas digigit nyamuk aja kamu malah ngerengek, gimana kalau hidup sendirian di negeri orang?"
"Kalau gitu, aku hidup di sana berdua sama Jiwa, aja," ucap Sahara asal. "Yah, aku nikah sama Jiwa, ya?"
Ayah Sahara langsung syok mendengar pertanyaan Sahara. Perasaan baru kemarin ia nenimang Sahara dan mendengar Sahara memanggilnya ayah untuk pertama kalinya. Sekarang anak semata wayangnya ini sudah membahas pernikahan saja. Ternyata waktu berjalan secepat itu.
"Kayak Jiwa mau aja." Hanya ini yang bjsa dijawab oleh Ayah Sahara.
"Oke fix, ayah kayaknya ada di tim ibu."
Sahara segera mangkit dan menarik ayahnya untuk berdiri dan mendorong ayahnya keluar. Bukannya mendukung Sahara, ayahnya malah mencoba membujuk Sahara berkedok memberikan nasihat.
"Ayah nggak di tim siapa-siapa, Sa."
"Ayah keluar aja, ngomong sama ibu aja. Aku mau ngomong sama Jiwa aja."
Setelah berhasil mendorong ayahnya keluar, Sahara menutup pintu dan berlari meraih hpnya. Ia butuh Jiwa, ia harus mengadu pada Jiwa. Masa bodoh dengan hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Lagian, kalau Sahara merengek, Jiwa akan tetap meresponnya.
Tapi, sayangnya Jiwa tidak mengangkat telfon dari Sahara. Kesal, Sahara langsung membanting hpnya ke sembarang arah dan berujung mendarat di lantai.
Sadar akan kebodohannya, Sahara segera menghampiri hpnya yang sudah tergeletak di atas lantai. Sahara langsung merengek saat melihat layar hpnya yang retak akibat ulahnya sendiri.
"Jiwa, lo nggak boleh gini," rengek Sahara sambil mengusap layar hpnya.
Tak lama kemudian, hp Sahara bergetar karena ada panggilan dari Jiwa. Segera, Sahara langsung menerima panggilan itu dan langsung merengek memanggil nama Jiwa.
"Jiwa...."
"Iya, kenapa?" tanya Jiwa dari seberang sana.
"Masa layar hp gue retak," ucap Sahara sambil berbaring di atas lantai.
"Kenapa bisa retak?"
"Gara-gara lo nggak angkat telfon gue. Gue pikir lo emang nggak mau ngomong sama gue," rengek Sahara.
"Padahal gue nggak angkat gara-gara lagi di kamar mandi."
Dan percakapan terus mengalir dengan rengekan Sahara sebagai topik utamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya, Move On? (SELESAI)
Ficção AdolescenteAwalnya cuma pura-pura mau move on. Eh, ternyata malah dipaksa move on beneran. Start : 22 Oktober 2022 Finish : 12 Desember 2022