23. Usaha Adit

154 34 5
                                    

Adit membantu Sahara melepaskan helm yang masih terpasang di kepala gadis itu. Ya..., walaupun manja dan sedikit lebay, jangan kira Sahara yang meminta Adit melakukan hal-hal seperti ini untuknya. Ini murni keinginan dari Adit sendiri. Sahara tidak merepotkan sama sekali kok.

"Lo langsung pulang? Nggak mampir dulu?" tawar Sahara sambil mengenyahkan rambut yang menempel di wajahnya.

"Mampirlah, masa enggak," jawab Adit ikut membantu Sahara memindahkan rambut yang menempel di pipi Sahara ke belakang telinga gadis itu.

"Mau ngapain lo mampir segala?" tanya Sahara sambil menyipitkan mata, menatap Adit dengan curiga.

Adit menaikkan bahunya, menolak menjawab pertanyaan Sahara. Tanpa perlu dipersilakan tuan rumah, Adit melenggang masuk ke dalam mendahului Sahara yang merupakan tuan rumah.

"Ngapain lo?!" Sahara menarik kerah baju Adit dari belakang.

"Nggak peka lo, ah," decak Adit kesal.

Padahal belum sampai seminggu Adit mengutarakan perasaan sukanya, masa Sahara sudah lupa. Atau mungkin Sahara masih menganggap Adit bercanda? Sepertinya Adit harus membuktikan bahwa perkataannya malam itu benar adanya.

"Jangan aneh-aneh, pulang sana!" usir Sahara.

"Tadi ditawarin mampir?"

"Basa-basi doang itu!"

Sahara tak habis pikir dengan Adit. Kenapa mau-mau saja setiap hari ke rumah Sahara? Dia emang nggak punya kerjaan lain gitu? Oke, mereka memang berteman, tapi teman tidak mampir ke rumah hampir setiap hari. Adit bahkan lebih sering ke rumahnya dibanding Jiwa. Kan, Sahara malah teringat Jiwa lagi.

"Lagian lo di rumah juga nggak punya teman kan?" tanya Adit.

"Iya juga, sih," jawab Sahara sambil memiringkan kepalanya dan melepaskan kerah baju Adit.

"Nah, kebetulan kalau di rumah, gue nggak punya teman juga."

Adit segera melenggang masuk ke rumah Sahara, meninggalkan Sahara yang masih bingung.

"Adit!" Sahara segera menyusul Adit ke dalam rumah.

Tak berniat mengganti baju terlebih dahulu, Sahara ikut duduk di sofa ruang tamunya bersama Adit. Sahara sebenarnya masih bingung dengan maksud dan tujuan Adit saat ini. Sebelum-sebelumnya, Adit datang ke rumah bersama mamanya dan pasti itu dipaksa oleh mamanya. Tapi kali ini, Adit mampir ke rumahnya dengan sukarela tanpa paksaan. Ada udang apa di balik semua bakwan ini, Sahara jadi curiga.

Sahara sibuk dengan ponselnya untuk membalas pesan dari Jiwa. Katanya aja sih yang mau move on, tapi Sahara masih membalas semua pesan dari Jiwa. Sesekali, ia melirik Adit yang menatapnya dengan aneh.

"Apa lo?!" tantang Sahara sambil melotot.

"Kenapa sih, lo marah-marah mulu, Ra?"

"Bawaan lahir," jawab Sahara cuek.

"Ra, udah gue bilangkan, kalau gue suka sama lo," ucap Adit frontal.

Sahara langsung mengernyitkan dahi dan menatap Adit julid. Ternyata malam itu Adit memang sadarkan diri, nggak ngawur sama sekali. Tapi, tetap saja, jika Sahara masih menginginkan Jiwa, seberapapun besarnya usaha Adit untuk membuatnya jatuh hati akan sia-sia.

"Gue masih suka Jiwa," jawab Sahara sembari menatap layar ponselnya lagi.

"Nggak lama lagi lo bakal suka gue juga," balas Adit dengan percaya diri.

"Dih, pede gila."

Adit tertawa, entah karena apa juga tidak jelas. Yang jelas, Adit hanya ingin tertawa. Ternyata, perpisahannya dengan Azura membawanya bertemu dengan gadis seperti Sahara. Dan perpisahan dengan Azura tidak sepagit yang ia kira.

"Ra, lo tau nggak? Kalau lo itu cantik?" tanya Adit random.

"Oh, jelas gue sadar."

Sahara berusaha untuk menjawab pertanyaan Adit secuek mungkin. Tapi, ekspresi wajahnya tidak bisa berbohong. Ujung bibirnya bergetar karena mencoba menahan senyumannya.

Faktanya, Sahara paling tidak bisa dipuji seperti ini. Hanya dengan pujian kecil, Sahara bisa salting brutal sepanjang hari. Dapat dipastikan setelah ini Sahara akan terus berada di hadapan cermin dan terus mengagumi dirinya sendiri.

"Kalau mau senyum, senyum aja. Nggak usah ditahan-tahan," usil Adit.

"Bwahahaha."

Bukannya tersenyum, Sahara malah tertawa keras. Ini terasa sedikit menggelikan untuknya. Kupu-kupu dalam perutnya terus mendesak untuk keluar.

"Keliatan banget lo jarang dipuji, pas pacaran sama Jiwa ngapain aja lo?"

"Bercocok tanam," jawab Sahara asal.

Semoga saja ibu tidak mendengar ucapan Sahara yang satu ini. Walaupun hanya sebuah candaan, tentu saja Sahara akan langsung dijewer oleh ibunya.

Saking tidak bisanya merespon jawaban Sahara, Adit langsung melempar bantal sofa ke wajah Sahara. Bisa-bisanya ada perempuan yang bisa bicara sangat frontal seperti Sahara.

"Adit!" teriak Sahara sesaat setelah bantal sofa mendarat di wajahnya.

Tak terima dengan lemparan Adit, Sahara bangkit dari duduknya dan menghampiri Adit. Ia memukulkan bantal yang ada di tangannya pada Adit berkali-kali.

Tak melawan sedikitpun, Adit hanya menghalangi bantal yang dipukul Sahara padanya agar tidak mengenai wajahnya. Karena Sahara tak kunjung berhenti memukulnya, kali ini Adit menahan tangan Sahara. Membuat Sahara terhuyung dan jatuh berlutut di sebelah Adit yang terbaring di sofa.

Sahara langsung menahan napasnya saat ia menatap mata Adit dari jarak sedekat ini. Jantung Sahara jadi berdebar lebih kencang dari biasanya. Berada sedekat ini dengan Adit membuat kupu-kupu yang ada di dalam perut Sahara jadi ribut.

"Nafas Ra, jangan sampai lo mati sebelum jadi pacar gue," ucap Adit yang membalas tatapan Sahara.

Sahara segera menghempaskan tangan Adit dan refleks tubuhnya mundur menjauhi Adit. "Aw!"

Adit langsung bangkit dan berlutut di hadapan Sahara yang punggungnya baru saja menabrak meja. Adit segera menggeser meja agar Sahara tidak membentur meja itu lagi untuk kedua kalinya.

"Kok sakit?" tanya Sahara dengan polosnya.

"Mana yang sakit?" tanya Adit.

Sahara manyun sambil memegang punggungnya yang membentur meja. Ia harus menceritakan ini pada ayahnya dan Jiwa setelah ini, pikirnya.

"Tadi itu bunyi apa?" tanya ibu yang keluar dari kamar karena suara benturan yang agak keras.

Sahara menatap ibunya sambil manyun. Bukan Sahara namanya kalau tidak lebay.

"Masa punggung aku nambrak meja, bu," ucap Sahara.

"Kenapa bisa?" Ibu segera menghampiri Sahara yang masih manyun.

Namanya juga anak tunggal, Sahara memang semanja ini. Ibu dan ayahnya pun memanjakan Sahara sedari kecil. Ya wajar kalau Sahara agak lebay, kena sedikit ributnya lama.

"Ibu nggak usah khawatir, aku mau cerita ke Jiwa aja," ucap Sahara sambil bengkit dengan tangan yang tetap memegang punggungnya.

Adit menatap Sahara dengan posisinya yang masih berlutut. Tidak habis pikir dengan Sahara yang masih mengingat Jiwa saat Adit berada di hadapannya juga mengkhawatirkan Sahara. Jiwa menarik napasnya berat setelah Sahara benar-benar pergi.

"Sabar ya," ucap Ibu Sahara sambil menepuk pelan pundak Jiwa. "Kamu masih bisa bikin Sahara berpaling, tante dukung kamu."

Adit mengangguk sambil tersenyum kecil. Kemudian ia juga bangkit dan menyandang tasnya. Saat ini Adit hanya ingin pulang.

"Adit pulang ya, Tan," ucap Adit sambil menyalami Ibu Sahara.

Setelah berpamitan, Adit langsung berbalik badan dan berjalan kekuar dari rumah Sahara. Memang sih, ia menyukai Sahara baru-baru ini. Tapi saat mendengar Sahara masih mencari Jiwa saat dirinya kesakitan, membuat Adit berkecil hati.


Katanya, Move On? (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang