🌄 Happy Reading 🌄
Paris.Duduk termenung di depan peti mati sang ayah, Yibo terus menundukkan kepala. Matanya sudah bengkak oleh tangisan yang masih mengiringi. Sementara para relasi dari pihak ayahnya terus berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa.
Dirinya yang sebagai tokoh terkenal serta sahabat sang ayah semasa hidup menjadikan tamu yang datang serta karangan bunga menjadi berlipat-lipat. Dia hanya bisa menerima ucapan berdukacita tanpa banyak kata balasan. Dia membiarkan pengurus rumahnya dan Carissa yang mengatur kondisi di rumah duka.
Mr. Vincent yang duduk di kursi sebelah hanya bisa memberikan kata-kata semangat agar pemuda itu lebih bisa menerima kenyataan. Lebih kuat dalam menghadapi perubahan hidup. Sebelah tangannya melingkar pada pundak si pemuda, memberikan tepukan lembut.
“Kuatkan dirimu. Ayahmu sekarang sudah beristirahat dengan tenang, terlepas dari penyakit yang menggerogotinya selama ini. Kematian sudah menjadi takdir yang tidak bisa kita hindari dalam hidup.”
“Terima kasih, Mr. Vincent,” suara sengau Yibo menanggapi perkataan produser film pemilik Ferris Picture.
“Kau harus sabar, ini ujian bagimu. Jangan biarkan dirimu terus terpuruk dalam kesedihan. Kau tidak sendirian. Kami ada bersamamu.”
“Hmm...”
Tepukan lembut itu kembali mendarat pada pundak Yibo.
Pemuda itu kembali diam, tenggelam dalam lamunan, bayangan selama ayahnya menjadi sosok orangtua yang begitu baik dan pengertian. Mendidiknya menjadi seorang anak yang cerdas dan berpendidikan tinggi, membebaskannya dalam memilih keinginan, baik itu pekerjaan atau kehidupan cintanya.
Ayahnya adalah seorang pengacara senior yang sudah tidak terlalu aktif, hanya sesekali menerima konsultasi dalam bidang hukum. Penyakit jantungnya membuat sang ayah memilih untuk beristirahat alih-alih terus menekuni pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan pikiran.
Sebagai seorang anak, Yibo menyewa perawat khusus untuk ayahnya. Dia sendiri tidak bisa selalu mendampingi setelah disibukkan dengan pekerjaan yang kadang mengharuskannya pergi ke luar wilayah. Terlebih ia sekarang memiliki rumah sendiri. Namun tetap ia selalu menyempatkan untuk datang mengunjungi ayahnya.
Malang tak dapat dihindari.
Ia benar-benar tidak menyangka ayahnya seakan tiba-tiba saja meninggalkannya. Dia masih begitu yakin karena saat itu mendengar suara ayahnya masih ceria, begitu ringan seolah tanpa beban. Ia merasakan penyesalan itu semakin menjadi dan menghancurkan hatinya.
Bagaimanapun kuatnya dirinya sekarang, kehilangan orangtua tetaplah merupakan satu kepedihan yang menyakitkan. Tidak ada lagi sosok yang memberinya wejangan dan omelan. Sekarang dia sendirian, seakan kehilangan pijakan. Ia bahkan sampai tak menyadari proses selanjutnya. Dia melakukannya dengan perasaan tak percaya dan akhirnya kini hanya bisa bersimpuh di makam sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕿𝖍𝖊 𝕭𝖊𝖆𝖚𝖙𝖞 𝖔𝖋 𝕿𝖜𝖎𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙 [𝕰𝖓𝖉] (Dibukukan)
RomanceTidak selamanya keindahan yang terlihat menunjukkan kedamaian. Terkadang, tersembunyi sesuatu hal yang tidak pernah terduga dibalik satu keindahan. Sebagai seorang penulis yang kadang langsung terjun untuk menjadikan tulisannya menjadi satu film, Wa...