🌄 Happy Reading 🌄
Seperti biasa, Sean menyelesaikan syuting tanpa kendala. Dibawah naungan gazebo putih, senyumnya tersungging puas. Sambil melepas topi koboi yang selalu menemaninya bekerja, jempolnya terangkat sebagai tanda bahwa semua sesuai keinginan. Kini ia menghempaskan punggung pada sandaran kursi.Gazebo itu didirikan di sisi kanal terusan anak sungai Sheine. Syuting terakhir itu diadakan di lingkungan Champs Elysees, diantara lingkaran lalu lintas Places de la Concorde, tidak jauh dari kaki menara Eiffel yang menjulang. Siang hari cukup terik sehingga Sean menggunakan kacamata hitam untuk melindungi pandangan.
“Aku senang melihatmu tersenyum. Sejak kembali dari Brittany, kau kehilangan senyumanmu.”
Marius bersuara seraya menyodorkan botol minum dingin.
“Hmm, akhirnya film ini selesai. Setelah ini aku ingin istirahat beberapa hari,” Sean menyambut botol dari tangan sang asisten.
“Mungkin kau perlu liburan, Sean. Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu.”
“Yeah – memang sedikit kacau.”
“Tentang Wang Yibo?”
Mendengar nama tersebut, Sean hanya bisa menghela nafas. Sejak pemuda itu pergi dari kamarnya malam itu, pikirannya benar-benar dibuat kacau balau. Dia khawatir padanya, namun ia sadar dirinya bukanlah siapa-siapa. Kehadirannya bahkan mungkin akan memperparah keadaan Wang Yibo.
Esok harinya ia langsung memutuskan untuk kembali ke Paris. Ia memilih tempat lain untuk menyelesaikan syuting filmnya. Ia berusaha mencari kabar tentang Yibo, namun setelah dari Brittany pemuda itu seakan menghilang. Tidak pernah muncul dalam berita apapun. Alhasil dirinya hanya bisa harap-harap cemas, berharap pemuda itu mampu mengatasi rasa sakitnya.
“Kau langsung diam ketika membahas tentang dia. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah waktu di Brittany kalian bertemu?”
“Pertemuan yang menyakitkan,” gumam Sean.
“Maksudmu?” Marius mengernyit bingung.
Sean tidak menanggapi. Dia kembali meneguk air dingin dan asam, berharap bisa menyegarkan segala sesuatu dalam dirinya. Dia tahu sudah tak bisa lagi membohongi diri sendiri. Sejak malam itu ia tidur memeluk tubuh si pemuda, sejak ciuman yang terjalin di pantai, hati dan pikirannya kini dipenuhi bayangan Yibo.
Sekali lagi menenggak dari botol, secara tak sengaja sudut matanya melirik salah satu pohon Kastanye yang berderet, bersisian dengan pohon Larch berdaun kuning.
Tiba-tiba saja matanya melebar. Ia nyaris tersedak minuman sendiri, terbatuk-batuk beberapa saat waktu satu sosok yang berdiri di bawah pohon Kastanye melambai padanya. Setelah meletakkan botol pada meja, ia membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung.
“Aku ke depan sana. Kau urus semuanya,” ia berpaling sekilas. Beranjak bangun tanpa menunggu jawaban Marius.
“Eh – kau mau kemana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝕿𝖍𝖊 𝕭𝖊𝖆𝖚𝖙𝖞 𝖔𝖋 𝕿𝖜𝖎𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙 [𝕰𝖓𝖉] (Dibukukan)
Roman d'amourTidak selamanya keindahan yang terlihat menunjukkan kedamaian. Terkadang, tersembunyi sesuatu hal yang tidak pernah terduga dibalik satu keindahan. Sebagai seorang penulis yang kadang langsung terjun untuk menjadikan tulisannya menjadi satu film, Wa...