Bagian 2

1.4K 112 4
                                    

SILAKAN VOTE, COMMENT, AND SHARE

WITH LOVE,

ME


BAGIAN 2


Mahasiswa Universitas Al Azhar itu berjalan kaki di bawah terik matahari yang sangat menyengat, peluh pun berkucuran. Ia tidak peduli lagi dengan keringat yang memandikan badannya siang ini, yang ia pedulikan adalah kitab-kitab yang penting untuk bahan belajarnya. Ia mengucap hamdalah dan tersenyum sepanjang jalan, wajah itu masih terlihat teduh di bawah terik yang menyiksa raga. Semua kitab yang dibutuhkan sudah ia dapat, rasa panas mengalahkan rasa syukur dan bahagianya hari ini.

Ia ingat sebuah janji pada umminya di rumah, di tanah air tercinta, bahwa tahun depan ia harus tamat kuliah dari Al Azhar dan kembali ke Jawa untuk mengabdikan diri di pesantren abahnya sendiri. Lalu setelah itu ia akan mencari sosok bidadari bumi yang hilang. Hilang? Rasanya tidak juga, bidadari itu masih ada di pulau yang sama dengan tempat tinggalnya. Dia yakin bidadari itu setia menunggunya sampai dia pulang, dan ia akan segera memutuskan untuk segera mengkhitbah gadis itu setelah mendapat izin dari kedua orangtuanya.

Lagi, ia teringat kata-kata umminya bahwa semua masnya menikah setelah lulus S2, sementara dia saja belum menyelesaikan S1-nya tahun ini, tapi sudah terpikir gadis pujaan hati. Artinya, apakah dia harus menunggu sampai 3 atau 4 tahun lagi?

Ia terus berjalan, jalan yang agak cepat dan terburu-buru. Lima belas menit kemudian ia memasuki Fakultas Ushuluddin, tempat dia menimba ilmu. Dia ada satu kuliah lagi hari ini, setelah itu dia bisa pulang ke flat tempat dia dan beberapa teman-teman seperjuangannya tinggal di Kairo.

Di lorong kelas ia bertemu dengan seseorang yang wajahnya sedikit tertekuk, ia menyapa dan bertanya kabar temannya itu. "Ada apa Hamid?"

"Aku terlambat, tadi ketiduran di perpustakaan dan lupa kalau masih ada kelasnya Syaikh Mustofa." Ucap Hamid penuh penyesalan. Ia melirik jam tangannya, " tinggal dua puluh menit lagi, Yas. Aku harus bagaimana?" tanyanya khawatir.

Ilyas menepuk lengan atas Hamid, "Mid, kamu ingat tidak saat seorang Syaikh yang mengisi kutbah Jumat pada pekan lalu?" tanyanya bersahabat.

Hamid terlihat berpikir.

"Syaikh itu bilang bahwa kita harus tetap mengejar ilmu, datang dan hadir walaupun sudah akan selesai lima atau satu menit lagi. Sebab, barangkali disitulah Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan rahmat dan kaberkahannya."

Hamid tersenyum dan bola matanya berbinar, "jadi aku masuk kelas Syaikh Mustofa saja, Yas?"

"Benar sekali. Dengan niat yang lurus semoga kamu memperoleh apa yang kamu mau," Ilyas menyakinkan Hamid.

"Jazakallah khairan akhi Ilyas."

Ilyas melambaikan tangan sembari menjawab, "amin, waiyyak." Ia pun berjalan menuju kelasnya sendiri yang lima menit lagi akan di mulai. Dia duduk di deretan tengah, ia segera menyiapkan buku dan juga catatan di atas mejanya, ia membaca doa meminta ilmu yang barokah lalu segera membaca ulang dengan singkat catatan hari sebelumnya. Ia membayangkan wajah abah dan umminya yang sudah sangat ia rindukan. Rencananya pada liburan semester ini ia akan pulang sebentar ke Jawa. Ia rindu suasana kampung halamannya, apalagi rumah dan pesantren yang abahnya dirikan.

Sebenarnya dia juga sedang rindu seseorang yang mungkin tidak penah tahu tentang perasaannya, Ilyas berusaha fokus belajar. Saat ini adalah saatnya ia harus fokus menimba ilmu sebanyak-banyaknya di negeri para Nabi, di lautan rahmat dan keberkahan, bukan malah memikirkan hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya untuk belajar.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang