Halwa merapikan semua barang-barangnya, memasukkan baju-baju ke dalam tas gendong yang cukup besar. Sebenarnya ia tetap ingin berada di sini, rasa nyaman dan damai sekali saat berada di lingkungan ini, suasana ini akan sulit ia temukan bila sudah kembali ke rumah pakdenya. Apa boleh buat, masa belajarnya sebagai santriwati di pesantren Hidayatul Firdaus sudah selesai. Semua teman-temannya bahkan sudah pulang ke rumah dan kampungnya masing-masing, hanya tersisa dia dan beberapa orang yang sedang mengaji kitab di waktu libur sekolah.
Ia merasakan kebahagiaan, kedamaian dan rasa aman serta tenang dalam lingkungan yang penuh cahaya ini. Menjadi penuntut ilmu adalah salah satu hal yang sangat ia syukuri. Ia mengingat masa-masa harus menghapal buku-buku bertuliskan bahasa Arab yang belum ia pahami, ia harus kerja keras dan ekstra sabar saat belajar bahasa Arab bersama Hafsah maupun Bu Nyai. Semua lelah dalam perjuangan itu mampu membuat dia mengubur rasa sedih dan sakitnya ditinggal keluarganya.
Halwa juga kembali mengingat saat-saat ia membantu para khadimah di pesantren ini, dengan suka rela ia menyalurkan tenaganya untuk menyiapkan makanan bagi ratusan santri di sini. Saat libur tiba, ia tidak pulang ke rumah pakde, ia turut mengaji kitab dengan belasan satri yang usinya beraneka ragam, tua dan muda semua berbaur dalam naungan ilmu. Ia senang membantu Mbak Nuri menyirami kebun sayur di pekarangan belakang, memetik hasil panen dengan beberapa khadimah sambil melantunkan shawalat kepada Nabi Muhammad Saw., membaca buku-buku islami sampai fiksi di perpustakaan pribadi Bu Nyai dan Pak Kyai, ia akan merindukan masa-masa menjadi santri di pesantren ini.
Terdengar suara ketukan pintu, suara Mbak Nuri menyusul setelahnya. Halwa bangkit untuk membuka pintu kamar itu.
"Kamu dipanggil Bu Nyai, Wa."
"Nggih, Mbak. Matur nuwun."
"Cepat sedikit ya, katanya ada yang perlu di-rembug. Pasti iki penting, Wa. Eh, siapa tahu masalah Gus Malik yang batal dicalonkan dengan anaknya Pak Kyai Solih itu." Mbak Nuri cekikikan sendiri.
"Hust! Ngawur tenan kamu, Mbak. Ndak mungkin aku juga yang jadi calonnya. Usia kami pun terpaut lumayan jauh."
"Ah, enam atau tujuh tahun itu ndak jauh-jauh sekali kok, Wa."
"Sudahlah, Mbak. Mbak Nuri ini suka sekali membahas masalah Gus Malik dan aku, jangan-jangan yang naksir sama Gus Malik itu Mbak Nuri sendiri. Aku sih mau ngaca pada diri sendiri saja, aku bukan siapa-siapa."
Nuri memberengut. Ia mundur selangkah agar Halwa bisa keluar.
"Mbak, maafkan kata-kataku tadi ya... aku cuma nggak mau berharap kejatuhan duren atau mendapat bulan yang indah, wong aku ini cuma santri biasa bukan anak Kyai atau Presiden." Terang Halwa sebelum kembali melangkahkan kaki, namun Nuri menahan lengan Halwa sesaat.
"Aku yang minta maaf karena sudah membuatmu tak nyaman dengan guyonanku, Wa. Habisnya aku itu tak mau kamu cepat pergi dari sini, Wa... kamu itu baik sekali sama semua orang, mau bantu-bantu kami di kebun dan di dapur. Tidak sungkanan, resik tenan pokokke. Sayang saja kalau Bu Nyai tidak bisa melihat potensimu itu."
"Potensi apa tho, Mbak? Potensiku jadi khadimah?" Halwa tersenyum, ia mengelus-ngelus tangan Nuri. "Aku mau kuliah biar bisa membanggakan ayah dan ibuku, Mbak. Doakan saja ya." Halwa segera beringsut untuk menemui Bu Nyai yang sedang menunggunya di rumah utama, yaitu rumah keluarganya sendiri.
***
Hati Halwa berdesir ketika ia berpapasan dengan anak Bu Nyai Sarah di pintu depan rumah beliau. Dia adalah Gus Malik, yang wajahnya nampak sedap dipandang dan bersih bercahaya. Suaranya kalau sedang mengaji sebelum subuh sangat teduh, membuat orang ingin cepat-cepat bergegas menuju masjid dan mendengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur'an dari dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...