14-B

448 65 0
                                    

"Jawab saja tidak kenal aku!" kata Halwa dengan jelas, membuat Lia kaget.

"Iya, tapi ada masalah apa? kok sampai kamu dicari begini, Wa?" Lia terus bertanya, dia memang tidak tahu masalah perjodohan itu.

"Nanti aku jelaskan, sekarang aku sedang tidak punya banyak waktu. Aku harus membereskan baju-bajuku, Lia." Halwa berusaha tetap tenang walau ia sudah ingin menangis.

"Baik. Jangan lupa kabari aku kalau sudah dapat tempat tinggal sementara, Halwa." Lia mengusap punggung Halwa lembut.

"Iya."

Lia teringat sesuatu dan segera berkata. "Kamu harus kabari Ibu dan Bapak!"

"Iya, aku akan ke ruko sekarang."

Dengan menggendong tas ransel besarnya, Halwa mendatangi ruko baru di pasar Gondangdia, Bu Asih sedang menyapu lantai ruko tersebut, nampak tersenyum menyambut kedatangan Halwa sekaligus bingung. "Kenapa kamu bawa-bawa tas?"

"Bu..." Halwa memeluk Bu Asih. Ia menahan tangis, ia tidak mau membuat ibu dan bapak angkatnya khawatir.

"Ada apa? Ada musibah apa, Neng?" tanya bapak angkatnya yang keluar dari ruko.

Halwa menggeleng tapi kemudian mengangguk. Dua orang itu bingung melihat Halwa. Gadis itu akhirnya menjelaskan tentang masalah dia dengan pakdenya, Bu Asih dan suaminya percaya sepenuhnya pada Halwa.

"Baik, kami tidak akan mengatakan tentang kamu pada mereka. Sekarang kamu mau pergi kemana?" tanya Bu Asih panik.

"Belum tahu, Bu."

"Kenapa tidak di rumah saja? Pakdemu tidak akan tahu rumah kita, kan?" tanya sang bapak, ikut cemas.

Halwa menggeleng, "tidak, Pak. Pakde orangnya sangat nekat, dia bisa cari tahu keberadaan toko ini dan rumah kita."

Bu Asih mengangguk seketika, ia punya ide. "Ke Bu Dewi saja ya. Pasti di sana kamu aman. Kamu sudah kabari Bu Dewi?"

"Sudah. Tapi saya akan merepotkan beliau lagi, Bu."

"Tidak. Bu Dewi itu baik orangnya, waktu Ibu ketemu beliau nampaknya ramah dan tidak membeda-bedakan orang. Kamu harus kesana." Ujar Bu Asih, setengah memaksa.

Halwa masih bimbang, tangannya gemetar karena cemas.

Tepat saat itu Hp-nya bergetar, nomor Bu Dewi yang memanggilnya. Bu Asih melihat itu dan segera menyuruh Halwa mengangkat teleponnya dengan segera.

Kepada Bu Dewi Halwa tidak perlu menjelasakan panjang lebar soal masalahnya kali ini, pasalnya Bu Dewi sudah tahu banyak tentang Halwa dan alasan utama ia pergi dari Semarang. Perempuan baik hati itu menyuruh Halwa agar segera ke rumahnya dan jangan sampai meninggalkan jejak. Halwa manut, ia menyalami ibunya dan pamit pada bapaknya lalu bergegas pergi dengan menunggangi motor matic.

Sesampainya di rumah Bu Dewi, Halwa disambut dengan pelukan hangat. Perempuan paruh baya itu berhasil membuat hati Halwa sedikit tenang. "Nak, kamu jangan tidak enakan gitu sama Ibu, dong. Datang saja kalau ada apa-apa, rumah ini selalu terbuka untuk kamu."

Halwa diam saja. Ia sudah terlalu banyak merepotkan Bu Dewi, mungkin sejak kali pertama bertemu. Dan Halwa sama sekali tidak punya niatan untuk memanfaatkan kebaikan Bu Dewi.

"Sudah, tidak perlu dipusingkan. Insya Allah di sini kamu aman. Di sini ada Pak Eko dan Mbok Sri yang bantu-bantu beberes rumah. Nah, kalau Pak Eko itu sopir baru Ibu, karena anak Ibu yang kuliah di Mesir tidak mau Ibu terus-terusan menyetir mobil sendiri."

Gadis berwajah ayu yang dibalut jilbab biru gelap itu tetap tertunduk. Tangannya tergenggam erat di atas pangkuan.

"Kamu tenang ya, Nak. Tidak, Pakdemu itu tidak akan sampai sini. Kamu sudah membuang nomor lama kamu, kan?"

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang