Sejak dia masuk pesantren, tak pernah sekalipun meninggalkan shalat malam dan Dhuha. Sesibuk apapun dirinya, Halwa tetap berusaha shalat sunnah meskipun hanya empat rakaat saja. Ia juga selalu membuka mushaf Al-Qurannya setiap hari, membaca ayat-ayat Tuhan setiap selesai shalat Subuh dan menjelang tidur.
Selain sibuk bekerja di rumah katering Bu Dewi, Halwa masih menyempatkan diri untuk mengajar anak-anak di mushalla. Mengaji adalah bagian dari hidup ini, ia selalu menanamkan kecintaan terhadap Al-Quran pada anak-anak kecil di sekitar tempat tinggalnya. Ia bangga dan kagum pada anak-anak kecil yang mau bangun Subuh untuk melaksanakan shalat lalu mengaji, mengeja kalam-Nya dengan hati dan jiwa yang bersih. Untuk membuat anak-anak itu terus bersemangat belajar membaca Al-Quran, maka Halwa selalu memberikan hadiah setiap pekannya, seperti mentraktir ice cream, membawa jajanan dan makan bersama setelah selesai mengaji atau membelikan buku-buku cerita islami yang ia beli dari pasar dengan harga terjangkau.
Anak-anak itu sayang pada Halwa, begitupun sebaliknya. Para tetangga mulai mengenal Halwa, bertegur sapa dan riang menyambut kedatangan Halwa sepulang bekerja. Di perantauan ini ia seperti mendapatkan keluarga besar yang baru, yang hangat dan peduli satu sama lain. Keluarga angkatnya pun menerima keberadaannya dengan hati lapang, tidak banyak menuntut dan memaksakan kehendak diri. Ya, semua ini karena takdir yang telah digariskan oleh Tuhan Sang Pengasih.
Menurut Halwa, tidak semua orang kota sifatnya individualis seperti yang diberitakan oleh orang-orang di desanya, contohnya tempat ini. Tempat yang memberikan kehangatan dalam hidupnya.
***
Tulisan Ilyas yang bertemakan motivasi hidup akhirnya selesai dicetak dan segera di distribusikan ke toko-toko buku seluruh Indonesia. Penerbitnya memang dari Indonesia, dia hanya tinggal mengirimkan draftnya saja, beberapa kali tulisannya itu mengalami revisi dibeberapa bagian, dan saat pulang kemarin Ilyas pun masih harus melakukan revisi terakhir.
Semua itu akhirnya terbayar, buku itu benar-benar bisa dibaca oleh banyak orang. Khusus buku ini dia ingin mengambil sebagian royaltinya untuk membeli sebuah kado pernikahan, yaitu untuk Mas Malik dan kakak iparnya. Dia akan transfer uang itu pada Hafsah, selanjutnya ia serahkan urusan memilih kado—yang cocok untuk pasangan pengantin—kepada adiknya.
Seperti biasa, Hafsah tak henti mengirimnya inbox. Memberikan kabar tentang Abah dan Ummi-nya, tentang sejauh mana persiapan pernikahan Mas Malik, juga tentang kesibukan dirinya selama kuliah di Jakarta.
Mas, aku rindu, Mas...
Terngiang kata-kata itu dalam benak Ilyas. "Aku juga rindu padamu, Dik!" katanya sambil tersenyum, ia menatap bulan purnama dari balik jendela yang ia buka. Sungguh indah bulan itu, cahayanya seolah memadamkan ribuan kerlip bintang di atas sana. Ia ratu malam ini, ratu malam yang sempurna.
"Masya Allah... hebat benar antum ini. Dua buku sudah masuk toko buku terkenal." Fatih masuk kamar Ilyas yang memang tidak dikunci. "Kata sobat kita di Magelang, bukumu itu sudah ada di sana. Dia kasih kabar kalau banyak yang mau ketemu dengan penulisnya, suruh buat seminar motivasi atau bedah buku saja katanya."
"Ah, kamu, Tih. Jangan melebih-lebihkan." Ilyas menatap Fatih. "Siapa yang di Magelang? Hamdan atau Toyib?"
"Hamdan, lah... katanya bulan depan dia sudah mau kawin."
"Menikah...," koreksi Ilyas.
Fatih tertawa. "Iya, iya. Me-ni-kah!" katanya penuh penekanan.
"Ya, terus kenapa?"
Fatih melipat tangannya di depan dada. "Ya, aku kan cuma kasih kabar ke antum saja, Yas. Siapa tahu bulan depannya lagi antum yang mau menyusul."
"Ngawur kamu. Ini saja belum selesai. S-2 juga masih panjang." Ilyas bangkit dari kursinya, giliran Fatih yang menempati.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...