Hari ini sudah 3x update
Jangan lewatkan
Thanks untuk dukungannyaJelas, Ali sangat kecewa pada dirinya sendiri. Kalau semua keadaan bisa diputar kembali, mungkin dia tidak akan menerima tawaran ibunya saat akan dikenalkan dengan Halwa dan segera menikah setelah lulus S1. Mungkin dia akan langsung lanjut S2 seperti Hamid sekarang. Beribu mungkin hinggap di kepalanya, namun tak satupun dapat ia eksekusi. Semua telah terjadi. Terlambat.
Mungkin Halwa memang jodohku. Logikanya berkata seperti itu, namun lagi-lagi hatinya tidak setuju. Ia lebih mementingkan rasa cinta dan persaudaraan dengan Ilyas ketimbang cinta dan egonya sendiri.
Empat tahun ia mengenal Ilyas, hidup dalam satu atap, berjuang bersama-sama di bawah panasnya matahari, di negara yang sangat keras, di gurun dan di benua yang jauh dari Indonesia. Dia mencintai Ilyas seperti mencintai saudara lelakinya sendiri. Rasa sayangnya itu benar-benar tulus dan besar.
Menyesal, Ali benar-benar kecewa.
Pintu kamar mandi diketuk-ketuk. Suara istrinya memanggil-manggil. Apa yang akan dia perbuat selanjutnya? Ya Allah, akad baru saja dilakukan ba'da Subuh tadi dan acara selanjutnya adalah resepsi besar-besaran. Rasanya Ali ingin lari dari sini, meninggalkan semuanya.
"Mas, sudah ditunggu Ibu di luar. Mas masih lama?" ujar Halwa dari luar kamar mandi.
Mendengar suara istrinya yang meneduhkan itu ia merasa sedikit lega, tapi bila mengingat persahabatannya dengan Ilyas ia merasa telah berhianat.
Walau bagaimanapun ia harus selesaikan semua ini, hari ini harus berjalan sesuai rencana. Ia tidak mau mengecewakan siapapun, termasuk ibu dan istrinya. Tamu undangan sudah mulai berdatangan, rasanya tidak mungkin bila ia kabur dari pesta pernikahannya sendiri, itu adalah keputusan paling buruk.
"Iya, aku segera selesai." Jawab Ali, ia mencuci wajahnya kembali. Ia juga mengambil wudhu agar hatinya tentram.
Saat ia keluar, Halwa menunggunya di depan pintu. Wajah istrinya napak senang dan bibirnya menyungging senyum menawan. Laki-laki mana yang akan menolak menikahi perempuan seperti Halwa? Pikirnya.
Ali hanya membalas senyum itu dengan singkat, sebisa mungkin ia ingin menyembunyikan rasa sesak dalam dadanya. Tidak boleh ada satu orangpun yang tahu bahwa dia sedang bingung dan kecewa pada dirinya sendiri.
Hari itu berlangsung dengan baik, acaranya benar-benar meriah. Sepasang pengantin itu nampak serasi. Tamu berdatangan mengucapkan selamat serta tak lupa pula mendoakan keberkahan.
Tidak terasa hari sudah malam, dua orang yang kini sah menjadi pasangan suami istri itu sudah tiba di rumah. Semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing, Lia dan Bu Asih juga sudah pulang. Keluarga pakdenya Halwa masih menginap di hotel semalam lagi, rencananya besok mereka akan diantar jalan-jalan keliling Kota Jakarta, seperti pergi ke Monas, Ancol dan juga Taman Mini.
Malam itu entah kenapa hati Halwa merasa resah, ia mengajak Ali untuk shalat sunnah. Ali menjadi imam dan Halwa shalat di belakangnya dengan khusyuk. Selesai shalat Halwa mengaminkan doa yang dipanjatkan Ali secara perlahan-lahan. Saking dalamnya makna doa yang diucapkan oleh Ali, kedua pipi pasangan itu sampai basah.
Selesai berdoa Halwa hanya sempat mencium punggung tangan Ali, lalu kemudian Ali keluar entah kemana. Halwa sempat memanggil tapi sepertinya Ali tidak mendengar panggilan istrinya itu.
Tibalah pukul 11.40 malam. Saat Halwa ketiduran di kamar Ali—kamar yang sudah dihias dengan bunga-bunga hidup, baunya semerbak dan menenangkan—saat itu Ali baru kembali ke kamar. Satu jam lebih dia berada di ruang tengah, membaca buku-buku yang belum ia selesaikan. Sekarang laki-laki itu terduduk di tepi ranjang, memandang wajah istrinya yang nampak lelah. Kala itu ia sedang bingung, ia menunggu kabar dari Ilyas, tapi kabar yang ditunggu tidak kunjung datang.
Ali tidak bisa tenang, ia keluar lagi setelah mencoba berbaring di sisi istrinya—yang justru membuat hatinya semakin gelisah tak menentu. Perempuan yang telah dicurhatkan oleh sahabatnya telah membuat dirinya jadi serba salah. Malam itu Ali tidur di kamar tamu, kamar yang dulu ditempati oleh Halwa. Seprainya sudah diganti dengan yang baru, semua barang-barang Halwa yang ada di sana sudah dikemas ke dalam tas dan dus. Diletakkan di pojok ruangan untuk segera dipindah ke kamar atas.
Ali akhirnya bisa terlelap di sana, ia hanya menutup pintu tanpa menguncinya.
***
Halwa terbiasa bangun sebelum Subuh dan kini masih pukul tiga lewat, masih terlalu pagi. Ia menoleh ke sisi kanan, tidak ada Ali di sana. Semalam karena kelelahan ia terlelap lebih dulu, ia tidak sempat menunggu Ali yang tak kunjung kembali ke kamar. Tangannya meraih jilbab panjang yang tergantung di balik pintu, memakainya dan keluar untuk mencari Ali. Kemana suaminya itu pergi? rasa khawatirnya mulai muncul.
Sambil berjalan Halwa menguap kecil, ia masih sedikit mengantuk, lelahnya belum hilang sepenuhnya. Kaki dan badannya masih pegal-pegal akibat resepsi kemarin.
Sampai di dapur ia tidak menemukan Ali, di ruang tengah juga tidak ada siapapun. Semua ruangan masih gelap dan sepi. Tiba-tiba seperti ada yang menarik dirinya untuk mengecek kamar tamu, kamar yang dulu ia tempati. Dan benar saja, Ali sedang berbaring di sana dengan posisi miring ke kanan. Wajahnya terlihat teduh, Halwa tersenyum memandang suaminya.
Seperti merasakan kehadiran seseorang, mata Ali mengerjap-ngerjap. Ia kaget melihat Halwa sudah duduk di sampingnya, Halwa menatapnya dengan senyum manis yang merekah sempurna. Ibarat bunga, maka bunga itu sedang mekar-mekarnya.
"Mas, kenapa Mas tidur di sini?"
Ali berusaha bangkit sambil berkata, "maaf, aku belum terbiasa. Maaf ya..."
Halwa masih tersenyum, ia menatap jam di meja sebelah. "Kita tahajjud, Mas?"
"Iya. Aku ambil wudhu dulu." Ali segera beranjak dari kasur itu menuju kamar mandi belakang, meninggalkan Halwa yang masih duduk di tepi ranjang.
Ketika Ali kembali masuk kamarnya sendiri, ia sudah ditunggu Halwa. Istrinya itu sudah memakai pakaian shalat lengkap, sempurna menutup aurat dan sudah menghadap kiblat. Sajadah Ali sudah terbentang di lantai, di depan sajadah Halwa. Ali mengucapkan terimakasih, ia benar-benar belum terbiasa dengan semua ini. Ia merasa sedikit canggung, lagipula sejak dulu ia tidak dekat dengan teman sekolahnya yang perempuan. Ia selalu menghindar bergaul dengan para perempuan kecuali saudara sepupunya atau perempuan-perempuan dari keluarga besarnya sendiri.
Ali menarik napaspanjang, berusaha menghadirkan hati dan jiwanya kepada Tuhan Semesta Alam. Iamulai mengucapkan takbir, Halwa mengikuti. Dalam keheningan itu lantunan surahAl Fatihah yang dibaca oleh Ali terdengar jelas dan dalam, perasaannya hadir.Hadir sehadir-hadirnya. Ia dan Halwa menghayati makna surat itu. Tanpa terasaair mata turut mengalir dari kedua sudut mata mereka, pipi mereka pun basahkembali. Ali membacakan surah-surah yang lumayan panjang. Mereka berdua terushanyut dalam suasana itu, penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...