Sepekan berlalu sudah. Halwa kembali tinggal di rumah orangtua angkatnya, sepanjang hari ia mengurung diri di dalam kamar. Tidak sedang meratapi apa yang terjadi pada dirinya, ia hanya sedang berpikir bagaimana caranya membangun lembaran baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Semua terlalu rumit, terlalu sulit untuk dijalani. Namun Halwa juga sadar bahwa dirinya harus kembali bangkit dan hidup sebagai hamba Tuhan yang taat.
Lia dan Bu Asih selalu berusaha menghibur dirinya, menemaninya keliling kota. Naik mobil yang disopiri oleh suami Lia. Halwa lebih banyak diam, kadang tersenyum tipis dan seadanya. Benar-benar tidak banyak bicara. Sudah sepekan ini pula dia tidak mengaktifkan nomor ponselnya. Tidak membuka e-mail. Tidak melanjutkan setoran hapalannya, semua aktivitas luarnya berhenti total. Tapi ia tetap menghapal ayat-ayat cinta Tuhannya setelah shalat Subuh, memuroja'ah sendiri di dalam kamar ketika shalat malam.
Tidak ada yang tahu seberapa besar ia terluka dan kecewa pada dirinya sendiri.
Hari kedelapan ada kabar dari kampungnya, kabar yang tidak begitu baik. Mbak Hana sudah mencoba menghubungi nomor Halwa tetapi ponselnya tidak aktif, akhirnya ia menghubungi nomor Lia—yang saat itu kebetulan sedang bersama Halwa di rumah. Lia kaget mendengar kabar meninggalnya Pakde Rudi, ia sampaikan dengan penuh hati-hati pada Halwa, gadis itu pun turut sedih.
Tetap saja, semarah apapun Halwa pada pakdenya, hatinya tetap sedih mendengar kepergian pakde yang dulu sangat dia hormati ke haribaan Allah Sang Pengasih. Ia segera pulang ke kampungnya hari itu juga, ditemani Bu Asih dan suami Lia. Sementara Lia dan ayah angkatnya tetap berada di Jakarta. Lia ingin ikut melayat tetapi dia sedang hamil besar, suaminya tidak mengizinkan dia ikut pergi.
Saat di kampung halaman, Halwa teringat kembali kata-kata Ali. "Kamu harus ke pesantren, temui Bu Nyai dan Pak Kyai, silaturahmi kepada guru-gurumu, Halwa. Dan... temui Ilyas, dia pasti sedang menunggumu datang. Aku tidak berani mengatakan padanya bahwa kamu sudah menikah denganku, aku tidak tega mengatakannya. Datanglah kesana, Halwa."
Halwa mengusir seluruh ingatan tentang Ali termasuk kalimat yang pernah laki-laki itu sampaikan. Ia tidak ingin berkunjung ke pesantrennya meskipun ia benar-benar rindu pada Bu Nyai Sarah. Bu Nyai yang sangat mengayangi dirinya, mendidik dan juga membimbingnya hingga menjadi Halwa yang kuat dan berhasil bangkit dari keterpurukan. Ia menepis perasaan rindu itu, ia mencoba melupakan semuanya, termasuk perasaannya pada Gus Ilyas. Setelah ia pernah menikah dengan Ali dan kini menjadi seorang janda, ia semakin merasa tidak pantas berada dihadapan laki-laki yang ia cintai. Ia memilih untuk mengubur perasaan itu dalam-dalam, ia berusaha semampunya walau itu terasa sangat berat.
"Wahai Tuhan pemeluk hati ini, dekaplah aku dalam cinta kasih-Mu... jauhkan aku dari perkara yang tidak aku senangi... jauhkan aku dari rasa yang menyiksa diri..." ucap Halwa tatkala ia sedang sendiri.
Halwa memberikan bantuan pada Mas Tio dan Mbak Hana dari rekeningnya sendiri, sebagai biaya pemakaman dan biaya menulasi hutang-hutang pakdenya. Jauh sebelum ini ia pun pernah memberikan bantuan berupa materi, namun sempat ditolak oleh masnya itu, Tio merasa tidak enak bila harus merepotkan Halwa yang masih harus membayar biaya kuliah dan membiayai hidupya sendiri.
"Terimakasih, Dik. Kamu sudah banyak membantu keluarga kami. Kami terlalu merepotkanmu dan seharusnya kamilah yang mengurus kamu, Dik." Mas Tio sungguh-sungguh tulus mengucapkannya. Ia sungguh menyayangi adik sepupunya itu. "Mas dan Mbak selalu mendoakanmu, semoga kamu mendapat kehidupan yang bahagia dan barokah."
Halwa mengaminkan sembari memeluk Mbak Hananya.
Tentang perceraiannya dengan Ali, akhirnya semuanya sudah tahu. Mas Tio dan Mbak Hana menyesali keputusan itu. Apa boleh buat, semua sudah terjadi dan berakhir.
Tak lama Halwa berada di kampungnya, setelah ia berziarah ke makam ayah, ibu dan kakaknya ia langsung pamit untuk kembali ke Jakarta bersama Bu Asih dan suami Lia. Tio meminjam mobil tetangga dekatnya untuk mengantar mereka semua ke bandara Ahmad Yani, Semarang. Hana sampai menangis melepas kepergian Halwa, dua perempuan itu sampai berpelukan cukup erat.
"Semoga semua ujian hidup yang menimpamu dapat mengangkat derajatmu di sisi Allah ya, Dik." Harap Mbak Hana pada Halwa. Halwa mengangguk dan berlalu meninggalkan mas dan mbaknya.
***
"Lia, ayo kita buka cabang di Bandung. Biar aku yang urus semuanya di sana." Kata Halwa dengan suara agak keras, ia sedang menatap layar laptopnya. "Aku sudah pilih-pilih lokasinya," lanjutnya yakin.
Lia mendekati Halwa, wajahnya nampak senang sekaligus bingung. Ya, sejak kepulangan Halwa dari Semarang beberapa hari lalu, ia melihat ada semangat baru yang muncul pada diri Halwa. Wajahnya nampak lebih segar dan ceria. Tak ada lagi senyum sederhana dan tawa yang tertahan, semua seperti lepas begitu saja. Halwa seolah sudah menemukan cahaya hidupnya kembali, ia benar-benar berusaha keras untuk segera bangkit.
"Kamu serius, Wa? Kamu ke sana sama siapa? Kamu belum pernah ke Bandung, kan, Wa?" Lia sempat cemas dengan keputusan mendadak ini.
Halwa menggeleng. "Tapi tolong jangan ragukan kemampuanku, Lia. Kamu kenal aku, kan? Aku nekatan orangnya." Halwa pun tersenyum yakin. "Aku pasti bisa, Lia. Aku ingin mencoba hal baru!"
"Aku tidak izinkan kalau kamu kesana sendiri. Pokoknya harus ada teman atau kenalan yang sudah akrab," ujar Lia.
"Kalau begitu carikan aku kenalan yang baik, Lia. Itu tugasmu." Perintah Halwa.
Lia menganggak senang, Halwa mengelus-ngelus perut Lia dengan lembut. Ya Allah, sejujurnya dia pun ingin merasakan menjadi seorang ibu seperi Lia. Yang dititipi amanah dalam rahimnya, yang amanah itu harus ia jaga dan ia didik dengan sebaik-baiknya pendidikan. Hati Halwa basah oleh harapan yang harus pudar dan padam, tetapi wajahnya tetap bisa menutupi semua itu, sekuat tenaga ia berusaha tegar dihadapan semua orang termasuk Lia.
Benar, tidak ada yang tahu apa keinginan terbesarnya kecuali dirinya sendiri. Halwa tidak akan bercerita pada siapapun kecuali mengungkapnya dalam untaian doa.
"Lia," panggil Halwa pelan.
"Ya?" Lia menoleh, ia hendak pergi ke dapur. "Ada apa, Wa?"
"Aku minta tolong padamu dan kamu harus janji padaku, kalau ada yang mencariku kamu tidak akan memberitakukan keberadaanku. Mau ya?"
"Termasuk Bu Dewi?"
Halwa mengangguk.
"Baik... tapi, apa ini juga termasuk Hafsah? Dia menghubungiku kemarin saat kamu pulang ke Semarang."
"Jangan katakan pada siapapun kalau aku pergi ke Bandung. Aku ingin memulai semuanya dari awal dan menjauh dari mereka dulu. Tolong aku, Lia." Ucap Halwa pernuh permohonan.
Lia pun berjanji akanmemegang kata-katanya bahwa tidak akan membiarkan siapapun tahu kemana perginyaHalwa. Dan sejak saat itu Halwa benar-benar menghilang dari kehidupan semuaorang, dari Bu Dewi, Hafsah dan juga Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...