Haiiii, menuju bab akhir nih
tolong kasih reviewnya ya buat cerita ini, menurut kalian aja gimana?
dan jangan lupa kasih kesan pesan di ceritaku yang lain juga ya!
makasih banyak, makasih lho...
***
Seperti biasa, pagi ini Hafsah berjalan agak terburu-buru, bahkan sejak dari lobi rumah sakit jalannya itu semakin dipercepat, hampir saja ia menabrak seorang perawat yang juga sama-sama sedang terburu-buru. Ia ingin menceritakan banyak hal kepada Ilyas tentang pertemuannya dengan Halwa hari kemarin, di sebuah hotel tempat Halwa menginap. Iya benar-benar yakin bahwa Halwa dan masnya bisa hidup bersama setelah kejadian ini. Benar, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, dan bagi Hafsah sendiri kecelakaan masnya kali ini adalah sebuah berkah, sebab dapat mempertemukan dua orang yang menurutnya berjodoh.
Sedari lobi rumah sakit Hafsah tidak berhenti tersenyum, wajahnya nampak cerah dan hatinya berbunga-bunga. Setelah sampai di depan ruang rawat masnya ia berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu kemudian membuka pintu dengan cekatan, masuk ke ruangan itu dengan ekspresi yang masih sama persis; bahagia.
Segera ia mamanggil-manggil masnya dengan suara agak kencang. Kebetulan, Ilyas dirawat di ruangan itu seorang diri, membuat Hafsah bebas berteriak keras-keras.
"Mas Ilyas!" ia kaget ketika menyadari bahwa tidak ada masnya di sana, yang ada adalah seorang pemuda yang juga sama-sama kagetnya.
Pemuda itu menatapnya sekilas lalu segera berpaling, sosok itu sedang membuka mushaf dan membacanya dengan suara lirih. Dada keduanya saling berdebar, iramanya lompat-lompat, tak beraturan.
Hafsah hendak menutup pintu karena merasa salah kamar, tapi dia sendiri yakin bahwa masnya itu masih berada di kamar yang sama, sejak kemarin belum dipindahkan. "Maaf, maafkan saya..." katanya pelan. Wajahnya tertunduk, ia malu telah berteriak keras seperti barusan. "Sepertinya saya salah kamar," sambungya sambil beringsut mundur.
Sebelum pintu itu benar-benar tertutup pemuda itu bangkit. Ia sudah menutup mushafnya. "Tidak, ini memang kamar Gus Ilyas."
"Lalu, dia sedang kemana?" tanya Hafsah dengan wajah sedikit merah merona.
"Ke kamar mandi," jeda, "...sebentar," tambahnya lagi.
Detik itu terdengar suara dari balik pintu kamar mandi. "Li, itu adikku bukan ya?" teriaknya.
Pemuda itu bingung, lalu menjawab dengan berjalan mendekat ke pintu kamar mandi. "Mungkin."
Ilyas akhirnya keluar, namun kali ini ia belum mengenakan kaosnya dengan sempurna. Ia Tersenyum kepada Ali dan juga kepada sosok yang masih berdiri di ambang pintu ruangan itu. "Eh, adikku yang manis. Kamu khawatir sama masmu ya?" ledeknya.
"Ih, Mas Ilyas ini kalau pakai baju yang benar kenapa? Ndak malu apa?" tegur Hafsah pada masnya. Ia berjalan mendekati Ilyas. Rona di wajahnya perlahan pudar, namun ia sedikit merasa canggung dengan adanya sosok yang belum ia kenal sebelumnya. Sejak kemarin Bu Nyai sudah bercerita tentang teman masnya yang datang dari Jakarta itu, tapi Hafsah baru pertama kali bertemu dengannya hari ini.
"Sudah biasa, Dik. Kalau di Mesir aku sudah biasa buka baju di depan Ali ini, dia juga begitu. Iya, kan, Li?" Ilyas menyengir tak bersalah.
Ali merasa malu, ia diam tak bergeming.
"Kalau dilihat suster atau yang lain bagaimana? Kalau dilihat sama Halwa apa lagi?" tegur Hafsah tak suka.
"Duh, bawelmu itu kok ndak ilang-ilang tho? Ndak capek apa ngomel sana-sini? Ndak malu sama temenku, Dik?"
Hafsah menunduk. Pipinya bersemu merah lagi.
"Oh ya, Li. Ini adikku namanya Hafsah Firdaus, dia ini yang masih kuliah di LIPIA." Ilyas mengusap kepala adiknya. "Dik, itu teman Mas Ilyas... yang pernah Mas ceritakan itu lho..."
"Wah, cerita apa, Yas?" Ali mendadak bertanya.
"Ada-lah... rahasia." Ilyas tersenyum agak jahil, namun detik berikutnya ia berkata lagi. "Ndak ada apa-apa kok, aku cuma guyon saja. Takut dosa lah kalau terus bohong, he he."
"Mas ini, orang sakit masih saja bisa meledek." Hafsah mencubit perut Ilyas dan membuat Ilyas mengaduh, Hafsah terus saja menggoda masnya hingga masnya itu balas mencubit pipi adiknya.
"Mas, sudah beres-beresnya? Mas benar-benar mau pulang saja ya, tidak mau dirawat di rumah sakit?" tanya Hafsah, ia terlihat khwatir pada Ilyas. Ia juga mengecek dagu Ilyas, melihat perban di lengan atas Ilyas dan mengecek bagian lainnya seperti seorang perawat.
"Aku ndak apa-apa kok. Insya Allah kalau ada orang-orang yang aku sayang di dekatku, aku jadi lekas sembuh, Dik."
"Owalah, bilang saja kalau Mas sudah tidak sabar mau hidup berdua bersama Halwa! Mas sudah bilang Halwa tho?" ledek Hafsah sembari tersenyum-senyum. Mendadak ia lupa dengan tujuan awalnya; bercerita tentang obrolannya dengan Halwa hari kemarin. "Mas sudah serius, kan, mau menikah secepatnya?" tanya Hafsah lagi, tak sabar.
Ilyas tidak menjawab, namun senyumnya seolah telah menguraikan semuanya. Semalam, saat dia dijenguk lagi oleh Halwa yang ditemani Gina. Ilyas telah mengutarakan niatnya pada Halwa, gadis itu tidak memberikan jawaban atas niat baiknya untuk menikahinya. Gadis itu diam dan terus menunduk, Ilyas hanya melihat bola mata gadis itu telah berair dan sejurus kemudian Halwa menangis sambil mengangguk. Itulah jawabannya, mereka akan melangsungkan pesta pernikahan sesegera mungkin.
Rasa nyeri dan perih dalam tubuh Ilyas sudah terabaikan, terganti oleh rasa bahagia yang memberikan kekuatan dan menumbuhkan semangat juangnya lagi. Takdir Allah tidak pernah salah, walau terkadang manusia sulit mempercayainya, walau manusia harus melalui jalan berliku sebelum sampai dititik ini. Dan ini bukan akhir dari segalanya, ini adalah awal kehidupan Ilyas bersama bidadarinya, Halwatuzahra.
***
Pada sore harinya Ali pamit untuk segera kembali ke Jakarta, dua hari lagi ia pun harus berangkat ke Mesir untuk melanjutkan tugasnya sebagai penuntut ilmu. Sementara di ruangan rawat itu terdapat dua kakak beradik yang saling berhadapan. Menatap satu sama lain. Tatapan kasih dan juga rindu.
Ilyas bertanya pada adiknya. "Gimana menurutmu, Dik?"
Hafsah lantas mengerutkan keningnya, bingung. Ia sedang mengemasi barang-barang Ilyas di atas nakas. "Gimana apanya, Mas?"
"Ali?"
Hafsah tersenyum, ia malu menjawabnya. Dan pipinya kembali merona.
"Aku bilang ke Abah dan Ummi saja kalau begitu, sebelum ada yang datang melamarmu nanti."
"Aku... manut saja sama pilihan Mas Ilyas. Aku percaya." Ucap Hafsah malu-malu.
"Percaya opo?" Ilyas tersenyum ganjil, ia senang sekali menggoda adik bungsunya ini.
"Percaya... saja."
"Kamu ini, sudah dewasa saja ya, Dik. Eh, tapi Mas dulu ya tahun ini? kamu kan harus lulus kuliah dulu baru bisa menyusul Ali ke Mesir."
Hafsah tersenyum malu. Tak lama pintu kamar itu diketuk, Halwa datang bersama Gina membawakan makanan untuk dua orang tersebut. Hafsah dan Gina mengobrolkan banyak hal, mereka berdua terlihat akrab layaknya kawan lama yang baru berjumpa, sementara Halwa duduk paling jauh dari Ilyas, ia hanya diam tanpa bicara apa-apa.
***
Tiga pekan berlalu, Pak Kyai tidak mau lagi menunda-nunda acara pernikahan anak laki-lakinya yang nomor empat. Setelah semua rembugan selesai dilakukan, pernikahan Halwa dan Ilyas akan dilangsungkan tiga hari lagi. Alhamdulillah sekali saat ini kondisi Ilyas pun semakin baik dan sudah bisa mengendarai motor lagi. Lukanya pun sudah benar-benar pulih dan goresan di dagunya sudah kering dan bersih.
Sementara itu usaha Halwa yang ada di Bandung ia titipkan pada bawahannya yang ia percayai termasuk kepada Gina. Kemungkinan besar dia tidak akan kembali ke Bandung lagi, ia akan tetap melanjutkan kuliahnya secara online dan menetap di lingkungan pesantren bersama suami dan keluarga besar suaminya. Betapa bahagia hatinya saat ini, takdir yang menjemputnya begitu indah dan tidak pernah ia duga sebelumnya. Pernikahan yang pernah kandas itu sebentar lagi akan diganti dengan pernikahan yang pernuh harap dan berokah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritüelTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...