Bagian 7

611 61 0
                                    

Siang itu matahari di atas langit agak bersembunyi, tertutup oleh awan gelap. Di Kelurahan Tembalang udaranya jadi agak panas membuat badan berkeringat tidak enak. Pakde Rudi baru saja keluar dari kamarnya, ia memakai batik berlengan panjang, lengkap dengan celana bahan warna hitam yang licin sehabis diseterika, seolah akan menyambut tamu penting di rumahnya. Hal ini membuat anaknya, Tio, nampak heran. Ia pun bertanya pada bapaknya.

"Mau kemana tho, Pak?"

"Ada tamu nanti, sebentar lagi juga sampai. Sudah sana ganti pakaianmu, cari baju yang bagus dan wangi. Istrimu mana? suruh bantu ibumu di dapur, siapkan jajanan atau minumnya."

Tio makin heran, "Pak, siapa tamunya?"

"Pak Camat dan keluarganya. Sudah jangan banyak bertanya, cepat ganti bajumu dan panggil istrimu suruh ke dapur, Yo!" perintah Rudi. Tio hanya bisa menuruti perintah bapaknya tanpa bertanya lebih lanjut, ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan bapaknya kali ini. Ia sendiri mencium sesuatu yang aneh, semoga saja bukan hal buruk yang terjadi. Bukan tentang pinjaman hutang lagi.

Pukul dua siang, rombongan Pak Camat sudah sampai di rumah Pak Rudi. Beliau membawa anak beserta istrinya yang nampak masih muda dan cantik. Ia memarkirkan mobil Alphardnya di depan rumah Pak Rudi yang luas, halaman rumah itu bisa menampung dua sampai tiga mobil sekaligus. Rata-rata rumah di kampung memang masih punya lahan depan yang luas, tidak seperti di kota-kota besar.

Senyum mengembang di wajah Pak Rudi, ia mempersilakan tamunya duduk di kursi yang sederhana. Istrinya membawakan es kelapa muda dari arah dapur, sementara menantunya membawakan nampan berisi jajanan pasar yang sudah disiapkan sejak Dzuhur tadi.

"Monggo dicicip, Pak Camat dan Bu Camat." Pakde Rudi mempersilakan pada keduanya untuk mencicip jajanan sederhana tersebut, "ayo Mas Bimo, dicicip juga semuanya. Maaf, kami hanya bisa menyediakan ini saja."

"Tidak perlu repot-repot, Pak Rudi. Kamu ini seperti akan menyambut siapa saja." Pak Camat tersenyum dan nampak membumi, ia mengambil gelas es kelapa mudanya, meminum beberapa tenggak dan merasakan kesegaran di tenggorokannya. "Ini enak, Bimo, ayo punyamu diminum!" kata beliau pada anaknya.

Bimo yang sedikit pilih-pilih dalam masalah makanan akhirnya mau meminum minumannya, ini semua demi menghormati pemilik rumah supaya tidak kecewa dan merasa dihargai saja. Ini juga demi menjaga nama baik ayahnya yang seorang Camat, yang termasuk orang penting di Kecamatan Tembalang ini.

Beberapa menit berlalu, obrolan berkisar kebun sayur dan sawah. Pak Camat dan Pak Rudi lebih mendominasi obrolan. Tio yang duduk di dekat ayahnya lebih banyak diam, dia sendiri masih bingung dengan kedatangan Pak Camat ke rumahnya, ini bukan kunjungan biasa, pasti ada maksud lain dari kunjungan orang penting di Kecamatan Tembalang ini.

Obrolan panjang masih terjadi, akhirnya sampai ke inti masalah. Dengan bahasa diplomasi yang mudah dimengerti oleh semua pihak, Pak Camat menjelaskan maksud kedatangannya kemari, yaitu untuk melamar keponakan Pak Rudi untuk dinikahkan dengan anak bungsunya yang ia bawa, Bimo.

Tio menatap bapaknya, ia kaget bukan main. Sementara itu bapaknya nampak santai-santai saja, seperti sudah tahu maksud kedatangan Pak Camat hari ini. Saat itu, kalau memang memungkinkan, Tio ingin menarik bapaknya ke belakang dan berniat mencegah perjodohan terencana ini. Ini bukan lamaran biasa. Tio menduga, pasti ada sesuatu dibalik semua ini. Pasti bapaknya berbuat curang, Tio merasa kasihan pada Halwa yang akan menjadi korban rembugan serius kali ini.

"Nak Bimo sendiri bagaimana? Sudah tahu Halwa itu seperti apa tho?" tanya Pak Rudi pada calon mantunya itu.

Bimo sekilas tersenyum, memasang tampang ramah, walau aslinya tidak ramah sama sekali. Meskipun Pak Camat Arif itu baik dan bijak, tetapi sifat itu seolah tidak menurun pada anaknya yang terakhir, hanya dia satu-satunya anak yang susah diurus sejak kecil. Bahkan Bimo sudah sangat terkenal sifat urakannya dan dia selalu membuat masalah di kampungnya sendiri.

"Pak Rudi sudah memberitahukan niatan kami kepada keponakannya tho?" Pak Camat balik bertanya. Tiga hari yang lalu mereka sempat bertemu dan membicarakan masalah perjodohan ini. Sungguh ini murni permintaan Pak Camat Arif karena dia melihat Halwa adalah gadis yang baik, yang diidam-idamkan oleh banyak orangtua untuk dijadikan menantu mereka. Ia sendiri berharap bahwa dengan menikahkan Bimo dengan Halwa maka anaknya akan berubah, dan menjadi anak muda yang lebih baik. Kalau boleh dikatakan, ia sendiri sudah kewalahan mengajari Bimo tata krama. Sekarang Bimo terlihat sangat anteng, sebab ia sudah diwanti-wanti bapaknya sejak di rumah dan sepanjang perjalanan.

"Keponakan Pak Rudi ini sudah pasti maukan menikah dengan Bimo, anakku?" Pak Camat bertanya lagi, padahal pertanyaan sebelumnya pun belum terjawab oleh Rudi, Rudi sendiri mendadak kikuk karena ia belum membicarakan masalah ini pada siapapun kecuali istrinya.

Tio melirik bapaknya, sang bapak terlihat sedikit kebingungan namun ia pandai bersandiwara sehingga menutupi rasa gugup itu dengan tetap tenang. "Masalah itu sudah saya bicarakan dengan keponakan saya, Pak. Bisa saya pastikan bahwa dia setuju, dia itu anaknya manutan kok, Pak." Jawab Pak Rudi dengan gamblang dan yakin.

Mendengar itu, Tio merasa sangat bersalah, namun lagi-lagi ia tidak mampu berkata apa-apa. Dia pun tidak mau membuat bapaknya sendiri terlihat malu di depan Pak Camat Arif yang berhati baik itu.

Usai rembugan itu selesai, Pak Camat segera bergegas pulang bersama anak dan istrinya. Ia menyalami tangan calon besannya, Pak Rudi, dengan mantap—seolah mereka akan benar-benar berbesan pada bulan-bulan depan. Pak Camat maunya sesegera mungkin anaknya itu dapat menikah serta ada yang mengurus, supaya tahu tanggungjawab dan mempu bersikap lebih dewasa dan belajar menjadi bijak ketika menghadapi masalah.

Saat mobil tamu sudah jauh dan tak terlihat lagi, Tio duduk di depan bapaknya dengan wajah marah. "Pak, apa bapak ndak mau pikirkan lagi? apa Halwa itu mau sama Bimo yang terkenal kurang ajar sama orang-orang di kampungnya itu?" jelas saja Tio tahu siapa Bimo, anak muda itu sangat terkenal dengan sikap urakannya.

Rudi menatap balik anaknya, tak merasa bersalah sedikitpun. "Ah, kamu ini tidak perlu ikut campur urusan Bapakmu! Kamu tahu apa?"

"Bapak, jawab Tio jujur. Bapak dikasih apa sama keluarga Pak Camat itu?" todong Tio, tak mau mengalah.

Bapaknya menatap tajam kedua bola mata Tio.

"Hutang-hutang yang Bapak punya akan mereka bayar?" Tio menahan napas sejenak, ia tidak siap mendengar jawaban bapaknya sendiri. "Benar, Pak?"

Rudi bangkit dari duduknya, melempar tatapan marah pada Tio. "Kalau benar kamu mau apa? Kamu sendiri tidak bisa bantu apa-apa. Jalan satu-satunya ya cuma ini, adikmu itu harus nikah sama anaknya Pak Camat, Bimo!"

"Ini namanya menjual masa depan Halwa, Pak. Apa Bapak tega melihat Halwa menikah dengan laki-laki macam Bimo? Eling, Pak, eling..." Tio berusaha menyadarkan bapaknya. Ibunya yang di dapur juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri sudah lelah terus-menerus ditagih para penadah utang serta para tetangga yang uangnya dipinjam oleh suaminya. Setiap hari, saat ia pergi belanja ke pasar atau tukang sayur langganan, ia dibuat malu di depan umum karena belum sanggup membayar hutang-hutang dan panennya selalu gagal.

Tio menarik lengan bapaknya, "Pak, jangan teruskan ini. Kasihan Halwa, Pak. Dia itu masih muda, kalau pun mau menikah dia berhak menentukan pilihannya sendiri."

Rudi mendorong tubuh anaknya sampai terduduk di kursi keras. Istri dan anaknya kaget, anaknya menangis melihat bapaknya terjatuh. Istrinya berusaha menolong, menahan suaminya agar tidak lagi mengejar mertuanya yang sedang naik pitam.

"Sudahlah, Mas. Nanti kita cari solusi lain bareng-bareng. Sekarang kita beri tahu Halwa dulu, nanti aku yang akan bantu bicara padanya."

Tio menangkupkan telapak tangan ke wajahnya, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Kalau dia punya pekerjaan bagus dan punya uang banyak, sudah pasti ia akan membantu bapaknya membayar hutang-hutang puluhan bahkan ratusan juta itu. Sampai kapanpun ia tidak akan pernah tega membiarkan Halwa, lagi-lagi menjadi korban keserakahan bapaknya sendiri. Tio adalah anak samata wayang Rudi, ia sendiri tidak di sekolahkan sampai tamat SMA. Tio hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP lalu lulus dan kemudian pernah merasakan bangku SMA hanya sampai kelas sepuluh, waktu itu bapaknya meminta Tio berhenti sekolah karena menurutnya orang tani tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa baca tulis saja sudah cukup. Tio sejak dulu memang terkenal penurut, ia jarang membantah orangtuanya kecuali kalau masalah itu sudah sangat-sangat gawat seperti ini.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang