Bagian 19

484 57 0
                                    

Hari ini Bu Dewi tiba-tiba saja dikejutkan oleh anaknya yang berniat untuk melanjutkan S2 secepat mungkin. Ali ingin segera mengurus keperluannya dan bergegas berangkat ke Mesir. Mungkin semua ini terlalu mendadak bagi Bu Dewi dan Halwa, dua perempuan itu terdiam di sisi meja makan. Suasana semakin hening saat Ali pun tidak mengangkat suaranya lagi, Halwa tidak bisa berbuat apa-apa selain patuh, toh dia juga meminta Ali untuk menyetujui keputusannya yang ingin kuliah di Jakarta tahun ini.

"Jadi, untuk sementara kalian akan terpisah. Begitu ya?" tanya Bu Dewi pada dua orang di depannya.

Halwa mengangguk, Ali pun menyusul anggukan itu dengan ekspresi permohonan yang susah dibantah oleh ibunya. Apapun akan Bu Dewi lakukan demi anak semata wayangnya itu, termasuk membiarkan Ali pergi lagi untuk menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, ke tempat yang jauh dari tanah air tercinta.

"Baiklah, jika itu keputusan kalian. Tapi, apa Halwa tidak ikut ke sana saja, Nak? Kamu bisa mengambil ekonomi syariah di Mesir." Saran Bu Dewi pada menantunya.

Halwa tidak punya jawaban, ia melirik kepada suaminya.

"Akan kami diskusikan dulu, Bu." Jawab Ali singkat, tak lama setelah itu ia segera bangkit dan pamit. Ali langsung masuk ke kamarnya.

Halwa segera menyusul setelah pamit pada mertuanya. Bu Dewi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat anak dan menantunya masih saja canggung. Bahkan hampir tidak pernah terlihat mesra di depan matanya sendiri. Entah sampai kapan anak dan menantunya itu akan menjaga jarak seperti itu, saling diam dan tidur terpisah selama sepekan ini.

Bu Dewi sendiri memaklumi pasangan pengantin baru itu, menurutnya mungkin dua muda-mudi itu masih malu-malu saat tidur dalam satu kamar. Atau mungkin pula Ali membiarkan Halwa fokus belajar supaya bisa masuk universitas tujuannya. Bu Dewi tidak pernah ingin terlalu mencampuri urusan rumah tangga anaknya, baginya anak-anak sudah besar dan tahu mana yang terbaik bagi mereka sendiri.

Ya, Ali memang sengaja pisah kamar dengan Halwa. Laki-laki itu selalu merasa bersalah pada kawan baiknya, sahabat dan saudara perantauannya; Ilyas. Ia sangat-sangat merasa bersalah jika merasakan kebahagian ini namun belum mendapat restu dari Ilyas. Dan kawannya itu masih belum bisa dihubungi atau ditemui, kemungkinan Ali harus menunggu tiga sampai empat bulan lagi sampai Ilyas kembali ke pesantrennya dan memegang ponselnya kembali. Ia bingung pada Ilyas. Apa yang dilakukan olehnya sampai-sampai meninggalkan alat komunikasi tercanggih di zaman sekarang? Haruskah ia menyusul Ilyas ke Gunung Kidul dan meminta restunya?

Tidak terpikir.

Justru yang saat ini terpikir oleh Ali adalah S2-nya. Ia terpancing oleh semangat membara Hamid, setiap hari Hamid mengirimnya e-mail, memberitahukan kabar-kabar terbaik tentang program S2 di Mesir. Hamid terus saja merayunya agar Ali kembali berkuliah di sana dan tinggal di flat yang sama lagi, bahkan Hamid pernah menyarankan Ali membawa istrinya saja jika ia keberatan untuk berpisah sementara.

"Al Azhar akan menjamin biaya kuliah kita, kita alumninya, Li. Ayo kemari, aku juga sedang bujuk Paul dan Ilyas supaya kemari. Ya, walaupun inbox dariku belum dibalas oleh mereka satupun!" ucap Hamid tiga hari lalu saat ia menelepon nomor Ali.

Mungkin juga ini menjadi salah satu cara agar dirinya bisa menghindari rasa bersalah itu. Menghindari istrinya sendiri, Halwa. Juga membentengi debar-debar di dada yang hampir setiap hari kian aneh rasanya, mungkin kagum, mungkin juga cinta. Batas diantara keduanya samar dan tipis.

"Mas..." Halwa duduk di kursi dekat rak buku, ia menatap wajah Ali yang bersih.

Suaminya memandangnya sekilas, terlihat agak dingin dan aneh. Ia merasa ada yang berbeda dari sikap Ali belakangan, terutama saat ia menceritakan tentang hubungannya dan Hafsah, namun lisannya tidak berani bertanya lebih jauh. Halwa yakin suatu saat suaminya akan menceritakan semuanya sendiri.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang