Sekembalinya dari luar kota Bu Dewi mendapat kabar mengejutkan dari anak dan menantunya. Bu Dewi benar-benar syok mendengar pernyataan Ali yang akhirnya ingin menceraikan Halwa. Mereka belum lama menikah, hanya kurang dari enam bulan bersama dan kini dipisahkan oleh jarak dan ruang. Bu Dewi sungguh menyesali keputusan anaknya, ia sampai marah dan tidak mau mengangkat telepon dari Ali. Halwa pun tidak dapat menjelaskan apa yang melatarbelakangi perpisahan ini.
"Kamu sendiri tahu, Nak, kalau bercerai itu jalan halal yang paling dibenci oleh Allah," kata Bu Dewi sambil menyesali kabar tersebut.
Bu Dewi berhadapan dengan Halwa yang terus menyembunyikan wajahnya dari mertuanya, ia tidak berani menatap wajah Bu Dewi, ia juga tidak berkata sepatah katapun. Halwa masih diam membisu. Pipinya basah oleh deraian air mata.
"Ibu memang kecewa, tapi apa boleh buat... yang ibu pikir cocok ternyata tidak cocok sama sekali. Ibu masih berharap kalian rujuk saja, kalau ada masalah bisa diselesaikan dengan baik-baik, kan, Nak?"
Ponsel Bu Dewi kembali berdering, panggilan masuk itu dari anaknya. Entah itu panggilan keberapa yang tetap diabaikan olehnya.
"Ibu benar-benar kecewa sama kalian!"
Halwa hanya bisa menangis di depan ibu mertuanya.
Bu Dewi lalu bangkit, dadanya sesak karena amarah. Ia masih tidak paham dengan keputusan anak dan menantunya itu. Ia menatap wajah Halwa sekilas sebelum beranjak masuk ke kamarnya. "Maafkan Ibu yang membuat duniamu jadi serumit ini, Nak. Jungkir balik tidak keruan."
Bu Dewi telah berlalu meninggalkan Halwa yang masih terpekur seorang diri. Halwa sudah pasrah, sebelumnya ia sudah berusaha membujuk Ali agar tetap mempertahankan rumah tangga ini sampai waktu yang lama. Ia masih ingin mencoba menumbuhkan rasa bakti pada suaminya, paling tidak sampai benih-benih cinta benar-benar tumbuh dan hidup dalam jiwa mereka. Namun Ali berpikiran lain, ia sudah membuat keputusan akhir bahwa mereka memang harus berpisah.
Laki-laki itu meminta maaf dengan tulus karena keputusannya tidak akan bisa berubah, ia tidak bermaksud mempermainkan pernikahan ini. Dan pada akhirnya dia sendiri tahu bahwa Halwa, istrinya, menyimpan nama oranglain dalam hatinya. Cemburu? Tidak, justru itulah yang membuat Ali tidak akan pernah menyesali perbuatannya dengan meninggalkan Halwa secepat mungkin.
Karena merasa bersalah dan telah mengecewakan ibunya sendiri, Ali akhirnya berusaha menghubungi nomor Halwa. Halwa mau mengangkat teleponnya, mengatakan keadaan Bu Dewi bahwa beliau memang sedih dan syok. Mereka berbincang dalam perasaan kalut dan sedih. Jelas, diantara keduanya sudah tidak ada kemesraan apa-apa lagi. Terakhir sebelum telepon itu terputus, Ali sempat berkali-kali meminta maaf pada Halwa. Dia juga menyuruh gadis itu untuk pergi ke pesantren supaya bertemu dengan Ilyas. Sayang, Halwa keras kepala, ia menolak permintaan Ali dan mengatakan bahwa dirinya lebih baik pergi ke tempat lain demi melupakan kenangan sepahit ini.
Ali merasa sangat bersalah telah mengecewakan perempuan sebaik Halwa. Tak pantas rasanya ia berbuat sejahat itu pada Halwa. Apa boleh buat, rasa cinta Ali kepada sahabatnya lebih dalam daripada rasa yang baru tumbuh untuk seseorang yang sah menjadi miliknya. Lagipula dia pun belum menyentuh Halwa kecuali hanya menatap wajah, mencium kening dan telapak tangannya. Gadis itu masih bersih dan suci, masih pantas untuk menjadi pendamping sahabat baiknya.
"Tidak. Aku tidak akan pergi ke sana, Mas. Tolong, jangan paksa aku." Kata Halwa pada Ali.
"Baik, aku tidak akan mengatakannya lagi. Tapi, tolong maafkan aku." Ucap Ali sungguh-sungguh.
Halwa hanya bisa meneguk ludah pahit, kenapa ini harus terjadi?
"Aku benar-benar merasa bersalah padanya, aku tidak bisa bahagia..." ucap Ali dengan suara serak dan berat, ia nampak sedang menanggung beban berat seorang diri.
Tangisan Halwa kembali pecah, Ali mendengarnya dari jauh dan sangat merasa bersalah.
"Maafkan aku, Halwa, maafkan aku..."
Halwa mengusap air matanya di pipi, menarik napas dalam-dalam. "Tidak, ini juga salahku... aku tidak pernah cerita pada Hafsah bahwa aku sudah menikah." Halwa kembali menarik napas lagi, berat rasanya. "Seharusnya aku mengundangnya, seharusnya aku beri tahu semua keluarganya..."
Ali diam dan merenung. Mungkin jalan mereka berdua memang harus sepahit ini.
"Aku... juga minta maaf sama Mas Ali, aku tidak jujur sejak awal." Ungkap Halwa pada akhirnya, ia berniat membuka diri pada seseorang yang kini sudah bukan siapa-siapanya lagi. "Tapi, kalau saja ini tidak terjadi, aku akan tetap menemani kamu, Mas. Aku tetap akan berbakti..." Halwa tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi, semua tersendat oleh isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
Di negeri sana pun Ali ikut menangis, hatinya seperti tersayat, pedih dan sakit. "Tidak perlu salahkan dirimu, Halwa. Aku tidak pernah menyalahkanmu, kamu benar-benar baik dan tidak berhak aku sakiti. Maafkan aku." Sekali lagi Ali menyesal.
Halwa tak sanggup bicara lagi, lalu ia pun mengakhiri telepon itu. Halwa menggigit bibir bawahnya agar tangis itu terhenti seketika.
Pantas saja... pantas saja Ali bersikap aneh sebelum pergi ke Mesir, ternyata Ali sudah memecahkan teka-teki yang terjadi diantara Ilyas dan dirinya, teka-teki yang dia tidak sadari sejak awal.
Halwa tidak tahu apakah dia harus senang atau sedih, karena tahu bahwa orang yang dikaguminya ternyata juga menyukainya, saat ini ia masih menangis karena pernikahannya tidak langgeng. Ia merasa bersalah pada hidupnya, pernikahan ini seperti permainan dan tidak ada kesakralan sama sekali. Ya Allah, ampuni aku... Halwa merintih dan memeluk lututnya sangat erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...