Bagian 17

443 51 0
                                    


Sebagian Novel mau ganti cover. Karena bentar lagi lebaran, biar nggak ngiri sama kalian. Kalian juga beli cover kan buat lebaran?

Thank you sudah baca ceritaku, muah!!

Undangan akan segera dicetak. Bu Dewi menyuruh Halwa membuat daftar nama-nama yang akan dia undang ke pernikahannya. Tentu saja Halwa mengundang semua keluarga besar ayahnya, hanya keluarga ayah saja sebab ia tidak tahu siapa keluarga kandung ibunya. Tak lupa ia mengundang Bu Nyai dan Pak Kyai, serta Hafsah. Ketika ia hendak menuliskan nama-nama itu ia teringat nama anak-anak Pak Kyai yang lain. Nama Ning Shafiyah yang sekarang di Balikpapan, Gus Rahman, Gus Malik, dan terakhir nama Gus Ilyas.

Entah, oleh sebab apa air mata Halwa merebak seketika. Ia menunduk dan tangannya mulai gemetar. Melihat kedatangan Bu Dewi di ruangan itu, Halwa segera mengusap air matanya dan berusaha menahannya agar tidak keluar lagi.

Berhenti, Wa. Kamu sudah putuskan semua ini, kamu akan menikah dengan laki-laki baik. Berhenti mengingat dia dalam hidupmu, dia bukan jodohmu, Wa. Bisik Halwa pada dirinya sendiri.

Dengan penuh keyakinan ia ingin percaya bahwa Ali adalah laki-laki pilihan Allah yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Halwa sejujurnya pernah ingin menceritakan tentang perasaan yang selama ini ia sembunyikan pada Hafsah, bahwa dirinya yang bukan siapa-siapa ternyata memiliki perasaan lain dan spesial untuk kakaknya, yaitu Gus Ilyas.

Halwa tidak berani berterus terang, sebab ia sadar diri bahwa dia hanya santri biasa dan bukan anak seorang Kyai besar seperti Gus Ilyas dan juga Hafsah. Dia yatim piatu, bahkan keluarga ibunya pun tidak jelas asalnya. Karena rasa rendah dirinya itulah ia tidak pernah mengakui perasaannya sendiri terhadap Gus Ilyas.

Sejujurnya ia juga mengagumi Gus Malik, tetapi hanya sekadar rasa kagum karena sosoknya yang dewasa dan matang, juga terlihat cerdas dan berwawasan luas saat sedang menyampaikan tausiah di masjid pesantren. Namun perasaannya dengan Gus Ilyas terlihat berbeda, seperti ada gejolak asmara dalam dadanya saat mendengar Hafsah menyebut-nyebut nama masnya itu. Benar, sejak dua gadis itu bertemu kembali di Jakarta, telinga Halwa sering kali mendengar cerita tentang Gus Ilyas yang sedang berada di Mesir.

Muhammad Ilyas Firdaus. Laki-laki itu sampai kapanpun hanya akan menjadi bumbu dalam kisah masa muda Halwa, kisah cinta yang tak sampai, begitulah yang terjadi. Gadis itu sekarang harus menghadapi realita di depannya, ada nama-nama tamu undangan yang tertera di atas meja. Ia harus siap dengan yang akan ia hadapi beberapa hari kedepan. Halwa mengunci mulutnya rapat-rapat agar tidak pernah menyebut-nyebut nama Ilyas di depan calon suaminya, Ali, atau siapapun.

Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan pernah membayangkan wajah teduh dan sejuk Gus Ilyas itu. Calon suaminya Ali, bukan Ilyas.

Awalnya perasaan tertarik itu tak ada sama sekali, ia hanya bertemu dengan Ilyas beberapa kali saja ketika Ilyas sedang pulang ke kampungnya. Seringnya mereka bertemu tanpa sengaja, lebih tepat lagi jika pertemuan itu disebut sebagai sebuah kebetulan. Tanpa sapa dan salam. Dan tanpa senyum, tidak mungkin ada senyum.

Melihat wajah Gus Ilyas secara gamblang saja tidak pernah. Namun, saat malam itu Ilyas datang kepadanya, membantunya mencari mobil dan tiket untuk ke Jakarta. Halwa seolah merasakan kehadiran malaikat berwujud manusia yang ia harapkan dapat melindungi dan menolongnya di bumi ini. Terkadang ia pernah berharap bahwa ada keajaiban besar yang menjadikan sesuatu tidak mungkin menjadi mungkin, seperti tiba-tiba ia dapat bersanding dengan Ilyas.

Mimpi yang terlalu muluk. Mimpi yang harus segera ia runtuhkan sendiri sebelum semua pengharapan itu justru menindihnya. Namun saat pertemuan demi pertemuan dengan Hafsah terjadi, rasa yang sempat ia kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan. Ia senang ketika Hafsah menceritakan tentang masnya yang sedang menulis buku, belajar di perpustakaan, talaqqi Al-Quran dan lain-lainnya. Sejujurnya Halwa sangat menikmati cerita demi cerita yang mengalir begitu asyik melalui lisan Hafsah dan menerobos masuk ke sepasang telinganya.

Tidak, keputusan sudah ada di depan mata. Mungkin memang Ali yang pantas jadi suamiku. Walaupun dia bukan anak Kyai, bukan Gus Ilyas, tetapi aku yakin aku akan bahagia hidup bersamanya. Insya Allah.

Halwa terus menanamkan keyakinan besar itu pada dirinya.

Akhirnya dengan berat hati, dengan kucuran air mata dan derasnya rasa sedih dalam dada, Halwa mencoret nama-nama semua orang yang berhubungan dengan pesantren didaftar undangannya. Ia tidak mengundang siapapun termasuk Hafsah.

Tega, dia sengaja melakukan itu.

Ini keputusan berat sekaligus pahit. Sebab ia harus membunuh rasa cintanya sampai ke akar-akarnya. Agar cinta itu tidak menganggu kehidupan rumah tangganya nanti. Tidak menganggu keharmonisan dia dan suaminya, Ali.

***

Hari berikutnya.

Di sudut meja lain, Ali mencoba menghubungi nomor teman-temannya. Tidak ada yang dapat dihubungi kecuali Hamid. Entah kenapa ketiga temannya itu seperti lupa pada janji-janji saat di Al Azhar dulu. Mereka bilang akan segera mengabari, nyatanya baru satu bulan lewat mereka berpisah sudah susah dihubungi.

Jadi, dia hanya menceritakan rencana pernikahannya pada Hamid, pekan depan adalah jadwal acara sakral itu dilaksanakan. Hamid kaget, namun pada akhirnya ia mengucapkan selamat dan mendoakan keberkahan bagi calon pengantin itu. Ia juga berharap semoga saja acaranya dapat berjalan dengan baik dan lancar sampai akhir. Lalu dari cerita Hamid itulah Ali akhirnya tahu bahwa Fatih pun sudah menikah tetapi tidak diramai-ramai sebab nikahnya setelah umroh bersama calon mertuanya, dia benar-benar menikahi mahasiswi universitas Al Azhar yang masih tingkat tiga.

"Alhamdulillah!" ucap Ali. Ia terlihat bahagia mendengar kabar itu, ia pun memanjatkan doa untuk Fatih dan istrinya. "Antum tahu kabar Paul dan Ilyas, Mid?"

"Lha, Paul itu kan satu kota sama antum?"

"Iya, dia pindah katanya. Entah ke Kalimantan atau bukan. Anak itu tidak meninggalkan jejak."

"Kalau Ilyas gimana? Kalau masih keburu sebaiknya antum kirim saja undangan itu ke pesantrennya, Li. Nanti setelah menikah antum bisa main ke sana bareng istrimu, sekalian minta didoakan sama Pak Kyai dan Bu Nyainya langsung, supaya dapat berkah!" ucap Hamid semangat.

"Bagus juga idemu, Mid. Syukron ya, Mid."

"Laa Syukro 'alal wajib!"

Telepon terputus. Hari itu Ali menyiapkan satu undangan lagi, khusus untuk Ilyas. Ia kirim dengan kilat ke pesantren tempat Ilyas tinggal. Semoga saja undangan itu benar-benar sampai pada Ilyas, ia juga sudah menelepon nomor pesantren dan terhubung dengan seorang Ustadz. Ali mengenalkan dirinya sebagai teman Gus Ilyas dari Jakarta, ia telah mengirimkan undangan dan meminta Ilyas segera menghubunginya kalau tidak sibuk. Ustadz itu menjawab bahwa Ilyas memang sedang sangat sibuk, dia sedang diperintah oleh abahnya langsung untuk pergi ke Gunung Kidul, Yogyakarta, dalam waktu tiga sampai empat bulan. Ilyas tidak memegang ponsel dan tidak dapat dihubungi sama sekali kecuali setelah ia kembali ke pesantrennya lagi.

Ali sempat kecewakarena teman baiknya itu tidak akan bisa datang ke acara pernikahannya. Akirnyaia punya niatan akan segera mengunjungi pesantren sahabatnya jika sudahmendengar kabar bahwa Ilyas telah kembali. Saran dari Hamid benar-benar iapertimbangkan.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang