Mata dengan mata saling menatap. Sekian detik keheningan hadir merambat. Empat orang diam tanpa suara.
"Bagaimana mungkin..." kata Ilyas akhirnya, ia sangat kaget. Ternyata mantan suami Halwa adalah sahabatnya yang ia kenal ketika di Mesir. Mereka sangat paham satu sama lain, mereka cukup dekat bahkan sudah seperti saudara kandung. "Ali, jadi..."
"Iya, Yas." Kali ini Ali melangkah maju, lebih dekat dengan Ilyas dan dua perempuan yang masih berdiri berdekatan. Ali menatap Bu Nyai dan Halwa bergantian sambil berkata, "Ummi, Halwa... boleh tinggalkan kami berdua?" ucapnya sopan.
Bu Nyai mengangguk, lalu beliau mengajak Halwa keluar dari ruangan itu.
Ali mengambil duduk di kursi dekat ranjang Ilyas. Ia menatap wajah sahabatnya yang teramat pucat, tubuhnya pun kurus.
"Lekas pulih dari sakitmu, Yas."
"Ini salah satu nikmat yang harus aku syukuri, Li. Kalau tidak begini mungkin aku tidak pernah benar-benar tahu nikmatnya sehat yang amat luar biasa itu." Ilyas menjawab dengan senyum yang agak tertahan. Ia masih belum percaya bahwa pemuda yang menikahi dan meninggalkan Halwa adalah Ali. Semua ini seperti mimpi buruk di siang hari.
"Yas... kamu sudah mendengar cerita Halwa? Aku tidak tahu kalau jalan cerita cinta kamu dan dia pada akhirnya akan begini, melibatkan aku di antara kalian."
"Tidak... ini sudah takdirnya."
Ali menarik napas panjang. "Ilyas, menikahlah dengannya. Dia sudah aku ceraikan. Aku tahu, rasa cintamu padanya amat besar, lebih besar dari rasa cintaku padanya. Kamu yang berhak bersamanya, kamu yang pertama kali mengenalnya, bukan aku, Yas."
Ilyas tidak mampu berkata apa-apa. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya saat ini. Halwa sudah menjadi mantan istri sahabatnya sendiri. Meski ia mampu tersenyum tetapi dadanya terasa sesak, perasaannya pun tidak sedang baik-baik saja. Ia butuh sandaran, butuh kekuatan.
"Kenapa kamu diam, Yas? Kamu meragukan dirinya? Dia juga masih mencintaimu, menyimpan namamu dalam hatinya, menyebut-nyebut namamu, Abah dan Ummi dalam doa-doanya yang tulus. Dia tidak pernah berubah." Ali menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. "Aku tahu perasaannya padamu, Yas. Percayalah, bahwa sampai detik ini dia tidak pernah menyimpan nama laki-laki manapun di hatinya selain Muhammad Ilyas. Antum orangnya, bukan saya."
Ilyas memalingkan wajahnya ke sisi lain, air mata mengalir dari sudut matanya. Sebagai seorang laki-laki, kali ini ia merasa cengeng.
"Dia masih pantas untukmu, Yas. Aku tidak pernah menyentuhnya layaknya seorang suami pada istrinya. Dia masih suci layaknya seorang gadis yang belum terjamah oleh laki-laki manapun. Kamu harus percaya padaku, Ilyas. Ingatlah bahwa aku ini saudaramu, aku tidak mungkin berbohong padamu."
Ilyas tak mengerti. Ia menatap sahabatnya lekat-lekat.
Ali lanjut menjelaskan. "Dua pekan setelah kami menikah, tidak ada apapun di antara aku dan Halwa. Kami tidur terpisah sebab aku merasa canggung berhadapan dengannya, waktu itu aku sudah tahu kalau dialah perempuan yang kamu maksud itu, Yas. Aku merasa bersalah padamu, aku ingin menghubungimu tapi kamu masih di Gunung Kidul. Akhirnya aku putuskan untuk kembali belajar ke Mesir demi menjauhkan diriku darinya." Kini giliran pipi Ali yang basah oleh air matanya sendiri. "Aku pikir setelah kembali belajar ke Mesir semua akan baik-baik saja, ternyata aku salah. Rasa bersalahku padamu semakin besar dan bertambah, hingga aku pun merasa tidak akan mampu mencintai Halwa sebagai istriku. Aku tidak bisa hidup dengan seorang perempuan yang saudaraku juga mencintainya dengan sepenuh hati. Kamu ingat, Yas, waktu itu aku bertanya padamu, bahwa apakah kamu masih memikirkan gadis yang kamu sukai itu?"
Perlahan Ilyas mengangguk. Ingatannya masih jelas, tentang hari dimana sahabatnya bertanya perihal isi hatinya untuk seorang gadis, dan gadis itu adalah Halwatuzahra.
"Benar, karena jawabanmu itu akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri pernikahanku dengannya. Aku tahu ini salah, aku telah membuat kecewa banyak pihak termasuk Halwa sendiri. Tapi, aku juga merasa bahwa dia pun memiliki rasa yang sama terhadapmu." Jeda, Ali menarik napasnya dalam-dalam, tangannya saling mengepal erat. "Tidak ada hal yang lebih aku cintai di dunia ini dibanding melihat saudaraku bahagia. Aku ingin kamu hidup bahagia bersamanya, kamu pasti orang yang tepat untuknya. Aku sungguh sudah merelakannya untukmu, dia memang bukan takdirku."
Tangan Ilyas meraih pundak sahabatnya. Namun tatapan matanya sulit dieja. Ia hening, sementara Ali mulai berkata-kata lagi.
"Menikahlah dengannya, Ilyas. Biarkan dia merawatmu, mungkin kamu akan lekas pulih dan kembali berdakwah di jalan Allah jika dia yang merawatmu." Ali mengatakannya sambil tersenyum, ia memegang erat punggung tangan Ilyas.
Sementara itu mata Ilyas kembali mengalirkan butiran bening, ia terharu atas kata-kata sahabatnya. Mereka saling berpelukan demi saling menguatkan dan meyakinkan akan kebahagiaan yang harus segera disongsong di hari esok.
"Semoga antum mendapat yang lebih baik, Li. Semoga Allah membalas semua kebaikan antum... kamu memang saudaraku, Li. Ya Allah... kenapa kamu harus berkorban sejauh ini, Ali?"
Mendengar itu wajah Ali nampak cerah, ia pun turut berbahagia atas kebahagiaan llyas kali ini. Hatinya benar-benar merasa lega. Ia merasa beban berat serta rasa bersalahnya sudah lunas terbayar.
***
Sore itu Halwa pamit, ia ingin segera kembali ke rumah Tio bersama Gina. Hatinya sudah lumayan lega setelah memastikan bahwa kondisi Ilyas benar-benar stabil dan semakin baik.
Di depan ruang rawat itu Bu Nyai mencegatnya, meminta Halwa tetap berada di dekat sini dan besok datang lagi untuk menemani Bu Nyai di rumah sakit. Melihat mata Bu Nyai sudah berkaca-kaca, akhirnya Halwa dan Gina memilih untuk menginap di hotel terdekat sampai keadaan Ilyas benar-benar pulih dan bisa dibawa pulang. Dua perempuan itu menyewa satu kamar dengan kasur terpisah. Pukul sepuluh malam Gina sudah terlelap dikasurnya sendiri, ia meringkuk kedinginan. Halwa membetulkan selimut Gina sampai di bawah dagu, sempurna menutupi tubuh Gina.
Halwa mengambil wudhu untuk shalat witir, ia terbiasa melaksanakan shalat witir sebelum tidur karena khawatir esok justru tidak bisa bangun lebih pagi. Selesai shalat dilakukan, ia membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Ia membuka surah Al Mulk dan membacanya sampai tuntas, setelah itu ia berdoa cukup lama sekali. Tak terasa butir-butir bening membasahi wajah dan telapak tangannya yang menengadah ke atas. Hatinya turut bergetar memanggil nama Robb-nya, Tuhan Yang Maha Agung.
Segala puji hanya milik Allah. Dia telah menjaga Halwa dari segala keadaan yang tidak menguntungkan. Menjaga kesucian hati, jiwa dan raga gadis itu hingga ia bisa berjumpa kembali dengan laki-laki yang ia cintai. Tidak ada yang bisa menggantikan Ilyas dalam hatinya hingga detik ini, walaupun ia pernah berdoa meminta Tuhan mencabut rasa cintanya pada Ilyas, namun kehadiran laki-laki itu dapat kembali menumbuhkan rasa cinta yang pernah ada. Justru anehnya, perasaan itu semakin dalam dan kuat. Entah bagaimana lagi Halwa harus mengatur hatinya, ini semua diluar kendali dirinya sendiri.
Sejujurnya ia punya satu harapan. Harapan itu adalah menikah dengan laki-laki yang ia cintai, yaitu Ilyas. Ia ingin berbakti pada Ilyas sepenuhnya, menjadi istri yang taat dan memenuhi semua perintah suaminya. Ia berjanji pada dirinya sendiri—bahwa jika dia diberi kesempatan untuk berumahtangga dengan Ilyas—ia akan berusaha membuat suaminya selalu ridho padanya, sehingga akan membuka jalan untuknya menuju surganya Allah Swt.. Ia ingin mencontoh wanita-wanita mulia pada zamannya, seperti; Ibunda Khadijah, Aisyah bahkan Fatimah.
"Ya Robbi, berkahilahhidupku, berkahilah pertemuanku dengannya." Lirih Halwa saat mengakhiri doanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...