Setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan akhirnya Halwa sampai di dekat pasar Gondangdia. Dia berniat mencari kontrakan atau satu petak kamar untuk ia tempati sementara waktu.
Ceritanya panjang sekali, mengapa dia bisa sampai di sini.
Kemarin setelah naik bus dari Cirebon dia turun di terminal Pulo Gadung, dari sana dia naik metromini dan tidak tahu jurusannya apa. Ia sendiri belum punya tujuan, ia hanya ingin mencari tempat tinggal atau masjid untuk beristirahat sebentar. Metromini itu menurunkannya di daerah Menteng, dia istirahat di Masjid Menteng yang berdiri megah dan cantik.
Siang itu, Halwa merasakan lapar luar biasa, ia baru mengganjal perutnya dengan roti lima ribuan. Setelah mencari-cari akhirnya ia makan disebuah warung nasi tepi jalan. Setelah mengisi perutnya dengan nasi, lauk dan sayur, serta satu gelas teh tawar ia betanya pada ibu-ibu penjaga warung, di mana dia bisa menemukan rumah kontrakan atau sebuah kost kecil yang murah.
Ibu itu menyuruhnya berjalan kaki ke arah selatan, di pertigaan belok kanan dan masuk gang agak sempit. Halwa benar-benar menuruti perintah ibu warung nasi itu, hingga akhirnya sampailah dia di daerah yang ia tidak ketahui namanya itu. Ada sebuah rumah kontrakan dua petak, kamar mandi di dalam, namun harganya tidak sanggup Halwa bayar. Uangnya tersisa tiga ratus ribuan saja dari sepupunya, dia sendiri sama sekali tidak punya uang kecuali hasil dari mengajar yang belum sempat ia terima. Halwa lalu mencari kost murah di daerah itu, tempatnya agak sempit dan padat.
Cukup lama ia berkeliling seorang diri sampai akhirnya bertemu dengan ibu-ibu yang bekerja sebagai tukang cuci gosok. Halwa bertanya padanya, ibu itu malah menawarkan Halwa tinggal sementara di rumahnya yang kecil dan masih ada satu kamar kosong bekas anaknya, anak ibu itu perempuan dan sudah menikah, saat ini anaknya ikut sang suami di daerah Bekasi.
Halwa senang luar biasa, ia sangat-sangat bersyukur pada Allah yang telah membukakan jalan ini. Ia yakin, dimanapun dia berada Allah selalu melihatnya, selalu menolongnya disaat titik terendahnya. Inilah salah satu titik kritis dalam hidup Halwa. Saat dia tidak bergantung pada siapa-siapa, lisannya hanya mampu berdoa, ikhtiar ia lakukan dengan menggantungkan hatinya kepada Sang Robbi. Pertolongan itu datang. Ibu itu namanya Asih, usinya sudah menginjak lima puluh tahun lebih, orangnya memang agak tegas tapi hatinya lembut dan baik.
Halwa menyerahkan uang seratus ribu sebagai jaminan, Ibu Asih sempat menolak tetapi akhirnya mau menerima karena Halwa terus memaksa. Halwa berjanji akan berusaha membalas semua kebaikan Ibu Asih yang telah membantunya mendapat perlindungan serta tempat tinggal.
Sore itu Ibu Asih baru pulang setelah bekerja di rumah seorang majikan, suami Ibu Asih yang bekerja sebagai sopir bajai pun pulang. Dua orang itu ternyata taat beribadah, mereka mengajak Halwa ke mushalla terdekat untuk menunaikan shalat Maghrib. Di sana Halwa mendapat pencerahan, ia bisa sedikit bernapas lega, masih banyak orang baik di dunia ini tetapi ia tetap harus waspada dan bersikap hati-hati. Bu Asih ketika melihat Halwa memakai kaos kaki sedikit terheran, ia kembali melihat Halwa dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Neng Halwa kenapa harus pakai kaos kaki segala, kan, sudah pakai rok panjang. Nggak gerah ya?"
Halwa tersenyum, ia berusaha menjelaskan tentang batasan aurat perempuan dengan bahasa yang santun dan dalam. Ia menjelaskan bahwa aurat perempuan yang bisa dilihat oranglain yang bukan mahramnya hanya wajah dan telapak tangan, jadi kaki juga bagian dari aurat perempuan yang wajib untuk ditutup. Mendengar itu Bu Asih balas tersenyum sambil memanjangkan lengan bajunya yang tergulung.
Malam itu terasa agak panjang dan lama, mungkin karena Halwa banyak bercerita tentang asal-usulnya yang dari pesantren dan orangtuanya yang sudah meninggal, ia pun bercerita bahwa dia ke Jakarta belum punya tujuan kecuali ingin berkerja demi menyambung hidupnya ke depan. Bu Asih percaya pada cerita yang dikatakan Halwa, "kamu lulus pesantren, Neng? Kalau gitu bisa mengajar ngaji di mushalla tadi?"
"Insya Allah, Bu."
"Tapi tidak ada yang bayar, Neng. Hitung-hitung itu amal jariyahmu saja ya?"
"Amin. Saya akan membantu semampu saya, jika memang ilmu itu bisa saya ajarkan maka saya akan berusaha, Bu."
"Besok saya akan bilang sama pengurusnya ya?"
"Nggih, Bu."
....
Sepakan sudah berlalu, Halwa tidak tahu harus bekerja apa selain membantu Bu Asih mencuci dan menyetrika baju di rumah-rumah orang berada. Setiap pagi setelah shalat Subuh dia mengajar ngaji anak-anak usia lima sampai sepuluh tahun di mushalla dekat rumah Bu Asih, siangnya ikut Bu Asih bekerja dan sorenya kembali untuk mengajar mata pelajaran agama Islam tingkat SD. Ia tidak meminta bayaran sepeserpun pada orangtua anak-anak yang ia ajar di mushalla, ia niatkan semua itu karena Allah Ta'ala. Biarkan Dia yang membalasnya. Biaya makannya masih ditanggung oleh Bu Asih, karena tidak enak akhirnya Halwa mencoba berpuasa Senin dan Kamis. Uang dua ratus ribu masih di tangannya, ia berniat memberikan seratusnya pada Bu Asih sebagai biaya makannya sehari-hari, tetapi kali ini Bu Asih benar-benar menolak dan memintanya tetap tinggal di rumah sebelum memperoleh pekerjaan yang jelas.
Siang - malam Halwa terus memohon pada Allah agar dia tidak terlalu banyak merepotkan orang di sekelilingnya. Ia juga mendoakan Mas Tio, Mbak Hana dan juga anak mereka, Cahya, semoga keluarga itu tetap dalam kebaikan dan diberikan banyak keberkahan. Tak lupa ia mendoakan keluarganya di pesantren, Bu Nyai dan Pak Kyai serta semuanya, semoga selalu dalam penjagaan Tuhan Yang Maha Esa.
Air mata kembali mengalir di pipi Halwa tatkala ia mengingat mendiang ayah dan ibunya, ia rindu sekali. Rindu yang luar biasa dalam dadanya telah menumbuhkan kecintaannya pada Tuhan Sang Maha Pencipta. Semoga saja Tuhan mempertemukan mereka di surga.
Hari demi hari Halwa lalui dengan optimis dan penuh semangat, ia yakin hidupnya akan berubah. Ia mulai mencari pekerjaan dengan pergi ke pasar Gondangdia, bertanya dari satu ruko ke ruko lain barangkali memerlukan seorang karyawan. Ternyata hasilnya nihil, mereka butuh pegawai laki-laki yang bisa mengangkut-angkut barang dan dus-dus besar.
Di depan suatu konter HP, Halwa sempat berhenti dan mampir sebentar untuk membeli nomor baru. HP dari Mas Tio baru dia aktifkan setelah sepekan lebih ia berada di Jakarta, ia membeli nomor baru dan segera mengabari masnya kalau dia selamat sampai Jakarta. Ia mengirim pesan ke nomor Tio dengan singkat, padat dan jelas.
Tak berlangsung lama, Tio sudah membalas pesan adik sepupunya. Pesannya agak panjang.
Alhamdulillah, Dik, kamu sudah sampai di Jakarta. Aku bersyukur kamu bisa selamat dari rencana Bapak. Mas dan Mbak baik-baik saja. Bapak masih seperti biasa, marah-marah dan mencari rentenir lagi untuk menutup hutang pada tetangga yang tidak sabaran. Mas sedang berusaha keras membantu Bapak, Dik. Jangan pikirkan masalah ini, semua ini bukan urusanmu. Saat ini kamu harus kuat dan terus berjuang, Mas selalu doakan, semoga hidupmu menjadi barokah dan baik. Hati-hati, Dik. Salam juga dari Mbak Hana dan Cahya.
Halwa meneteskan air mata membaca pesan itu. Ia merasa masih memiliki keluarga dekat, masih punya seorang kakak walau bukan kakak kandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALWA (Novel Religi)
SpiritualTAMAT Setelah sekian lama, ribuan purnama, jutaan hari, miliyaran detik... akhirnya aku kembali membuat FIKSI ISLAMI untuk pembacaku tersayang. Semoga suka dengan cerita ini, terhibur, jadi teman metime. Follow akun ini. Vote tiap bab Comment hal-ha...